TIMES SURABAYA, JAKARTA – Seiring dengan semakin dekatnya jadwal pelarangan TikTok di Amerika Serikat yang direncanakan pada 19 Januari 2025, banyak pengguna platform media sosial tersebut beralih ke alternatif lain, salah satunya adalah RedNote (juga dikenal sebagai Xiaohongshu).
Aplikasi asal Tiongkok ini kini tengah meraih popularitas yang signifikan di AS. Sejak Senin, 13 Januari 2025, RedNote telah menduduki puncak sebagai aplikasi paling banyak diunduh di negara tersebut. Hal ini jadi cermin lonjakan ketertarikan yang luar biasa.
Namun, dengan pertumbuhan pesat ini, RedNote menghadapi sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan. Aplikasi ini harus beradaptasi dengan kebijakan moderasi konten yang ketat ala Tiongkok, sambil tetap berupaya memberikan pengalaman pengguna yang memuaskan bagi pengguna internasional. Terutama mereka yang berasal dari luar Tiongkok.
Kebijakan sensor yang diterapkan di RedNote mencakup pembatasan konten yang lebih luas, tidak hanya terbatas pada kategori kekerasan, ujaran kebencian, dan pornografi, tetapi juga terhadap berbagai jenis unggahan lainnya yang dianggap sensitif oleh regulasi yang berlaku di Tiongkok.
Beberapa pengguna yang beralih ke RedNote mengungkapkan keluhan terkait kebijakan sensor tersebut. Sebagai contoh, unggahan yang membahas topik-topik yang dianggap "tidak sesuai" dengan nilai-nilai yang dianut di Tiongkok dapat dengan mudah dihapus atau dibatasi jangkauannya.
Hal tersebut menjadi bahan perdebatan, terutama di kalangan pengguna internasional yang menganggap kebebasan berbicara di dunia maya sebagai hak yang harus dijaga.
Meskipun begitu, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Guo Jiakun, dalam sebuah konferensi pers menyatakan bahwa kebijakan moderasi di platform-platform seperti RedNote adalah hal yang sah dan didorong oleh prinsip-prinsip kebijakan dalam negeri.
"Kami percaya bahwa platform apa pun yang Anda gunakan adalah pilihan pribadi, dan kami mendorong serta mendukung pertukaran antarindividu," katanya.
Namun, hal ini tetap menimbulkan pertanyaan terkait sejauh mana kebebasan berekspresi dijaga, mengingat kebijakan sensor yang berlaku di Tiongkok sudah lama dikenal sebagai salah satu yang paling ketat di dunia.
Kebijakan sensor di Tiongkok sudah lama menjadi sorotan global. Pada 2024, platform media sosial besar seperti Weibo mengumumkan langkah untuk menghapus konten yang dianggap mengandung “nilai-nilai yang tidak diinginkan,” termasuk unggahan yang memamerkan kekayaan dan mengagungkan uang.
Hal tersebut menyusul sejumlah langkah hukum yang diambil pemerintah Tiongkok terhadap platform-platform digital. Seperti pada 2021 saat Weibo didenda sekitar 14,3 juta yuan (setara dengan 2,2 juta dolar AS atau sekitar Rp36 miliar) karena mengizinkan unggahan yang sensitif secara politik, penyebaran misinformasi, dan materi terlarang lainnya.
Tantangan yang dihadapi RedNote semakin kompleks mengingat situasi global yang sedang berkembang. Ancaman pelarangan TikTok di AS berakar pada kekhawatiran soal keamanan nasional, khususnya terkait potensi pembagian data pengguna AS dengan pemerintah Tiongkok.
Meski perusahaan induk TikTok, ByteDance, telah membantah tuduhan tersebut, ketegangan geopolitik dan kekhawatiran terkait privasi pengguna tetap menjadi faktor utama yang mendorong kebijakan pelarangan ini.
Pada saat yang bersamaan, isu ini melibatkan juga kebijakan politik di AS. Presiden terpilih, Donald Trump.
Presiden terpilih AS ini sebelumnya mendukung larangan TikTok pada masa jabatan pertamanya. Namun, tampaknya ia mengubah sikapnya setelah pertemuan dengan Jeff Yass, seorang investor besar di TikTok yang juga mendukung kampanye kepresidenannya.
Trump, yang akan dilantik pada 20 Januari 2025, telah meminta Mahkamah Agung untuk melakukan peninjauan darurat terkait larangan tersebut, menunjukkan bahwa masalah ini masih jauh dari selesai.
Bagi banyak pengamat, situasi ini menciptakan peluang bagi platform lain seperti RedNote untuk merebut perhatian pasar AS, namun dengan risiko besar. Tidak hanya harus menghadapi tantangan dari kebijakan sensor yang ketat, RedNote juga harus berjuang untuk membangun kepercayaan pengguna internasional yang mungkin merasa cemas terkait kontrol konten yang berlebihan.
Apakah RedNote mampu menggantikan TikTok di pasar AS? Dan bagaimana respons penggunanya terhadap kebijakan sensor yang diterapkan, akan menjadi hal yang menarik untuk disimak dalam beberapa bulan mendatang.
Dalam konteks yang lebih luas, dinamika antara kebebasan berekspresi di dunia maya dan kebijakan sensor yang ketat akan terus menjadi perdebatan penting, tidak hanya di AS dan Tiongkok, tetapi di seluruh dunia. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: RedNote, Jadi Sorotan Pasca Isu Larangan TikTok di AS
Pewarta | : Antara |
Editor | : Faizal R Arief |