TIMES SURABAYA, JOMBANG – Sejak tahun 2020 akhir hingga saat ini, Covid-19 terus merebak di masyarakat, bahkan variannya semakin banyak. Hal itu membuat budaya 'Salaman' (berjabat tangan) antar sesama seolah menghilang, karena adanya aturan yang mengharuskan untuk berjarak.
Namun, Pemerhati Kesehatan Masyarakat, Zahrul Azhar Asumta atau akrab disapa Gus Hans, punya pandangan berbeda. Pria yang juga menjadi Pengasuh Asrama Queen Al-Azhar di Pondok Pesantren Darul Ulum, Peterongan Jombang ini mengajak untuk menghidupkan kembali tradisi salaman.
DIa menyatakan untuk mengajak masyarakat menghidupkan kembali tradisi salaman ini berdasar. Alumnus Ilmu Kesehatan Masyarakat FK Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menganalisa sebuah data.
"Melihat data dan yang terjadi di lapangan, varian Omicron cenderung lebih jinak dibanding dengan varian Delta yang sudah lewat masa puncaknya," ucapnya pada Senin (7/3/2022).
Lebih jelas, dilihat dari data tingkat Bed Occupancy Rate (BOR) yang rendah dan Length of Stay (LOS) yang pendek di rumah sakit, menujukan bahwa masyarakat sebenarnya sudah bisa menghadapinya dengan pelonggaran protokol kesehatan (prokes) yang selama ini diterapkan.
Kemudian, soal menurunnya mortality yang signifikan, Gus Hans sapaan akrabnya menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut.
Seperti keberhasilan capaian herd immunity melalui vaksin, tingkat kepanikan menurun dan terbentuknya good habit, yaitu masyarakatsudah terbiasa mencuci tangan ketika akan dan sebelum melakukan sebuah aktivitas.
"Sudah waktunya move on, kembali pada tradisi mulia untuk kembali saling bersalaman, terutama di saat ba’da jamaah shalat di masjid atau bertemu di tempat umum dan jangan lupa selalu memegang hand sanitizer," katanya.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Gerakan Nasional Anti Narkoba Majelis Ulama Indonesia (GNAN MUI) Jatim ini juga berharap kepada pemerintah, agar menentukan kebijakan terkait Covid murni berdasarkan pertimbangan kesehatan tanpa harus terkontaminasi oleh kepentingan lain, terlebih politik.
"Tak jarang hal-hal yang sifatnya teknis non medis dapat memengaruhi keputusan medis, misal jarak antara vaksin satu dan dua serta jarak untuk booster satu berubah-ubah karena faktor non medis," ujarnya.(*)
Pewarta | : Rohmadi |
Editor | : Irfan Anshori |