Kopi TIMES

Pancasila Melawan Rasisme

Kamis, 02 Juni 2022 - 06:25
Pancasila Melawan Rasisme Dhimas Anugrah, Pendiri Lingkar Filsafat (Circles) Indonesia, sebuah komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains. Studi di Oxford Center for Religion and Public Life, Inggris.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Merayakan Hari Kelahiran Pancasila pada 1 Juni merupakan anugerah bagi bangsa Indonesia. Saya katakan anugerah, sebab sejak berdirinya Republik ini pada tahun 1945, Pancasila terbukti sakti dan sanggup menyatukan anak-anak kandung Ibu Pertiwi yang memiliki ragam suku, agama, ras, dan golongan. 

Mari bersyukur untuk hal ini. Namun, pada saat yang sama kita juga boleh bertanya, "Apakah penerapan nilai-nilai Pancasila sudah sempurna dalam hidup keseharian di Tanah Air kita?" Jawabnya, tentu belum. Salah satu buktinya, bangsa kita yang tangguh dan kuat ini masih berada dalam tantangan praktik rasisme.

Secara sederhana, rasisme adalah sebuah anggapan yang meyakini bahwa suatu ras atau kelompok manusia dengan warna kulit tertentu lebih unggul dari ras lainnya. 

Rasisme menganggap nilai seseorang itu ditentukan oleh unsur-unsur etnisitas dan biologis yang lahir bersamanya. Sehingga, masyarakat yang ras-nya "lebih unggul" perlu dipisahkan dari ras lainnya yang dianggap "lebih rendah." Persoalan rasisme semacam inilah yang tampaknya masih belum beranjak pergi dari Ibu Pertiwi.

Terkadang, masih terdengar olokan bernada sentimen ras kepada orang berwarna kulit tertentu. Hal ini tidak seharusnya terjadi demikian. 

"Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" adalah bunyi sila kedua yang sudah selayaknya mengingatkan kita, bahwa sebagai manusia kita diundang untuk bertindak adil dan beradab kepada sesama manusia. 

Beradab berarti memiliki kehalusan dan kebaikan budi pekerti, termasuk di dalamnya memuat kesopanan dalam bertutur dan bersikap dalam relasi antar manusia. Singkatnya, menjadi manusia yang adil dan beradab berarti menjadi manusia yang berakhlak elok dan bajik.

Rasisme itu Irasional

Rasisme berpikir bahwa manusia itu berbeda secara biologis, dan perbedaan itu lalu melahirkan tingkat-tingkat sosial di dalam masyarakat, antara satu ras dan ras lainnya. 

Pertanyaannya, benarkah perbedaan biologis dan ontologis itu ada? Jika kita bisa membuktikan bahwa manusia itu pada dasarnya tidak berbeda, maka rasisme seluruhnya menjadi tidak masuk akal dan tak punya dasar apa pun. 

Secara biologis, kita adalah satu spesies yang sama, yaitu ras manusia. Kita memiliki kebutuhan biologis yang sama, mulai dari makan, minum, sampai dengan kesehatan. 

Anatomi manusia tidak berbeda antar warna kulit yang satu dan warna kulit lainnya, dan unsur biologis tidak menjadi penentu utama karakter dan kualitas pribadi seseorang. Kenyataan ini membuktikan bahwa manusia, apa pun rasnya, adalah sama. 

Secara etis, manusia juga selalu mencari apa yang elok. Dengan kata lain, kita, manusia, merindukan untuk hidup dengan baik dan teratur. 

Atau menurut pemikiran Platon, setiap orang pada dasarnya merindukan tata kehidupan masyarakat yang yang elok dan bajik (Kalos kagathos/καλὸς κἀγαθός). Kerinduan ini terselip dalam hakikat setiap manusia, apa pun latar belakangnya. Maka, secara etis setiap orang pada dasarnya adalah sama.

Secara metafisis, setiap manusia adalah pribadi, yang merupakan kumpulan dari beragam jaringan sosial, kultural, dan biologis, yang kemudian membentuk satu entitas metafisis yang unik, yang bernama manusia.

Dalam filsafat keilahian, manusia dilihat sebagai "imago Dei" atau gambar Ilahi, yaitu makhluk paling mulia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Sang Maha Esa sendiri. 

Keunikan ini membuat setiap orang itu berharga, karena ia menyumbangkan keberagaman dalam tata semesta yang ada melalui keunikan eksistensinya. Pada titik ini, setiap manusia apa pun ras atau latar belakangnya, adalah sama.

Secara politis, setiap manusia terdorong untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Ada bermacam alasan yang mendorong tindakan itu. Akan tetapi, sejarah membuktikan dengan jelas, bahwa komunitas politik adalah fenomena universal sejarah manusia. Artinya, setiap orang, apa pun latar belakang ras atau pun kulturnya adalah sama, yakni makhluk politis.

Secara epistemologis, setiap manusia adalah makhluk yang berusaha mengetahui apa yang benar di dalam dunia. Dalam eksistensinya, termasuk rasio dan afeksinya, manusia mengindera dunia dan berusaha memperoleh pengetahuan yang benar. 

Kerinduan untuk tahu apa yang benar dengan segenap kemampuan manusiawinya membuat setiap orang, apa pun latar belakangnya, pada dasarnya adalah sama.

Jika kita menelusuri pandangan ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa rasisme pada dasarnya irasional. Tidak ada alasan yang cukup kuat, yang mendorong orang untuk bertindak rasis terhadap orang lainnya, karena setiap manusia, apa pun latar belakang kultural maupun biologisnya, pada dasarnya adalah sama, karena merindukan hal yang sama, dan berasal dari titik yang juga sama.

Pancasila itu Memanusiakan Manusia

Rasisme gagal bertindak dalam memanusiakan manusia lainnya, sebagai makhluk Tuhan yang perlu dikasihi, dihargai, dan dihormati. 

Dugaan saya, bahan bakar rasisme adalah kekeliruan berpikir dan hati yang menyimpang. Rasisme adalah bukti kebutaan spiritual dalam melihat manusia lainnya sebagai citra Sang Khalik. Rasisme menciptakan telah begitu banyak kesengsaraan bagi umat manusia. 

Tidak ingatkah kita, bahwa kolonalisme Eropa Barat terhadap bangsa-bangsa di Afrika maupun Asia adalah contoh keji, bagaimana rasisme bisa menimbulkan penderitaan dan kematian selama ratusan tahun. 

Selama masa-masa itu, bangsa-bangsa lain di Asia maupun Afrika dianggap lebih rendah, bahkan tidak dianggap sebagai manusia. Perbudakan modern pun lahir sebagai bentuk konkret dari pandangan picik, bahwa orang-orang kulit hitam yang berasal dari Afrika bukanlah manusia, maka mereka layak "diperjualbelikan" (Anti Defamation League/ADL, 2013; Wattimena, 2016).

Tidak ingatkah kita, bahwa di Rwanda pada tahun 2004 etnis Hutu membantai begitu banyak etnis Tutsi, karena bagi mereka, etnis Tutsi itu lebih rendah dan tidak bermoral. Tidak ingatkah kita, bahwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang menyasar pada ras tertentu merupakan bukti nyata sentimen sebagian masyarakat kita terhadap ras yang mereka aniaya itu.

Oleh sebab itu, dalam merayakan hari lahirnya Pancasila tahun ini, kita kembali diingatkan pada suatu undangan untuk berpartisipasi dalam menghidupi Pancasila dengan suatu sikap memanusiakan manusia lainnya. Dengan napas Pancasila, kita diajak untuk saling menghargai sesama manusia Indonesia yang terdiri dari berbagai macam ras, warna kulit, dan suku.

Pancasila sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia memberi konsekuensi logis: melihat rasisme sebagai musuh bersama yang harus dilawan dan dilenyapkan dari kehidupan berbangsa kita. Sekalipun tidak mudah, bukan berarti itu tidak mungkin. Dengan semangat Pancasila, mari kita lawan rasisme! Mari kita usir rasisme dari Bumi Nusantara yang kita cintai ini!

***

*) Oleh : Dhimas Anugrah, Pendiri Lingkar Filsafat (Circles) Indonesia, sebuah komunitas pembelajar di bidang budaya, filsafat, dan sains. Studi di Oxford Center for Religion and Public Life, Inggris.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Irfan Anshori
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.