TIMES SURABAYA, SURABAYA – Fenomena penggunaan 'sound horeg' dalam berbagai hajatan masyarakat di Jawa Timur belakangan ini memicu polemik pro dan kontra. Perangkat audio dengan volume dan dentuman bass ekstrem ini, meskipun digemari sebagian kalangan untuk memeriahkan acara, menimbulkan keresahan di sisi lain karena dampak kebisingan yang ditimbulkan.
Anggota Komisi A DPRD Jatim, Husnul Aqib, menanggapi dinamika ini dengan menekankan bahwa ekspresi seni, termasuk dalam bentuk hiburan audio, adalah hal yang sah.
Namun, ia menegaskan bahwa kebebasan berekspresi tersebut harus tetap berada dalam koridor hukum dan tidak mengganggu ketertiban umum.
"Seni boleh, asalkan tidak melanggar aturan dan meresahkan masyarakat," ujar Husnul Aqib.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui berbagai instansi terkait, seperti kepolisian dan dinas lingkungan hidup, kini dihadapkan pada tantangan untuk mencari titik temu. Di satu sisi, ada aspirasi masyarakat yang ingin mempertahankan tradisi hiburan ini.
Di sisi lain, keluhan mengenai polusi suara yang mengganggu ketenangan, terutama bagi warga lanjut usia dan anak-anak, juga terus bermunculan.
Polemik 'sound horeg' ini mencerminkan kompleksitas menjaga keseimbangan antara pengembangan kreativitas lokal dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat atas lingkungan yang nyaman dan tenang.
Diskusi lebih lanjut antara pegiat seni, penyedia jasa 'sound system', masyarakat, dan pemerintah daerah diharapkan dapat menghasilkan regulasi yang jelas dan solusi yang bisa mengakomodasi semua pihak. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Polemik 'Sound Horeg' di Jatim, Antara Ekspresi Seni dan Ketertiban Umum
Pewarta | : Zisti Shinta Maharrani |
Editor | : Deasy Mayasari |