TIMES SURABAYA, SURABAYA – Hubungan antara politik dan agama seperti dua sisi mata uang.
Dalam hemat penulis, sebagian dari problem kebangsaan dan keberagamaan hari ini, ada kaitannya dengan politik dan agama yang dinamis. Baik dimulai dari persoalan hubungan politik dan agama yang tidak akur sampai pada romatisme keduanya. Lebih-lebih, bagaimana ketika ditarik pada politik Islam. Sampai di mana politik Islam mempunyai peranan dalam kehidupan masyarakat?
Sejauh ini, Islam dipahami sebagai agama yang mengatur aspek negara dan politik. Islam membahasakan politik (siyasah) yang memelihara kepentingan umat. Dalam pelaksanaannya, dimainkan daulah (negara). Dalam buku Politik Islam: Sejarah dan Pemikiran (2015), Muslim Mufti menyebutkan bahwa untuk memahami politik Islam semestinya merujuk kepada suatu partikularistik kajian politik dalam ruang nilai-nilai Islam normatif. Alferd Stefan juga menegaskan bahwa kebijakan umun yang terhadap penekanan menjadi sebuah beban negara untuk menjunjung tinggi kesejahteraan masyarakat.
Praktik politik Islam merujuk terhadap model bagaimana Nabi Muhammad dan periode- periode setelahnya. Dalam hal ini diwakili masa Khulafaur Rasyidin. Sampai pada akhirnya, dalam politik Islam ada beberapa kelompok atau aliran. Pertama, sebuah aliran yang berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama seperti pemahaman orang-orang Barat, di mana hubungan antara manusia dengan Tuhan bersifat individual. Sebaliknya Islam adalah agama yang lengkap dengan seperangkat pengaturan bagi aspek kehidupan manusia termasuk di dalamnya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kedua, aliran yang lebih condong pada pengertian bahwa Islam sama seperti kaca mata orang Barat. Islam terlepas dari kepentingan negara. Agama harus ada jarak yang panjang dengan daulah. Bahkan, aliran ini menganggap bahwa Nabi Muhammad adalah sosok rasul yang sama seperti para rasul sebelumnya. Tidak lebih. Oleh karenanya, rasul memiliki misi mengajak umat kepada kehidupan yang mulai, bermoral, dan tentu lebih taat menjalankan agama.
Berbeda dengan aliran sebelumnya, yang terakhir ini menolak pendapat yang lebih dekat pada Barat dan yang menolak mentah-mentah bahwa agama punya nafas sama dengan negara. Aliran ini beranggapan bahwa Islam bukan sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Dari sinilah kita meneropong bagaimana hubungan agama dan politik. Lebih tepatnya percaturan politik Islam. Atas dasar inilah, penting kiranya melakukan pembacaan lebih komprehensif terhadap peta politik Islam.
Dalam gelanggang perpolitikan nasional. Penulis berpendapat, umat Islam mempunyai peranan penting dan cukup besar dampaknya. Tentu tesis ini berangkat dari asumsi bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Tapi, kita punya sejarah yang tidak bisa dilihat sebelah mata. Ingat, ada perbedatan panjang soal Sila pertama Pancasila. Polemik Sila pertama Pancasila memantik kenangan politik Islam secara tidak langsung. Di sini, kita perlu untuk membaca kembali pola dan model politik Islam dalam kancah nasional maupun internasional.
Ketika politik Islam hanya menempel pada kekuasaan yang merebut wadah, simbol dan jargon-jargon keislaman semata, lupa pada esensi politik dan cita-cita luhur Islam sebagai agama. Di situlah politik Islam tak ubahnya perahu yang terombang-ambing di samudera dan di saat bersamaan kehilangan arah. Pragmatisme, begitulah kira-kira kata yang tepat untuk mengatakan kondisi demikian. Walaupun, ada anggapan bahwa Islam tidak terlepas dari ajaran-ajaran yang mengatur kehidupan sosial manusia. Di sisi lain, juga perlu berpolitik untuk mengusung dan mewadahi aspirasi umat Islam. Tapi, tidak juga mengesampingkan nilai-nilai dari ajaran agama itu sendiri.
Politik Islam itu sesunggunhnya adalah bagaimana kita bisa melaksanakan ajaran-ajaran Islam itu sesuai dengan kondisi dan konteks saat ini. Lebih-lebih di tengah kehidupan masyarakat yang plural, masyarakat yang sudah berlari kencang dalam ruang virtual. Untuk itu politik Islam mempunyai tugas untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam dalam kondisi dan situasi yang tepat. Sehingga, tak menutup kemungkinam dari pada mulanya pragmatisme pelan-pelan menuju profesionalitas.
Kita tahu, dalam ranah dakwah mustahil dan tidak mungkin dakwah Islam dapat dilaksanakan secara maksimal jika tidak menggunakan sarana politik. Hanya dengan politik Islam kita semakin jauh bermain dan menembus elit kekuasaan dan dapat mempengaruhi penyusunan aturan dan kebijakan-kebijakan yang diolah di parlemen. Sekali lagi, politik Islam perlu ditarik dalam ranah untuk membumikan nilai-nilai Islam yang mengutamakan kehidupan umat yang sejahtera, aman, dan mulia.
Dengan demikian, memperjuangan ajaran-ajaran Islam melalui kekuatan politik untuk merebut kekuasaan. Ada aspirasi dan suara-suara kelompok Muslim yang bisa diperjuangkan. Tanpa harus mencederai visi hadirnya Islam ke ruang publik. Memimpikan umat Islam menjadi pemimpin dunia adalah keinginan semua umat Muslim. Tapi, kita juga perlu membuka sejarah. Masa khulafa al-rasyidin menjadi percontohan pemerintahan Islam yang tepat.
Namun dalam kenyataannya, perjalanan politik harus dibayar mahal. Umat Islam akan menjumpai para khalifah yang dibunuh demi keluasaan. Perang antara umat Islam juga menambah deretan persoalan politik identitas. Akan tetapi prinsip yang primer dari identitas politik maupun hubungan sosial tetap punya kaitan dengan syariah. Permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh perbedaan antara keyakinan dengan kenyataan justru mendorong bangkitnya perkembangan politik Islam.
Oleh karena itu, politik Islam saatnya diletakkan pada posisi yang tidak terlalu lembek dan ekstrem.
***
*) Oleh: Adwin Hakim Waliulhaq, Mahasiswa Doktor Studi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |