TIMES SURABAYA, SURABAYA – Beberapa pekan terakhir, warga di berbagai kota dan kabupaten di Jawa Timur dibuat cemas. Kendaraan yang semula normal tiba-tiba tersendat atau mbrebet, hingga harus masuk bengkel karena injektor dan komponen lain rusak, diduga setelah pengisian BBM di sejumlah SPBU.
Sebagian pengendara mengeluhkan kerusakan yang memakan biaya ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Yang lain masih menahan napas, takut kendaraannya menyusul tambah rusak. Di tengah aktivitas sehari-hari, dari pekerja yang mengandalkan sepeda motor hingga UMKM yang bergantung pada pasokan transportasi, kekhawatiran ini nyata terasa.
Cerita ini bukan satu dua, melainkan menjelma menjadi gelombang kesaksian di media sosial, grup komunitas otomotif, dan laporan warga. Mereka bertanya dengan nada sama: “Ada apa dengan kualitas BBM kita?”
Pertamina sendiri sudah membuka posko aduan. Itu langkah pertama dan bagus. Tetapi jujur saja, kita semua tahu bahwa posko aduan bukan tempat mencari keadilan, melainkan tempat mencatat masalah secara administratif.
Pertanyaan publik masih menggantung, siapa yang bertanggungjawab? Bagaimana kerugian diperbaiki atau dipulihkan? Haruskah setiap orang berjuang sendiri-sendiri?
Hak Konsumen Tidak Boleh Diabaikan
Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikelola untuk kemakmuran rakyat, yang artinya keamanan, kualitas, dan kepercayaan publik adalah prinsip utama, bukan sekadar bagian dari strategi bisnis.
Dalam kerangka itu, kewajiban menjaga mutu BBM bukan pilihan moral perusahaan, tetapi mandat hukum. Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2018 secara tegas mewajibkan Badan Usaha Niaga Migas dan penyalur untuk memastikan keberlangsungan pasokan sekaligus memenuhi standar mutu dan spesifikasi BBM sesuai peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, dari hulu hingga SPBU, ada kewajiban hukum untuk memastikan bahwa bahan bakar yang sampai ke masyarakat aman dan layak digunakan.
Karena itu, konsumen tidak boleh dipaksa menanggung beban pembuktian yang berat dan teknis, mulai dari uji laboratorium hingga konsultasi ahli, hanya untuk memastikan bahwa kerusakan kendaraannya bukan akibat kesalahan sendiri.
Hukum perlindungan konsumen telah mengantisipasi situasi ini melalui prinsip strict liability atau tanggung jawab ketat. Sehingga, ketika ada dugaan yang layak bahwa produk menyebabkan kerugian, pelaku usaha dapat dimintai pertanggungjawaban tanpa konsumen harus memecahkan teka-teki teknis yang bahkan tidak semua ahli mampu jelaskan.
Dalam ekosistem layanan publik, apalagi sektor energi, rakyat tidak seharusnya berjuang sendirian menghadapi risiko yang secara ekonomi dan teknis berada jauh di luar kapasitas mereka.
Situasi yang kini sedang bergulir di Jawa Timur. Puluhan atau bahkan ratusan pengguna kendaraan mengalami keluhan serupa, diduga setelah mengisi bahan bakar di SPBU tertentu: mesin tiba-tiba mbrebet, injektor tersumbat, pompa bahan bakar terkendala, hingga biaya perbaikan yang dalam banyak kasus mencapai ratusan ribu rupiah.
Jika setiap konsumen dipaksa menempuh jalur gugatan secara individual, prosesnya akan berat, mahal, memakan waktu lama, dan pada akhirnya dirasa tidak adil. Oleh karena itulah hadir mekanisme gugatan bersama atau class action. Sederhananya, ini cara untuk maju bersama tanpa semua harus datang ke pengadilan.
Mekanisme ini bukan hal baru di Indonesia. Mahkamah Agung telah mengatur PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, dengan alasan efisiensi penyelesaian sengketa massal dan perlindungan akses keadilan bagi masyarakat.
Dalam konsiderans PERMA ini ditegaskan bahwa pelanggaran hukum yang merugikan orang banyak secara serentak tidak efektif diselesaikan secara individual, sehingga gugatan kolektif diperlukan untuk menjaga asas peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Mekanisme Class Action
Gugatan class action hanya dapat diajukan oleh satu atau beberapa orang yang memang menjadi korban langsung dari peristiwa yang didalilkan merugikan banyak pihak. Wakil kelompok inilah yang menjadi pintu masuk proses gugatan.
Prinsip dalam hukum acara perdata seperti point d’intérêt point d’action, yakni mereka yang memiliki kepentinganlah yang berhak mengajukan gugatan. Artinya, perwakilan kelompok bukan simbolis, tetapi harus benar-benar mencerminkan kepentingan yang diperjuangkan.
PERMA No. 1 Tahun 2002 jugsa memberikan kerangka normatif mengenai syarat gugatan kelompok. Pasal 2 menegaskan empat unsur kunci, antara lain: jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga gugatan individu tidak efektif dan efisien; adanya kesamaan fakta dan dasar hukum yang substansial; jenis tuntutan yang serupa; serta kewajiban wakil kelompok bertindak jujur dan sungguh-sungguh melindungi kepentingan anggotanya, termasuk potensi penggantian kuasa hukum bila bertentangan dengan kepentingan kelompok.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa class action bukan sekadar penggabungan perkara, melainkan desain prosedural untuk menjaga keadilan substantif dan melindungi publik dari ketimpangan posisi di hadapan pelaku usaha besar.
Selanjutnya, Pasal 3 PERMA No 1 Tahun 2002 mengatur standar ketat isi gugatan. Gugatan harus memuat identitas jelas wakil kelompok, definisi spesifik kelompok tanpa harus mencantumkan semua nama satu-per-satu, uraian fakta atas kerugian seluruh anggota, kemungkinan pembentukan sub-kelompok bila tingkat kerugian bervariasi, serta permohonan ganti rugi yang jelas disertai proposal mekanisme distribusinya, termasuk usulan pembentukan tim atau panel khusus untuk pelaksanaan kompensasi atau ganti rugi.
Tentu hal tersebut penting sebab dalam sengketa seperti dugaan kualitas BBM di Jawa Timur, kerugian konsumen dapat berbeda-beda: ada yang mengalami kerusakan ringan dan ada yang harus mengganti sistem injeksi atau pompa bahan bakar.
PERMA secara sadar mengantisipasi itu dan meminta rancangan distribusi sejak awal. Tujuannya satu: kepastian, keadilan, dan kejelasan pemulihan bagi seluruh konsumen yang dirugikan.
Persoalan BBM yang mencuat di Jawa Timur harus dilihat sebagai persoalan keadilan, kepercayaan, dan tanggungjawab publik. Kita membutuhkan transparansi, mekanisme pemulihan yang jelas, dan keberanian untuk menyelesaikan masalah secara terbuka.
Mekanisme Class action adalah instrumen hukum yang memberi ruang agar suara warga tidak tercecer dan kepentingan publik tidak tenggelam oleh prosedur birokrasi. Bagaimana pendapat Anda? (*)
***
*) Oleh : Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |