TIMES SURABAYA, BONDOWOSO – Predikat generasi emas diperuntukkan bagi generasi muda Indonesia yang diproyeksi menjadi tulang punggung kemajuan negara tahun 2045. Kala itu Indonesia akan merayakan 100 tahun kemerdekaan. Secara umum, generasi emas ini mencakup mereka yang saat ini berusia muda. Termasuk di dalamnya yaitu generasi Z (lahir antara 1997 hingga awal 2010-an) dan Generasi Alpha (lahir setelah 2010), yang akan berada pada usia produktif di tahun 2045.
Istilah generasi emas juga representasi harapan besar akan kontribusi generasi muda untuk membawa Indonesia ke era keemasan. Generasi yang memiliki pendidikan lebih baik, keterampilan lebih unggul, dan kesehatan lebih terjaga. Hal itu guna memastikan kesiapan bersaing di pasar global. Mereka diproyeksikan memiliki peran besar dalam menciptakan inovasi, meningkatkan daya saing, dan memajukan berbagai sektor.
Salah satu yang perlu menjadi perhatian adalah kondisi kesehatan generasi emas. Tidak sebatas kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental. Tidak hanya kebutuhan makan siang gratis-bergizi, namun juga kesehatan mental. Seperti halnya stres, kecemasan, dan depresi. Sejak dini ketentraman psikologis generasi emas perlu menjadi fokus pengembangan pendidikan emosional dan layanan kesehatan mental.
Permasalahan kesehatan mental sedang menjadi fenomena psikologis secara universal. Yakni sebagai dampak dari perkembangan sosial dan teknologi. Generasi ini menghadapi berbagai tekanan dan tantangan yang tidak dialami oleh generasi sebelumnya. Faktor-faktor ini membentuk kecemasan mereka yang secara umum terkait tekanan akademik, tuntutan sosial, ketidakpastian masa depan, hingga paparan media sosial yang tinggi.
Generasi emas sering merasakan tekanan besar untuk berhasil secara akademik dan profesional. Sejak usia dini, mereka dibiasakan fokus pada prestasi dan persaingan ketat, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Mereka sering merasa harus meraih nilai tinggi, memenangkan kompetisi, atau diterima di universitas bergengsi. Tekanan ini menimbulkan rasa cemas, ketakutan akan kegagalan, dan sering menyebabkan kelelahan mental.
Generasi emas tumbuh di era media sosial, yang menghadirkan dunia virtual dengan berbagai standar dan ekspektasi baru. Platform media sosial ternyata menciptakan standar tertentu, terkait penampilan, kesuksesan, dan gaya hidup ideal. Kemudian mereka terjebak dalam kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain yang berpotensi memicu perasaan kurang berharga, rendah diri, dan kecemasan terkait pencapaian atau penampilan.
Dunia saat ini banyak terjadi perubahan signifikan dan cepat. Generasi muda merasa tidak yakin dengan masa depannya karena ketidakpastian. Mereka khawatir akan stabilitas karier di masa depan, terutama dengan perkembangan teknologi dan otomatisasi yang bisa mengurangi lapangan pekerjaan. Semua ini menambah kecemasan mereka akan masa depan yang tidak pasti.
Ekspektasi sosial bagi generasi emas, berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka dituntut mandiri, berprestasi, dan memiliki tujuan hidup yang jelas sejak dini. Banyak dari mereka merasa tekanan untuk mencapai standar kesuksesan tertentu, baik dalam hal pendidikan, karier, atau relasi sosial. Ekspektasi dari keluarga, lingkungan, dan masyarakat sering kali menciptakan beban emosional yang berat.
Meskipun terhubung secara digital, generasi emas merasa kurang memiliki dukungan sosial yang sejati. Komunikasi virtual melalui media sosial terasa kurang personal, sehingga mengurangi kedekatan emosional yang sejati. Hal itu membuat mereka lebih kesepian dan kurang mendapat dukungan nyata ketika menghadapi masalah. Ketergantungan pada interaksi digital juga membuat mereka kurang terlatih membangun keterampilan sosial di dunia nyata.
Sebagai digital native, generasi emas selalu terhubung dengan banyak informasi dari berbagai sumber. Mereka menjadi generasi yang lebih sadar akan isu-isu global, namun paparan informasi yang berlebihan juga membuat mereka terbebani. Berita-berita negatif, seperti krisis ekonomi, konflik politik, bencana alam, dan perubahan iklim, menimbulkan rasa cemas. Kurangnya waktu beristirahat atau detoks menyebabkan kelelahan mental.
Kesehatan mental masih menjadi topik yang sulit dibicarakan secara terbuka, meskipun kesadaran pentingnya kesehatan mental telah meningkat. Banyak generasi muda yang enggan atau takut mengungkapkan masalah mental mereka karena stigma negatif. Mereka merasa khawatir dianggap lemah atau tidak mampu mengatasi tantangan hidup, sehingga menahan diri dari mencari bantuan profesional. Hal ini dapat memperburuk kecemasan yang mereka alami.
Mendapati generasi emas yang sedang cemas, diperlukan kesadaran bahwa kecemasan itu erat kaitannya dengan cara berpikir dan bernalar. Dibutuhkan perubahan cara berpikir yang dapat meredakan kecemasan, sekaligus mampu menghadirkan ketentraman batin. Hal itu mendesak karena kondisi mental yang diliputi cemas cenderung mengarah pada emosi negatif. Berikut beberapa alternatif untuk meredakan kecemasan para generasi emas.
Penerapan filsafat stoikisme. Suatu ajaran filsafat yang menekankan penerimaan terhadap hal-hal di luar kendali dapat membantu generasi muda belajar mengelola ekspektasi, mengurangi kecemasan, dan menemukan ketenangan batin. Melalui stoikisme, mereka dapat berfokus pada hal-hal yang bisa mereka kendalikan, seperti sikap, usaha, dan respons mereka terhadap situasi.
Pendidikan emosional di sekolah. Suatu program yang mengajarkan siswa untuk mengenali, memahami, dan mengelola emosi sehingga dapat mengurangi tekanan yang dirasakan. Dengan pendidikan emosional, siswa belajar cara menghadapi stres dan tekanan sosial dengan cara yang sehat.
Bimbingan dan dukungan sosial yang lebih kuat. Dukungan itu dari keluarga, guru, dan teman sangat penting. Dengan menciptakan lingkungan yang suportif dan terbuka untuk diskusi tentang kesehatan mental, generasi emas akan merasa lebih didukung dan mampu menghadapi tantangan.
Detoks Media Sosial. Yakni dengan membatasi waktu di media sosial sehingga dapat membantu mengurangi perbandingan sosial dan ketergantungan pada validasi eksternal. Selain itu, detoks media sosial memberikan kesempatan untuk terhubung lebih dalam dengan dunia nyata dan mengurangi beban mental dari informasi yang berlebihan.
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional Literasi Baca-Tulis.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Meredakan Cemas Generasi Emas 2045
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |