TIMES SURABAYA, MALANG – Butuh komitmen bersama untuk bisa mencapai Indonesia Emas 2045. Pemerintah pusat hingga pemerintah daerah harus punya visi misi dan program yang selaras, agar Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah di dok dalam Undang-Undang nomor 59 Tahun 2024 bisa terwujud. Hal itu dibahas dalam Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Universitas Brawijaya bersama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Kamis (7/11/2024) di Hotel Montana dua Malang.
Ketua Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Ria Casmi Arrsa, SH, MH mengatakan, FGD dengan tema "Hubungan Pusat-Daerah dalam Konteks Harmonisasi dan Sinkronisasi RPJPN, RPJP Provinsi, RPJP Kabupaten/Kota di Bidang Transformasi Tata Kelola Supremasi Hukum, Stabilitas, dan Kepemimpinan Indonesia dalam Bingkai NKRI' ini bertujuan mengkaji sinkronisasi perencanaan pembangunan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Arrsa menyatakan bahwa harmonisasi dan sinkronisasi ini menjadi kunci untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan dan konsisten, sejalan dengan RPJPN Indonesia 2025 - 2045. RPJPN menjadi landasan strategis untuk membawa Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.
“Dari sisi supremasi hukum, kita menghadapi tantangan besar karena melemahnya penegakan hukum oleh aparat negara. Kasus mafia peradilan, misalnya, menjadi cermin bahwa supremasi hukum yang kita cita-citakan masih jauh dari harapan," ucapnya.
Tak hanya itu, pelemahan institusi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menunjukkan inkonsistensi antara visi pembangunan dan praktik di lapangan. Arrsa menyampaikan kekhawatiran bahwa jika masalah ini tidak diatasi, maka RPJPN hanya akan menjadi angan-angan yang sulit diwujudkan.
Salah satu rekomendasi penting yang muncul dalam diskusi ini adalah pendekatan perencanaan yang tidak diberlakukan secara seragam di seluruh wilayah Indonesia. Ria menekankan bahwa perencanaan pembangunan yang selama ini diterapkan secara umum di seluruh daerah memiliki keterbatasan karena mengabaikan kondisi unik masing-masing daerah, termasuk tantangan geografis, ekonomi, dan sumber daya.
“Bayangkan di Jawa Timur saja, kita menghadapi kompleksitas yang begitu tinggi, apalagi jika pendekatan yang sama diterapkan di seluruh Indonesia, seperti Papua, Kalimantan, atau Sulawesi. Daerah-daerah yang termasuk kategori 3T (tertinggal, terdepan, terluar) akan sangat sulit memenuhi target nasional, termasuk target zero kemiskinan, jika tidak ada penyesuaian kebijakan sesuai dengan kapasitas masing-masing,” papar Arrsa.
Gagasan klasterisasi atau segmentasi otonomi daerah, menurut Ria, adalah solusi yang lebih realistis dalam pengembangan wilayah. Pemerintahan daerah yang sudah mapan dan mampu secara finansial dapat diberi ruang untuk mengembangkan kebijakan yang lebih mandiri, sementara daerah yang masih berkembang atau tertinggal memerlukan perhatian dan bantuan lebih dari pemerintah pusat
“Dengan klasterisasi ini, kebijakan pembangunan dapat disesuaikan sesuai dengan kemampuan fiskal dan kapasitas masing-masing daerah, sehingga target-target RPJPN bisa dicapai secara lebih efektif,” jelasnya.
Diskusi tersebut juga menghasilkan rekomendasi bahwa otonomi daerah perlu dijalankan dengan pendekatan yang lebih fleksibel. Kebijakan yang selama ini bersifat seragam sering kali tidak efektif dalam menyelesaikan masalah lokal, terutama di wilayah 3T.
“Pemerintah pusat perlu mempertimbangkan otonomi daerah yang lebih adaptif, sehingga setiap daerah dapat mengembangkan kebijakannya sendiri sesuai kebutuhan. Misalnya, daerah yang memiliki kekuatan ekonomi dan tata kelola yang kuat bisa diberikan kewenangan lebih besar, sementara daerah yang membutuhkan bantuan bisa mendapatkan dukungan lebih intensif,” imbuh Ria.
Arrsa menegaskan pentingnya komitmen bersama antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam mengimplementasikan RPJPN 2025-2045. “Jika tidak ada komitmen yang kuat dari seluruh level pemerintahan, maka visi Indonesia Emas 2045 akan sulit tercapai. Dengan pendekatan yang lebih klaster dan adaptif, kita dapat membangun sinergi yang lebih baik antara pusat dan daerah,” ungkapnya.
Hasil FGD ini diharapkan menjadi rekomendasi strategis yang dapat dijadikan panduan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam menjalankan RPJPN. Dengan fokus pada penyesuaian kebijakan yang sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah, pembangunan Indonesia dapat dilakukan secara lebih efektif dan inklusif, menuju cita-cita Indonesia Emas 2045. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Butuh Harmonisasi Pusat dan Daerah Menuju Indonesia Emas 2045
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |