TIMES SURABAYA, SURABAYA – Simbol agung kehidupan dalam lukisan Beny Dewo dengan tema Lingga Yoni menyita perhatian pengunjung Gereja Paroki St. Aloysius Gonzaga Surabaya.
Lingga Yoni adalah karya masterpiece seniman asal Sidoarjo tersebut. Orang-orang mampu melampaui batas pemikiran ketika menerima pencerahan.
"Lingga Yoni bicara tentang pure kehidupan. Kalau ingin tahu jalan pulang kita juga harus tahu asal usul," kata Beny Dewo, Sabtu (16/5/2022).
Sebuah rahasia ia ungkap. Lukisan berdiameter 100x100 centimeter itu nampak terang di antara pencahayaan ruang pameran gereja. Berada di antara puluhan karya seniman lain.
Lingga yoni memiliki dua unsur. Benda silinder tegak menancap pada benda berbentuk lingkaran. Teramat detail. Ada garis-garis kehidupan. Garis seperti terbuat dari benang.
Bella, salah satu pengunjung bahkan terpukau oleh karya Beny Dewo. Berkali-kali ia menduga bahwa gores garis kecil, lembut dan berulang itu adalah benang.
"Ya saya kira ini dari benang," ungkapnya.
Tapi Beny Dewo tidak akan pernah mengatakan pasti bagaimana ia membuat karyanya dalam waktu cukup singkat usai perenungan panjang.
Esensi Lingga Yoni begitu misterius. Kendati ia dihujani warna-warni ceria. Pink tanda kelembutan dan kasih sayang, latar kuning sebagai bentuk pencerahan dan pencarian selama di dunia, hijau pada daun tunas tanda kelahiran dan nuansa 'pulang' dengan daun gugur berwarna hitam paduan tulang daun bercorak emas.
Objek utuh dalam rangkaian kombinasi. Awal dan akhir adalah kepastian dalam kehidupan. Jika manusia lahir, secara otomatis akan menemukan akhir.
"Gagasan ini memang butuh waktu sangat lama. Selama saya melukis, buktinya saya menemukan ya akhir-akhir ini. Saya butuh perenungan, realitas, kontemplasi dan sinau lagi. Banyak hal harus saya pelajari. Akhirnya menemukan sesuatu yang menurut saya adalah sesuatu yang murni," ungkap Beny.
Manusia harus tahu jalan pulang. Apalagi tujuan manusia selain mencari jalan pulang? Tidak ada lagi.
Beny Dewo menemukan teknik kontemporer tanpa sengaja. Ia begitu menikmati gaya itu pada akhirnya, oleh suatu penggalian. Beny memadukan acrylic dan cat minyak di atas kanvas. Ia menggali dan terus menggali. Maka akan nampak berapa pencarian itu tersirat dari warna-warni dalam lukisan. Warna tersembunyi.
"Secara teknik ini adalah penggalian sesuai dengan gagasan atau konsep asal usul kita. Masa depan adalah masa lalu," kata dia.
Keunikan lukisan Lingga Yoni terletak pada simbol utama itu sendiri. Bukan hal tabu.
"Kalau kita pahami dengan benar, ini sebenarnya tidak saru (tabu). Ini adalah ilmu pengetahuan. Esensi itu sangat saya ugemi," terang pelukis dengan ribuan tersebut.
Hampir lima puluh persen karya Beny Dewo telah singgah di rumah-rumah para kolektor.
Lingga Yoni akan menjadi karya sepanjang masa. Menatap dan merenung untuk menerima pencerahan. Pancaran afirmasi positif dalam kehidupan menemukan rasa sejati dalam diri. Sebuah perjalanan. Setelah kelahiran, setiap manusia mencari jalan pulang.
"Ini harus kita pegang untuk prinsip hidup," tandasnya.
Selain Lingga Yoni, Beny Dewo juga menampilkan dua karya lain. Berjudul Matius 26:28 dan Alfa Omega.
Matius menampilkan cawan anggur sesuai tema pameran. Mendengar perbedaan.
"Artinya cawan yang harus kita minum adalah keimanan. Dalam hidup kita harus menjalani apa yang menjadi lelaku kita," kata Beny.
Lukisan Alfa Omega memiliki makna awal dan akhir. Ia terinspirasi karya Leonardo Da Vinci. Beny mengeksplor karya fenomenal Da Vinci berjudul Salvator Mundi (Juru Selamat Dunia). Namun dengan warna dan corak berbeda.
Da Vinci memiliki teknik otentik gaya Eropa masa lampau. Beny justru menghadirkan kembali dalam nuansa kontemporer modern.
"Jadi saya tetap mengeksplorasi, tidak menjiplak secara apa adanya," ujar dia.
Alfa Omega menggambarkan sosok berwajah samar. Namun siapa pun dapat menerka aura objek dalam lukisan tersebut.
"Kalau kita menemukan awal dan akhir makanya agak kabur secara wajah siapa awal dan siapa akhir sebenarnya. Itu kita ngomong tentang Ke-Tuhanan," tutur Beny.
Dalam lukisan berdiameter 100x100 centimeter itu, Beny menyematkan goresan tulisan Doa Katolik berbahasa Latin. Doa kemuliaan. Gloria Patri et Filio et Spiritui Sancto. Sicut erat in principio, et nunc, et in semper, et in sæcula sæculorum. Kemuliaan kepada Bapa dan Putra dan Roh Kudus seperti pada permulaan, sekarang, selalu dan sepanjang segala abad.
"Ini adalah doa Orang Katolik. Jadi kita memuliakan Esa, memuliakan Allah dengan doa ini," imbuh pengagum kejeniusan Da Vinci tersebut.
Pertemuan Langka
Beny Dewo tak sendiri. Gereja Paroki St. Aloysius Gonzaga Surabaya memberi ruang bagi para seniman lukis dalam sebuah pameran bertajuk Berjalan Bersama untuk Mendengarkan dan Merayakan Perbedaan.
Pameran berlangsung mulai 15-20 Mei 2022. Kegiatan pastoral berbasis seni dan budaya ini melibatkan para seniman berbeda latar belakang suku, etnik, ideologi, agama dan kepercayaan.
Rangkaian gerak, peristiwa kehidupan insani dan Ilahi terlukis dalam berbagai bentuk, media, warna, napas, karakter, gaya, pakem corak, aliran dan idealisme para pelukis.
Menghadirkan pertemuan langka karya-karya seniman lukis Yon Wahyuono, Asri Nugroho, Setyoko, Anthoni Wibowo, Beny Dewo, Bambang AW, Hendung Tunggal Djati, Stephanus Rubianto, Romo Julius Agus Purnomo dan GusWo.
Kemudian Antonius Tjajokarjono Gembjak, Fenny Rochbeind, Jonnie Kirman, Masdibyo, Erik Wiliean, Susetya, Agus Koecink, Niko Arya Surya Nagra, Slamet Henkus, Irwan Purnomo, Agoes D'Soe, Agustinus Eko Nurwodiyanto, Hilarius Johanes Kristyohadi, Martinus Triono Mardi Subagijo, Edward Ryo, dan Urban Sketcher Surabaya.
Para seniman lukis Katolik menampilkan sejumlah karya spektakuler bersama perupa kawak asal Jatim tersebut. Momen ini sekaligus memperingati Hari Komunikasi Sedunia ke-56.
Ndalem Pastoran Algonz, GusWo mengatakan, agenda ini sebagai upaya merajut keanekaragaman dan perbedaan menjadi sebuah gambaran jagad universal dan harmoni.
Seperti wajah persekutuan-inklusif serta bersemangat dialog. Wajah Gereja Sinodal yang tengah digaungkan menuju Sinode Para Uskup Sedunia XVI pada Oktober 2023 mendatang.
"Ini adalah afirmasi daripada tema," ungkapnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Lukisan Masterpiece Benny Dewo di Gereja Paroki, Puncak Kode Kehidupan
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Irfan Anshori |