https://surabaya.times.co.id/
Berita

Haedar Nashir: Presiden Minta Hati-Hati Politik Identitas, Tapi Ketika Pemilu Tokoh Politik ke Pesantren

Minggu, 13 November 2022 - 13:00
Haedar Nashir: Presiden Minta Hati-Hati Politik Identitas, Tapi Ketika Pemilu Tokoh Politik ke Pesantren Haedar Nashir, ketua PP Muhammadiyah. (FOTO: suara muhammadiyah)

TIMES SURABAYA, JAKARTA – Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir mengkritik elite politik yang kerap menyampaikan soal bahayanya politik identitas. Namun, pada saat yang sama juga melakukan perbuatan tersebut.

Kritik tersebut disampaikan Prof Haedar Nashir saat memberikan sambutan dalam acara "Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif, dari Muhammadiyah untuk Bangsa".

"Orang bilang, bahkan ada pidato dari presiden (Jokowi) juga hati-hati dengan politik identitas. Tapi pada saat yang sama ketika Pemilu tiba para tokoh politik ini datang ke pesantren-pesantren," katanya dikutip TIMES Indonesia dari YouTube MAARIF Institut, Minggu (13/11/2022).

Menurutnya, secara tak langsung para politikus tersebut sudah melakukan politik identitas dengan mengambil hati politik identitas tersebut.

"Pertanyaannya kenapa ke pesantren? Bukankah itu merawat dan ingin mengambil hati politik identitas. Jadi tidak sadar membikin pernyataan yang seperti itu," jelasnya.

Yang dikunjunginya pun, lanjut dia, bukan hanya pesantren NU dan Muhammadiyah saja, melainkan pesantren-pesantren yang di luar organisasi terbesar di Indonesia tersebut.

"Pesantren NU juga pesantren muhammadiyah. Muhammadiyah juga punya 499 pesantren. Dan NU lebih banyak. Juga ada yang non muhammadiyah, non NU 
.Kan juga nanti datang ke ormas, datang ke teman-teman Gereja Katholik. Sebenarnya itu kan merawat politik identitas," jelasnya.

Selain itu, Prof Haedar Nashir juga menyinggung soal polarisasi yang terjadi akibat pemilu-pemilu sebelumnya. Ia menyebut, dalam dua periode pemerintahan Presiden Jokowi ini, pembelahan masyarakat akibat politik sangat begitu dirasakan.

"Sekarang kita menyebut pembelahan politik. Pembelahan politik ini jujur kita rasakan dalam dua periode ini. Pertanyaannya setelah kita merasakan gerah dengan pembelahan politik, apakah kita mau mengulangi hal yang sama di 2024?," katanya.

"Ini tergantung kita kita cari sebabnya. Sebabnya apa? Pertama ada reproduksi konflik ideologi atau idiom-idiom ideologi dan identitas. Dimana sesuatu yang wajar pada awalnya tapi, karena di reproduksi dengan kepentingan-kepentingan politik yang kerasa akhirnya menjadi pemicu konflik dan pembelahan," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi memang sempat mengingatkan agar tak ada lagi politik identitas dan agama pada Pemilu 2024. Hal itu disampaikan Kepala Negara saat menyinggung tahapan pemilu yang sedang berproses di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Adapun tahapan Pemilu yang sedang dipersiapkan oleh KPU harus kita dukung sepenuhnya. Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama," katanya dalam Sidang Tahunan MPR 2022 di gedung MPR RI, Jakarta Pusat (Jakpus), Selasa (16/8/2022) lalu.

Dibahas di Muktamar ke-48 Muhammadiyah

Muhammadiyah akan melakukan Muktamar ke-48 di Surakarta, Jawa Tengah pada 18-20 November 2022 nanti. Selain akan memilih Ketua Umum, pada agenda ini juga akan membahas soal isu-isu strategis keumatan.

Isu-isu tersebut salah satunya soal sistem Pemilu dan suksesi kepemimpinan di 2024 nanti. Berikut penjelasan terkait dua isu tersebut yang dikutip TIMES Indonesia dari buku berjudul "Muhammadiyah dan Isu-isu Strategis Keumatan, Kebangsaan, dan Keumatan" yang disusun oleh para ketua PP Muhammadiyah.

Reformasi Sistem Pemilu

Dalam buku tersebut dijelaskan, Pemilihan Umum atau Pemilu adalah sistem dan proses politik yang mencerminkan pelaksanaan dan kualitas de mokrasi. Pemilu adalah instrumen yang dengannya rakyat memilih anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati, wali kota, dan kepala desa. 

"Pemilu yang bermutu menghasilkan anggota legislatif dan eksekutif yang berkualitas sebagai institusi dan aktor yang menentukan kesejahteraan dan ke majuan bangsa," demikian dikutip.

Dijelaskan, Indonesia sejak kemerdekaan 1945 telah menyeleng garakan dua belas kali pemilu legislatif dan empat kali pemilihan presiden secara langsung. Idealnya, sistem dan pelaksanaan pemilu semakin berkualitas. 

"Akan tetapi, sebagaimana terlihat dari Indeks demokrasi, sistem dan pelaksanaan pemilu sarat dengan masalah, terutama dengan meluasnya politik uang yang membudaya dan politik identitas," jelasnya.

Menurut Muhammadiyah, Pemilu sebagai instrumen demokrasi bahkan melahirkan praktik oligarki kekuasaan yang tidak sejalan dengan substansl demokrasi. Di antara masalah politik dan demokrasi yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah melemahnya moralitas, oligarki kekuasaan, dominasi kekuasaan partai politik, yang salah satu akarnya ialah sistem pemilu yang liberal.

Kesadaran dan akhlak berpolitik masyarakat, penyelenggara pemilu, dan para elite partai politik maupun elite kekuasaan lainnya perlu ditingkatkan dalam bingkai nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa. Bersamaan dengan itu yang paling penting untuk ditinjau kembali lalah sistem pemilu dan sistem politik yang liberal, yang tidak se jalan dengan Pancasila. 

"Solusi hilir yang bersifat kesadaran nilai dan moral politik akan membawa perubahan signifikan apabila diperkuat dengan reformasi sistem pemilu sebagai solusi hulu," katanya.

Muhammadiyah memandang, sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif perlu diubah. Pemilihan presiden, gubernur, bupati, dan wall kota secara langsung tidak perlu diubah. 

Akan tetapi, mekanisme pemilihannya perlu diperbaiki ke arah yang lebih efisien dan efektif, misalnya melalui sistem pemilu tertutup atau terbuka terbatas serta pemilihan eksekutif terintegrasi untuk meniadakan politik uang, ekses politik identitas, dan pembelahan masyarakat atau polarisasi politik. 

"Praktik pemilihan presiden dan wakil presiden kerap memicu polarisasi apabila kompetitornya hanya dua pasangan kandidat sehingga Muhammadiyah mendorong kompetisi pemilu yang lebih meminimalisasi dampak polarisasi dan politisa si identitas yang tidak produktif bagi penguatan bangunan kebangsaan. Dukungan pada partisipasi aktif partai politik untuk memproyeksikan kader terbaik bangsa berlaga secara sportif dan bermartabat," jelasnya.

Oleh karenanya, Muhammadiyah menilai, bersamaan dengan itu ke depan penting ada mekanisme dikontrol, agar proses dan produk legislasi perun dang-undangan maupun peraturan pemerintahan hingga ke kementerian tidak bersifat oligarkis, monolitik, dan ter tutup pada aspirasi publik sehingga bertentangan dengan asas dan substansi demokrasi. 

"Pemilu 2024 juga diharapkan menjadi momentuk untuk menata kemball praktik ketat anegaraan yang liberal dan salah kaprah, penataan Insti tusi-institusi yang superpower atau superbodi seperti Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam satu paket penataan atau reformasi sistem ketahanan dan keamanan nasional," ujarnya. 

Suksesi Kepemimpinan 2024

Muhammadiyah menjelaskan, Indonesia sesuai konstitusi setiap lima tahun sekali menggelar suksesi kepemimpinan yaitu Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan secara serentak terkait pemilu presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI. 

"Praktik normalisasi praktik politik uang, oligarki partal, pragmatisme politik, candidate centered, dan pembelahan politik menja dikan pemilu lima tahunnya seringkali tidak menjadi ajang untuk melipatgandakan politik yang berorientasi pada kerja, pengkhidmatan, dan politik harapan namun lebih dihinggapi penyakit politik oligarki dan haus kekuasaan," katanya.

Bersamaan dengan itu tumbuh politik ketakutan akan konflik akibat polarisasi politik, politik Identitas, sentimen SARA, dan politik penghukuman. Tumbuh populisme yang hanya mengejar popularitas dan dukungan rakyat secara luas tanpa dibarengi dengan jiwa autentik mencintal dan memperjuangkan nasib rakyat yang mayoritas masih jauh dari hidup adil, makmur, sejahtera, dan maju.

Dalam buku tersebut, Muhammadiyah menjelaskan, Indonesia sudah mengalami pemilu sebanyak lima kali pascareformasi 1998, namun politik elektoral lebih sering merisikokan kohesivitas sosio-budaya yang disebab kan politik sentimentil yang destruktif dan keengganan menghargai keragaman pilihan sebagai keniscayaan. 

Serentaknya dan kompleksnya sistem pemilu seharusnya juga menuntut banyak kalangan yang mencintai negeri ini untuk memikirkan dan mendorong kepemimpinan yang memiliki platform visi kebangsaan dan visi kenegaraan yang kuat, visi penghargaan terhadap kemajemukan dan persatuan dalam Jiwa Bhinneka Tunggal Ika, visi menyatukan, visi memak murkan, dan visi memajukan Indonesia. 

Muhammadiyah menilai, para pemimpin eksekutif dan legislatif seharusnya didorong untuk memi liki orientasi pada nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa yang mendalam dan autentik. 

Para pemimpin yang terpilih dan diamanahi menjadi pengelola negara ini harus lah sosok-sosok negarawan sejati yang lebih mengutama kan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri, kroni, dinasti, dan kepentingan sesaat lainnya. 

"Para pemimpin yang dipilih juga mampu membebaskan dari koop tasi berbagai kekuatan asing maupun domestik, yang terus-menerus bekerja membelokkan negara dari fungsi dan orientasi kepatuhan konstitusional dan keluhuran nilai Pancasila. Para pemimpin yang di hasilkan oleh Pemilu 2024 juga diharapkan memiliki prinsip politik untuk melepaskan dan tidak untuk melanggengkan kekuasaan," ujar ketua PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir. (*)

Pewarta : Moh Ramli
Editor : Dhina Chahyanti
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.