https://surabaya.times.co.id/
Berita

Nelayan Morokrembangan Melestarikan Sedekah Laut Sejak 1921 

Senin, 12 Juni 2023 - 08:45
Nelayan Morokrembangan Melestarikan Sedekah Laut Sejak 1921  Ratusan warga Kampung Nelayan Morokrembangan RW VIII mengikuti prosesi sedekah bumi dan laut, Minggu (11/6/2023) sore.(Foto: Lely Yuana/TIMES Indonesia)

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Menuju petang di gang sempit Kampung Nelayan Morokrembangan. Jalanan penuh beraneka makanan dan kudapan tradisional lezat. Sementara ratusan warga duduk menggelar tikar. Dari ujung ke ujung dan setiap belokan. Tua muda berkumpul pada Minggu (11/6/2023) kemarin. 

Bulan Selo. Bulan sakral bagi penduduk setempat. Mereka bergotong royong menggelar sedekah bumi dan sedekah laut sebagai ungkapan rasa syukur serta doa-doa atas perjalanan selama satu tahun. 

Sementara di tepi muara. Ketua Sinoman Salikin dan Wakil Ketua Kelompok Bintang Samudera Utama, Yono nampak mengatur sampan. Hampir 99 persen sampan menggunakan mesin. 

"Kalau nggak salah bulan delapan nanti keluar enam unit perahu fiber hasil Musrenbang kemarin. Insya Allah," kata Yono kepada Salikin. Mereka pun kembali melanjutkan mengarahkan parkir perahu para nelayan muda. 

Sebagian kecil penduduk memang masih bertahan mengandalkan perekonomian dengan berburu ikan dan hasil laut. Total 30 persen nelayan. Ada 86 orang. Namun beberapa juga ada penjaring serta suluh ikan menggunakan berbagai macam alat. 

Mereka berada di bawah tiga kelompok perkumpulan nelayan. Bintang Samudera, Bintang Samudera Utama dan Bintang Samudera Jaya. Kelompok ini dari RW VIII. Sedangkan RW VII memiliki kelompok sendiri bernama Bahari I dan Bahari II. 

Yono dan Salikin sesekali mengingat bagaimana perjuangan mereka di tengah lautan sebagai petarung sejati sejak muda. Lalu tertawa saling memberi semangat. 

Belakangan mereka mengaku sulit menjaring ikan dan udang karena faktor musim dan cuaca. Belum lagi tantangan lain seperti melubernya tanaman enceng gondok dan tumpukan sampah di hilir turut menjadi kendala keberangkatan perahu sehingga mereka kerap urung berlayar. 

Namun tidak untuk kali ini. Mereka turun berupaya menepikan sampah yang konon merupakan kiriman dari Bozem Morokrembangan. Keduanya berpikir ada kesalahan teknis saat membuka pintu air sehingga muara lebih seperti menjadi tempat buangan sampah dan enceng gondok. 

"Waduh, kemarin nggak bisa jalan perahu hampir dua minggu gara-gara bengok (enceng gondok). Buangan dari situ," kata Salikin menunjuk arah pintu air. 

Meskipun menghela napas dengan persoalan klasik tersebut, Yono dan Salikin tak mampu banyak bercakap. Hanya berupaya meminimalisir agar sampah dan enceng gondok itu tak menghalangi laju perahu mesin mereka hari itu. Karena senja mulai tiba. 

Nelayan harus secepat mungkin mengantar sesajen lengkap dalam miniatur kapal-kapalan kecil berisi ayam ingkung dan kembang setaman menuju tengah lautan. Itu pun biasanya mereka harus menunggu air pasang di muara. Begitu cara mereka mengorganisir kegiatan berdasarkan pertanda alam. Jarak dari muara menuju perbatasan laut sekitar 1 kilometer. 

Yono bercerita. Sedekah bumi dan laut ini telah berlangsung sejak 1921. Dahulu, warga di sini merupakan perpindahan dari Kawasan Morokrembangan Komplek. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda memindahkan mereka ke Morokrembangan pada tahun 1919. 

Warga sempat menentang membelot melawan. Namun, perjuangan mempertahankan tanah mereka gagal. Belanda berhasil memaksa mereka pindah pada 1921.

"Mulai pindah dari Morokrembangan Komplek sampai ke sini. Nenek moyang kami di sini," ucap Yono. 

Tahun pertama bulan Selo hingga bulan Rajab muncul wabah penyakit. Sesepuh kampung kemudian memberikan tumbal berupa kambing kendit ke tengah laut. Wabah mereda. Tradisi itu kemudian berlanjut ke anak cucu sampai detik ini. 

Salikin turut mengungkapkan, larung sesajen dalam sedekah laut dengan harapan agar penduduk kampung ini selamat dan nelayan mendapatkan rezeki yang tak pernah surut. 

Setiap sedekah bumi dan laut, mengandung makna dalam bagi warga setempat. Mereka mengusung ludruk sebagai ciri khas pertunjukan. Bahkan, grup ludruk legendaris Kirun Cs pernah tampil. Sementara tahun ini ada juga pertunjukan campur sari dan Tari Remo. 

Acara mendapat dukungan dari berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah. Mulai kelurahan, kecamatan, pemerintah kota, pengurus sinoman dan komunitas. 

Camat Krembangan Harun Ismail mengapresiasi kegiatan kultural tersebut. Di tengah perkembangan kota yang begitu pesat, warga masih melestarikan budaya warisan leluhur. 

"Melestarikan warisan leluhur nenek moyang masih tetap terus dipertahankan serta terus dilaksanakan sebagaimana yang dilakukan di RW VIII," kata Harun. 

Dia berharap generasi mendatang masih bisa meneruskan tradisi warisan sebagai upaya penguatan kultural karena berpeluang menarik wisatawan. 

"Mudah-mudahan ke depan tradisi sedekah bumi ini bukan hanya bisa dinikmati oleh warga RW VIII. Tetapi mungkin ini bisa menjadi daya tarik bagi wisawatan baik lokal maupun mancanegara," ungkap Harun. 

Tujuan sedekah bumi sendiri kata Harun merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan. 

Kemudian kedua, sedekah bumi diharapkan semakin mempererat persatuan dan kesatuan warga di Kelurahan Morokrembangan khususnya RW VIII. 

"Insya Allah dengan kegiatan rutin seperti ini, Kelurahan Morokrembangan di Kecamatan Krembangan akan selalu aman dan terhindar dari malapetaka, terhindar dari segala macam konflik baik antar warga maupun konflik lainnya," ujar Harun.(*)

Pewarta : Lely Yuana
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.