TIMES SURABAYA, SURABAYA – Film Pangku menjadi salah satu karya sinema paling menonjol pada 2025. Bukan hanya karena menandai debut penyutradaraan Reza Rahadian, tetapi juga karena keberaniannya menampilkan realitas gelap industri hiburan pinggiran, khususnya di warung kopi pangku jalur Pantura.
Film berdurasi 1 jam 44 menit itu sukses menyedot perhatian publik lantaran menyuguhkan kritik sosial tajam dengan pendekatan sinematik yang matang.
Mengambil sudut pandang perempuan yang kerap menjadi komoditas dalam industri hasrat, Pangku bertumpu pada kisah Sartika, diperankan Claresta Taufan.
Sartika digambarkan sebagai perempuan muda hamil yang merantau ke Pantura demi masa depan anaknya. Pertemuannya dengan Bu Maya (Christine Hakim), pemilik warung kopi, membuka pintu baru sekaligus jerat sosial yang berlapis.
Kehangatan dan pertolongan Bu Maya pada awal cerita perlahan terkuak sebagai bagian dari struktur relasi kuasa dalam bisnis hiburan malam. Warung kopi pangku digambarkan bukan sekadar tempat istirahat, tetapi ruang ekonomi berbasis kedekatan emosional dan tubuh perempuan sebagai komoditas visual. Kritik itulah yang membuat film ini mencuri perhatian publik.
Konflik memuncak saat hadirnya karakter Hadi (Fedi Nuril), pelanggan yang memberi harapan cinta dan masa depan pada Sartika, namun pada akhirnya menyembunyikan identitas bahwa dirinya telah menikah.
Dari titik ini film menegaskan bagaimana ilusi cinta turut dimainkan sebagai perangkat eksploitatif dalam ekonomi afeksi.
Dari sisi visual, Reza Rahadian memilih pendekatan yang menolak objektifikasi tubuh perempuan. Alih-alih menggunakan sudut kamera erotis, Pangku fokus pada ekspresi batin, kelelahan, dan pergulatan emosional Sartika.
Pengambilan gambar close-up dan ruang sempit menekankan tekanan psikologis perempuan dalam industri hiburan, menghadirkan empati alih-alih voyeurisme.
Namun tekanan sosial bertema male gaze tetap menjadi poros narasi. Film menyoroti bagaimana tatapan laki-laki menjadi fondasi ekonomi warung pangku: pelanggan membeli kedekatan, pemilik menentukan peran, masyarakat memberi batas moral.
Perempuan dituntut tampil lembut, patuh, dan emosional sebagai bagian dari fantasi laki-laki. Di titik itulah film menguraikan bagaimana male gaze bekerja bukan hanya lewat kamera, tetapi lewat struktur sosial.
Pangku menegaskan bahwa perempuan bukan sekadar objek pasif. Melalui Sartika, film menunjukkan strategi bertahan di tengah kemiskinan memanfaatkan tubuh dan emosi sekaligus terjebak dalam sistem yang mengikatnya.
Benturan antara perlawanan dan kepasrahan memuncak menjadi pesan utama film: beban sosial perempuan bersumber dari struktur ekonomi dan kultural yang menempatkan tubuhnya sebagai pusat sekaligus komoditas.
***
*) Oleh : Moh Syaiful Bahri, Mahasiswa Magister Kajian Budaya Universitas Sebelas Maret.
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |