TIMES SURABAYA, PROBOLINGGO – Kabut turun pelan-pelan di lereng Seruni Point, Sukapura, Sabtu (6/12/2025) sore. Pada ketinggian lebih dari dua ribu meter di atas permukaan laut, angin Bromo membawa hawa dingin yang justru menambah suasana syahdu.
Di tengah amfiteater terbuka yang menghadap langsung ke lautan pasir Bromo, ratusan pengunjung duduk berlapis syal dan jaket tebal.
Namun dingin itu pecah begitu denting musik pertama mengalun. Ya, Bromo Sunset Music and Culture 9 resmi dimulai.
Acara yang digelar Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Kabupaten Probolinggo itu kembali memadukan tiga elemen khas: musik, budaya, dan panorama senja Bromo.
Bromo Sunset Music and Culture sesi ke-9 ini, suasananya terasa jauh lebih meriah. Bukan hanya karena panggung dihiasi warna keemasan senja, tetapi karena hajatan ini berbarengan dengan Regional Leadership Forum KAPPIJA 21—forum pemimpin muda se-ASEAN dan Jepang.
Sekitar 150 peserta dari Cambodia, Japan, Malaysia, Myanmar, Thailand, Timor Leste, Vietnam, termasuk Indonesia hadir langsung. Mereka bukan sekadar tamu undangan, tetapi ikut larut sebagai bagian dari perayaan persahabatan lintas budaya di salah satu destinasi paling ikonik di Asia Tenggara; Bromo!
Senja, Musik, dan Sapa Lintas Negara

Pukul 14.30 WIB, kabut mulai bergelayut tipis. Namun cahaya matahari sore masih cukup menembus sela awan. Warna jingga memantul di permukaan pasir dan dinding kawah Bromo.
Panorama ini menjadi latar pertama bagi penampilan Tari Tengger, dibawakan oleh para penari muda Probolinggo. Gerakan mereka luwes, penuh simbol penghormatan pada alam dan leluhur.
Tepuk tangan dari para pemuda dan tokoh ASEAN terdengar riuh.
Tak lama kemudian, giliran Sunshine Band menaikkan tempo acara. Mereka membawakan lagu-lagu ceria, memancing peserta forum internasional itu ikut bergoyang ringan. Tawa terdengar dari rombongan tamu Myanmar dan Thailand. Beberapa bahkan berdiri dan ikut bernyanyi meski terbata-bata mengikuti lirik Indonesia.
Namun bintang kecil Probolinggo, Nabila Putri Maharani, menjadi magnet tersendiri. Dengan suara bening, ia membawakan lagu bernuansa etnik-modern yang langsung disambut sorak kagum. Judul lagunya "Probolinggo Paradise" karya Bupati Probolinggo dr Muhammad Haris.
“She’s amazing!” celetuk salah satu delegasi Japan, Yoshimasa Sumiya, sambil merekam dari ponselnya.
Di sudut panggung, penyanyi muda Viskah Rasyid ikut menambah energi sore itu. Para tamu dari Malaysia dan Cambodia tampak menikmati alunan musik sambil menyelimuti diri dengan jaket Kappija-21 miliknya. Maklum, suhu terus merosot.
Simbol Persahabatan Lintas Negara

Momentum paling ditunggu tiba saat kabut perlahan turun di balik punggungan Bromo. Warna langit berubah dari emas lembut menjadi ungu kebiruan.
Pada momen inilah Bupati Probolinggo dr. Muhammad Haris turun ke tengah ampiteater. Ia memimpin prosesi penyerahan simbolik “Pemuda Lintas Negara Sahabat Alam Probolinggo”.
Perwakilan tiap negara maju satu per satu. Dari Japan hadir Makoto Sumiya dan Michiko Nakayama. Malaysia diwakili Azizi Bin Hashim, Rozita Binti Joned, dan beberapa lainnya. Myanmar mengirim Tin Maung Cho, San Dar Win, dan Tin Myint. Thailand membawa Pornchanok Khamnna, Wedarut Panthong, hingga Dr. Narathpong Udomsri.
Sementara Indonesia diwakili banyak tokoh muda dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Ada dari Aceh, Medan, Jakarta, Kaltim, Jatim dan beberapa lainnya.
Mereka menerima cinderamata bertanda persahabatan. Lalu, mengangkatnya ke udara sambil berfoto bersama dengan latar senja Bromo yang temaram.
Pemandangan itu seperti poster kampanye perdamaian yang hidup. Gagah, hangat, dan penuh harapan.
“Probolinggo is your home in East Java,” ucap Bupati Haris. Kalimat itu disambut tepuk tangan panjang.
“Probolinggo is Bromo, Bromo is Probolinggo. Kita ingin seluruh dunia tahu bahwa Bromo bukan hanya gunung, tapi ruang persahabatan, ruang budaya, dan ruang untuk belajar tentang keindahan alam.”
SAE Probolinggo dan Pesona Tujuh Jati Diri

Dalam sambutannya, Bupati Haris juga memaparkan pesona wisata Probolinggo yang dikenal dengan SAE Probolinggo; Seven Authentic Explore Probolinggo. Sebuah nafas baru pariwisata daerah.
Probolinggo menghadirkan tujuh keunikan alam, jati diri, dan budaya sekaligus. Ada seven lakes, seven waterfalls, seven beaches, seven cultures, seven special educations, seven histories, dan seven commodities.
Para pemuda ASEAN tampak antusias. Delegasi Cambodia, Ms. Tthlang Sorya dan Ms. En Dara, mencatat beberapa poin di layar HP-nya. Perwakilan Thailand, Payuhapol Panthong, bahkan mengacungkan jempol saat bupati menyebut potensi olahraga alam seperti trail run dan downhill yang berkembang pesat.
“Nature here is unbelievable. Very powerful,” ujar delegasi Myanmar, San Dar Win, sambil memegang ponselnya yang penuh rekaman video tari-tarian.
Ketika Kabut Turun, Musik Menjadi Kehangatan

Menjelang pukul lima sore, kabut mulai menebal. Turun perlahan seperti tirai panggung. Suhu merosot dengan cepat. Namun justru pada momen ini, suasana menjadi semakin magis.
Musisi dan peserta menyanyikan lagu bersama. Ada yang menyanyikan lagu daerah seperti Maumere, ada pula yang meminta Sunshine Band membawakan lagu populer yang mudah diikuti.
Delegasi Japan dan beberapa negara mencoba menyanyikan yang mereka ciptakan khusus untuk Probolinggo. Lagu ini dibuat dalam tiga bahasa; Jepang, Inggris dan Indonesia.
Penari Probolinggo kembali tampil. Kali ini dengan gerakan lebih mengalir, seolah mengajak kabut ikut menari. Cahaya panggung yang menembus kabut membuat siluet mereka terlihat seperti bayangan legenda di kaki gunung.
“Ini seperti film,” kata Choo Choon Hong dari Malaysia, tersenyum lebar.
Seruni Point Menjadi Ruang Cerita Baru
Bagi warga Probolinggo, Bromo Sunset Music and Culture bukan sekadar acara. Ini adalah ruang perjumpaan. Ruang untuk memperkenalkan wajah Probolinggo yang ramah, kreatif, dan berdaya.
Dan sore itu, Seruni Point berubah menjadi aula besar tanpa dinding. Tempat anak-anak muda lintas negara merayakan keberagaman.
Bagi peserta forum, pengalaman di Seruni Point terasa lebih dari sekadar menikmati wisata. Mereka menyaksikan bagaimana masyarakat lokal menjaga budaya. Mereka merasakan bagaimana alam Bromo bisa menjadi jembatan diplomasi yang lembut.
Bromo memberikan semua. Menyajikan pemandangan, kesunyian, energi, dan kehangatan.
Saat malam mulai turun, rombongan peserta bergerak turun perlahan. Kabut semakin pekat, langkah kaki terdengar halus di antara pasir.
Namun di wajah mereka, rasa dingin kalah oleh kegembiraan.
Satu kalimat para peserta sampaikan berulang-ulang malam itu; “We will come back.”
Dan Probolinggo menjawab dengan bangga; “Your Home in East Java selalu terbuka untuk Anda.” (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Saat Bromo Sunset & Culture Menyatukan Pemuda ASEAN-Jepang di Probolinggo
| Pewarta | : Theofany Aulia (DJ-999) |
| Editor | : Deasy Mayasari |