Kopi TIMES

Telur dan Susu Beruang

Kamis, 08 Juli 2021 - 13:12
Telur dan Susu Beruang Moh Ramli, Jurnalis TIMES Indonesia.

TIMES SURABAYA, JAKARTA – SAYA benar-benar tidak bisa berhenti tertawa. Ketika teringat yang satu ini. Di tahun 2020 lalu di media sosial heboh soal postingan bayi baru lahir dan langsung bisa bicara itu. Dan menyampaikan, telur rebus bila dimakan tengah malam dapat mencegah Covid-19. Ramai-ramailah masyarakat percaya. Menghidupkan kompornya.

Besoknya mereka baru sadar. Ternyata postingan itu hoaks. Sedihnya, keluarga saya di kampung Sumenep, Madura ternyata juga masuk dalam daftar yang terpapar hoaks "bayi sakti" tersebut. Tapi itu masih positif. Warung kelontong kenak imbasnya. Telur habis dalam sekejap.

Ini yang terbaru. Soal mitos yang beredar. Susu beruang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Termasuk Covid-19. Susu dengan iklan Naga itu dipercaya masyarakat bisa menjur. Meski tak usah vaksinasi Covid-19.

Laris manislah susu tersebut. Diburu. Jadi rebutan. Sampai stok tak cukup. Pasokannya sangat langka. Membuat klarifikasilah para ahli gizi diberbagai kampus dan Rumah Sakit. Itu tidak benar. Susu beruang tak bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit seperti yang dipercaya itu. 

Kata para ahli itu, susu beruang sama saja dengan minum produk susu lainnya. Kandungan gizi yang ada dalam produk susu kemasan di pasaran sama antara satu produk dan lainnya.

Itulah ekspresi kepanikan masyarakat kita akhir-akhir ini. Dari begitu takutnya, yang tak logis saja bisa dipercaya. Saya tidak bisa membayangkan, bagaimana nasib para jomblo. Jika besok beredar hoaks atau mitos: ASI sangat ampuh membasmi Covid-19 dalam tubuh.

Saya hanya ingin mengatakan begini: itulah fakta psikologis masyarakat kita dewasa ini, kawan. 

Lah, bagaimana tidak panik dan imunitas masyarakat lemah, setiap hari dan malam disuguhi berita kematian karena terpapar Covid-19. Angka Covid-19 pecah rekor. Berbagai varian baru sudah masuk Indonesia diberitakan semakin cepat menular dan mematikan. Oksigen yang habis. Rumah Sakit yang kolaps karena pasien membeludak. Pemakaman yang antre. Ngeri luar biasa bukan?

Saya rasa ko begini saja: kesadaran media arus utama harus hadir saat ini. Berhenti dulu menulis, menayangkan dan menyebarkan "ketakutan" yang saya sebutkan di atas itu. Saya jelas tahu. Itu tidak mudah. Tapi bisa dilakukan. Dan sangat bisa dilakukan. Kita hanya butuh kedewasaan dan kekompakan saja. 

Ini ranahnya sudah masalah nyawa dan keberlangsungan generasi. Jangan sampai berita yang dibuat, justru menyumbang angka kematian di negara kita sendiri. Dan itu sangat mungkin terjadi. Karena kepanikan dan kecemasan berdampak stres hingga mendukung nyawa manusia melayang. 

Ke depan menurut saya, media bisa merubah. Fokus angle-angle berita kesembuhan, edukasi kesehatan dan kabar baik soal perkembangan Covid-19 di Tanah Air. Mesti tentu, pemerintah juga tak boleh culas soal itu. Tak boleh sembunyikan angka yang terpapar. Benar-benar harus transparan. Website resmi harus terus hidup dan diisi perkembangan Pandemi ini. Agar masyarakat yang kepo, sewaktu-waktu bisa melihat sendiri perkembangannya. 

Saya hanya bisa berdoa: semoga ini dipertimbangkan oleh Insan Pers serta Dewan Pers yang terhormat.

PPKM Darurat

Saat ini, banyak tetangga kita yang galau dan menderita, kawan. Apalagi mereka yang kehilangan anaknya, ibunya, atau ayahnya karena sebab terpapar Covid-19 itu. Yang dimakamkan secara "tidak wajar" itu. Apa lagi dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Darurat itu.

Banyak perusahaan non esensial dan non kritikal harus ditutup. Termasuk pengusaha-pengusaha kecil yang jam operasinya sudah dibatasi. Wisata tutup. Yang kata Menteri Sandiaga Uno kemarin itu, setidaknya ada 34 juta masyarakat yang menggantungkan "nasib dapurnya" di sektor tersebut.

Sebagai akar rumput, saya atau mungkin mayoritas masyarakat mendukung jika pemerintah yang kini dinahkodai oleh Presiden Joko Widodo ini melakukan penekanan penyebaran Covid-19. Tapi kritik saya begini. Semoga ini sopan ya. Semoga tidak dipanggil Rektorat ya. PPKM Darurat ini sudah dikaji secara kepekaan sosial (social sensitivity) atau tidak?

Saya katakan "kepekaan" karena ini soal pertaruhan nasib jutaan keluarga loh. Penerapan waktunya tidak sebentar. Dari tanggal 3 hingga 20 Juli nanti. Dan masyarakat diminta untuk memotong pendapatnya. 

Yang harusnya membayar kos cukup. Yang harusnya membayar kredit motor dan panci cukup. Yang seharusnya bisa membayar utang cukup. Sekarang sudah sebaliknya. Ini belum soal mengenai masuknya TKA dari China kemarin itu. Yang dengan santainya tanpa dosa masuk ke Indonesia itu. Yang merusak akal sehat dan keadilan itu.

Mungkin sebagian dari kita (apalagi hidupnya yang tercukupi) tidak merasa. Di Jakarta ada ribuan orang diminta putar balik oleh TNI-Polri sejak diberlakukannya PPKM Darurat tersebut. Mereka mandi peluh. Memutar motornya sembari menggerutu. Pulang dengan hati kecewa. Niat kuat untuk membelikan susu anaknya yang masih kecil, dirampas oleh aturan tersebut. 

Maksud saya begini: isikan perut masyarakatnya dulu. Baru dipersilahkan pemerintah membuat aturan sebanyak mungkin. Apapun itu.

Bagaimana bisa masyarakat kita memiliki imunitas yang baik agar tak rentan terpapar Covid-19. Kalau yang dikonsumsi hanya nasi putih, tempe dan tahu saja. Bagaimana bisa masyarakat kita memiliki imunitas yang baik, jika kegalauan dan kesedihan terus memuncak karena untuk makan besok saja harus dipikirkan hingga tak bisa tidur.

Ranah sakit itu mungkin "bisa" ditahan. Apa lagi bagi yang imun dan imannya tanggung. Tapi kalau sudah kantong kering, perut lapar, anak menangis tidak bisa beli ini dan itu karena duitnya tidak ada. Disitulah manusia berpotensi melakukan apa saja. Termasuk kejatahan. Kata guru kita dulu: kemiskinan itu lebih dekat dari kekufuran.

Saya tambahkan. Mengutip dari buku Rolf Dobelli. Sir Michael Marmot, profesor di University College London mengatakan, orang yang berada di status lebih rendah (miskin) itu lebih cepat sakit. Lebih sering menderita depresi. Dan lebih cepat meninggal. Status memiliki konsekuensi fisik sangat penting. 

Apalagi PPKM Darurat ini berdampak pada pendukung Prancis di Euro 2020. Jelas imunitasnya anjlok. Karena mereka sejak dibungkam oleh Swiss itu, sudah jadi kelompok yang deritanya sudah di atas derita. Harusnya mereka yang diberikan bantuan sosial (bansos) telur dan susu beruang itu. Agar kuat menghadapi kenyataan. 

Tetap jaga jarak. Memakai masker. Dan salam sehat.

***

*) Oleh: Moh Ramli, Jurnalis TIMES Indonesia.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.