Kopi TIMES

Resiliensi Anak Indonesia Melalui Masa Pandemi

Rabu, 28 Juli 2021 - 13:03
Resiliensi Anak Indonesia Melalui Masa Pandemi Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Pandemi memasuki tahun kedua dan kita semua menghadapi situasi yang belum stabil. Berbagai penyesuaian sudah dilakukan, baik pada level individu, keluarga, masyarakat, institusi, dan pemerintah. Beberapa kebijakan sudah pula diciptakan agar tatanan kehidupan kita tetap berjalan.

Memang kita belum menemukan cara yang paling ideal dalam menghadapi pandemi ini, namun pada titik ini kita menyadari bahwa masih banyak hal yang dapat kita syukuri. Meski demikian, dampak negatif dari pandemi juga merupakan tantangan tersendiri bagi kita semua. Salah satunya dalam hal pengasuhan terhadap anak-anak selama pandemi ini berlangsung.

Kebijakan yang mengharuskan kita semua beraktivitas di rumah, membuat bebarapa keadaan malah menjadi kurang terkendali. Kasus kekerasan pada anak justru meningkat selama pandemi. Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menemukan kekerasan terhadap anak mencapai 5697 kasus dengan 5315 korban anak sepanjang 1 januari 2020 hingga 23 September 2020.

Salah satu pemicu kekerasan pada anak adalah adanya kebijakan aktivitas pembelajaran jarak jauh yang mengharuskan keluarga terutama orangtua terlibat penuh dalam proses belajar anak. Sebelum pandemi, kegiatan pendidikan lebih banyak dilakukan di sekolah dan orangtua tidak banyak memberikan perhatian kepada hal tersebut, karena dipastikan anak-anak telah dibantu oleh guru dan pihak-pihak lain yang terlibat di sekolah.

Pemicu lainnya adalah  problem ekonomi keluarga yang mengalami perubahan selama pandemi, sehingga memicu orangtua menjadi lebih emosional dan melampiaskan kepada anak-anak. WHO (2020) menjelaskan salah satu dampak kekerasan jangka panjang pada anak berupa adanya kecemasan, depresi, dan masalah kesehatan mental lainnya, hingga perilaku bunuh diri. Oleh sebab itu penting bagi orangtua untuk dapat mengendalikan situasi di rumah agar tetap kondusif bagi perkembangan kognisi, emosi dan perilaku anak meski dalam tekanan pandemi.

Peran Orang Tua dalam Meningkatkan Resiliensi Anak

Terkendalinya situasi di rumah, membuat anak akan belajar banyak tentang bagaimana ia mengembangkan koping/problem solving yang efektif dalam melewati masa pandemi. Anak yang berada di lingkungan yang suportif akan lebih mudah melihat hal positif dalam situasi tekanan. Anak akan tumbuh menjadi anak yang resilien atau tangguh menghadapi persoalan, yang juga akan membantunya untuk mengatasi segala tantangan di masa yang akan datang.

Resiliensi merupakan sebuah proses dari hasil adaptasi dengan pengalaman hidup yang sulit atau menantang.  Anak Indonesia harus melihat segala kesulitan yang ditemui saat ini sebagai sebuah tantangan, bukan sebagai krisis yang menghancurkan. Oleh sebab itu resiliensi merupakan hal penting yang akan digunakan oleh anak untuk meningkatkan kapasitas/kemampuannya beradaptasi secara positif untuk dapat bertahan, mampu mengatasi dan menjadi pribadi yang lebih kuat, bertumbuh, berubah dan berkembang ketika berada dalam kesulitan. Windle (1999) menjelaskan bahwa resiliensi terbentuk dari interaksi yang signifikan antara faktor-faktor risiko dengan faktor-faktor protektif. Dalam hal ini, adaptasi yang baik dan berhasil terhadap suatu permasalahan mencerminkan kuatnya pengaruh faktor protektif yang dimiliki anak. 

Beberapa faktor protektif yang dapat dioptimalkan saat pandemi agar berdampak positif bagi ketangguhan anak adalah dengan meningkatkan peran serta orangtua berupa:

(1) keterlibatan orangtua dalam setiap aspek perkembangan anak, dengan mengembangkan pengasuhan positif dan apresiatif. Anak-anak akan mengembangkan usahanya, sekecil apapun, untuk bertahan dan beradaptasi. Hargai setiap usaha kecil anak untuk hal tersebut.

(2) mengembangkan perasaan positif bersama, antara orangtua dan anak. Pandemi sangat memporakporandakan emosi setiap orang, dengan kesulitan-kesulitan yang dihasilkan. Namun demikian, upaya untuk mengendalikan diri dan emosi akan membawa pada relasi yang positif antar anggota keluarga, yang akan mendorong pada keadaan positif untuk berubah/memperbaiki situasi.

(3) memfasilitasi keyakinan yang positif, dimana orangtua mengajarkan pada anak untuk yakin bahwa mereka dapat melalui kesulitan ini bersama-sama.

(4) membangun harapan positif, agar anak dapat belajar bahwa ditengah kesulitan akan ada cahaya terang meski hanya setitik untuk bisa keluar dari kesulitan tersebut. 

Williams (2018) menambahkan beberapa tips untuk membangun resiliensi pada anak, dan dapat diterapkan pada masa pandemi, yakni:

(1) membiasakan anak tetap aktif secara fisik, dengan latihan fisik rutin yang bisa dilaksanakan di rumah, seperti senam atau menari.

(2) mengembangkan cara-cara yang nyaman untuk mengurangi stress, misalnya dengan latihan mengendalikan pikiran-pikiran negatif melalui kegiatan ringan bersama keluarga, menonton film bersama atau sekedar membaca buku cerita bersama anak.

(3) mengembangkan latihan mengelola emosi, misalnya jika orangtua ingin marah, maka sementara tidak mendekat kepada anak. Begitu jika anak sedang emosi, orangtua akan memvalidasi emosi anak. Katakan pada anak bahwa apa yang dirasakannya adalah hal yang wajar dan perlihatkan bahwa orangtua selalu ada saat anak membutuhkan.

(4) orangtua bertindak sebagai role model, memberikan contoh positif pada anak. Misalnya jika sedang merasa tidak nyaman, orangtua mengambil waktu untuk meditasi atau berlatih pernafasan mindfulness, yang barangkali bisa ditiru/diikuti oleh anak-anak.

Dengan demikian, bukan tidak mungkin resiliensi pada anak akan terbangun, meski semua faktor pendukungnya berasal dari dalam rumah.

Ciri anak yang resilien adalah  mampu mengelola emosinya ketika menghadapi kesulitan, sehingga mareka dapat terus berkarya dan aktif berpartisipasi dalam semua kegiatan. Mereka juga mampu mengelola perasaan tentang situasi yang mengandung kesulitan, kekecewaan, frustrasi atau kemarahan. Mereka mampu mengembangkan adaptasi positif dan menjadikan mereka lebih tangguh untuk menghadapi tantangan di masa yang akan datang. Anak-anak Indonesia optimis bisa menjadi pribadi yang resilien, meski berada dalam kesulitan akibat pandemi. Bersama orangtua yang adaptif, akan tercipta lingkungan yang mendukung kesehatan mental semua pihak. Selamat hari anak Nasional, Anak Indonesia Tangguh dan Sehat Mental.

***

*) Oleh: Dr. Ike Herdiana, M.Psi.,Psikolog; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.