TIMES SURABAYA, SURABAYA – Seniman Bernadette Godeliva Fabiola Natasha meluncurkan sebuah buku fotografi sekaligus menggelar pameran foto tunggal bertajuk Puja di Visma Art Gallery mulai 11 Maret lalu hingga 11 April 2022 mendatang.
Kedua momen itu diresmikan oleh Angie Mizeur, Kepala Humas Konjen Amerika Serikat dan Education USA Adviser di Surabaya. Angie mengaku sangat tertarik dengan karya-karya Fabiola yang unik.
Dalam pameran ini, Fabiola menampilkan 13 karya foto dalam pigura besar sebanyak 12 bingkai dan 1 foto dalam pigura kecil. Kemudian ada satu instalasi serta instalasi collaboration. Dalam presentasi pameran inilah tampak keunikan karya Fabiola.
Fabiola sengaja mengemas pigura dengan sentuhan lawas. Ia memang gemar mengolah sesuatu yang ada di sekitarnya hingga melahirkan sebuah ide luar biasa.
Ia seolah menegaskan bahwa semua bisa tak dianggap apa-apa. Termasuk diri kita. Maka dia mengangkatnya sebagai sesuatu yang melebihi sangka orang atasnya agar timbul perenungan baru. "Saya mulai menempatkan diri berada di dalamnya untuk melihatnya secara penuh," katanya, Senin (21/3/2022).
Secara presentasi pula, pameran foto Fabiola ini unik karena dia membuatnya dalam shape lingkaran. Untuk sebuah karya foto shape ini tak lazim. Namun Fabiola sengaja memilih demikian karena ada konsep yang mendasarinya. Itu sudah sesuai dengan filosofi yang dia bawa dalam berkarya.
"Citra estetika yang saya buat adalah penggabungan Enso sebagai circle of enlightenment dan Wabi Sabi sebagai acceptence of transience," tegasnya.
Jika dirunut ide dasar pembuatan buku dan pameran ini adalah ketika Fabiola mulai terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya sendiri sejak beberapa tahun lalu. Pertanyaan itu seperti siapa saya, siapa mereka, mengapa kami berjumpa, mengapa saya dihadirkan sebagai seorang Fabiola, dan lain-lain.
Sederetan pertanyaan itu berkecamuk. Semula memang itu gangguan. Namun berikutnya dia membalikkan itu semua sebagai entry point yang membawa dia dalam hal-hal yang lebih spiritual.
Diakuinya pertanyaan-pertanyaan itu datang dari berbagai peristiwa yang terjadi pada dirinya sendiri yang membuat luka batin. Tapi bukan sebagai sebuah kekecewaan yang berlarut-larut namun lebih pada keingintahuan apa makna dirinya sebagai seorang Fabiola.
Pada awalnya jawaban atas pertanyaan tersebut tidak pernah ada yang memuaskannya. Sebab dia sering tidak puas dengan yang ada. Untungnya Fabiola punya cara menuangkannya yaitu dengan berkarya baik itu memotret atau melukis.
Hingga dalam pencarian jawaban tersebut, suatu ketika Fabiola melihat tayangan tentang bhiksu yang menggambar mandala selama berbulan-bulan. Namun ketika mandala tersebut tercipta malah ia menghancurkannya dalam sekian detik.
"Tentu saja saya sangat terkejut. Mengapa dia melakukannya? Belakangan saya memaknainya bahwa everything is nothing. Rupanya itulah jawabannya kira-kira," katanya.
Berikutnya Fabiola membaca tentang filosofi Wabi Sabi bahwa dalam ketidaksempurnaan ada sebuah keindahan.Demikian juga saat mulai memahami konsep Enso.
Bahwa bukan sekadar lingkaran namun simbol keanggunan dan kekuatan alam semesta serta kekosongan mutlak untuk mencapai tingkat meditasi dan pencerahan tertinggi atau enlightenment atau yang disebut Satori.
"Untuk dapat membuat Enso maka diperlukan pikiran yang tidak lagi terikat pada tubuh dan roh," tegasnya.
Jawaban-jawaban yang sangat berbeda untuk setiap orang ini pada akhirnya membuat Fabiola belajar untuk lebih memahami makna kehidupan dan menghargai dunia seisinya. Termasuk pula belajar memaafkan.
"Bentuk perenungan spiritual itu jadilah buku dan pameran ini. Mungkin hasil perenungan orang lain akan beda," terangnya.
Sebelum menjadi buku dan pameran, sebagai pelukis, ide itu sebenarnya ingin diwujudkan Fabiola dalam karya lukis. Kebetulan pada 2021, Chinese ink painting artis ini mengikuti PannaFoto Future Talent: One-Year Mentorship 2022.
Salah satu mentor yang ikut memberikan ulasan dalam bukunya adalah Kurniadi Widodo, seorang pendidik dan fotografer. Tercetuslah ide untuk menuangkannya ke dalam medium foto.
Dalam buku, ada 26 karya foto berikut 8 haiku. Beberapa karya disajikan mofern mengikuti teknologi zaman kini yaitu terdapat animasi yang diletakkan dalam aplikasi Augmented Reality yang diwujudkan atas kerja sama dengan aplikasi karya anak-anak Surabaya yaitu Aryanna.
Senada dengan pamerannya, Fabiola juga mempersembahkan buku fotonya dengan muatan-muatan yang penuh perenungan spiritual. Meskipun berkarya maksimal dalam foto-foto Fabiola ternyata justru tidak ingin bukunya disebut sebagai buku foto.
Sebagai ajakannya untuk lebih mengamati berbagai hal yang terjadi dalam hidup, Fabiola menjadikan bukunya sebagai sesuatu yang bisa diperlakukan secara pribadi. Meniru istilahnya, dia menyebut bukunya mirip diary.
Yang populer saat zaman jadul sebelum ada gadget diary sudah biasa menjadi catatan pribadi setiap orang. Itu semata katena Fabiola ingin semua orang merasa nyaman memiliki bukunya yang sudah dibuka prapesan pada pertengahan Februari lalu.
Bahkan yang membutuhkan kesembuhan mental, dapat berbagi bersama dengan bukunya yang dicetak oleh penerbit Padmedia dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris itu.
Itulah mengapa ada halaman kosong yang sengaja disertakan dalam buku. Seperti dirinya, Fabiola ingin menampung hal-hal yang tak ingin dituliskan orang lain ke dalam buku. Karena begitu banyak sehingga perlu ruang kosong baru yang disimbolkam dengan halaman kosong itu. Penikmat bukunya punya keleluasan untuk merespons.
Dengan demikian mala ia menyilakan siapa pun untuk menuangkan apa saja saja di lembar-lembar tersebut. "Jika ingin merobeknya silakan. Terserah," kata Fabiola tentang bukunya.
Kalau tak mau disebut sebagai buku foto, memang ada yang tak lazim dalam ukuran, misalnya. Selain tidak seperti photo book umumnya yang hampir selalu dicetak dalam hard cover, dia sengaja mencetaknya mini. Dimensinya hanya 20x21 centimeter.
Ini tentu tak mengikuti aturan yang lumrah diambil para fotografer kebanyakan. Selain ingin berbeda, ada alasan mengapa demikian. Dia mau buku ini handy untuk siapa saja.
"Kalau diary kan harus enak dibawa. Biar serupa block note yang gampang dibawa ke mana-mana. Karena kecil, ya cocok jadi bawaan ringan para traveller dan orang-orang yang suka bepergian seperti saya," katanya.
Yang menarik, semua karya foto -baik dalam pameran dan buku- sengaja tidak diberikan judul. Padahal dalam buku foto atau pameran, judul sangatlah penting.
Namun justru dengan begitu, semua yang menikmati foto-fotonya bisa bebas berimajinasi dan memberikan interpretasi atasnya. Baginya, setiap manusia memiliki perjalanan kehidupan berbeda. "Jika terjadi kesamaan pun bisa jadi itu belum tentu sama dengan pengalaman saya," bebernya.
Dengan segala keunikannya 'Puja' sebenarnya mengungkap banyak filosofi mendasar dalam hidup yang ingin dibagikan Fabiola kepada siapa saja. "Puja" menjadi cara Fabiola mengingat tentang wujud penerimaan dan pengagungan atas semua perjalanan hidup yang telah dia lalui.
"Saya sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada yang kekal. Everything is nothing. Semua memiliki sifat baik atau buruk. Itu akan terus berulang. Bahkan untuk hal-hal kecil yang sering terabaikan. Kelahiran, kematian, dan kembali ke kelahiran," tandas Fabiola Natasha, dosen Lasalle College Surabaya itu. (*)
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Ronny Wicaksono |