TIMES SURABAYA, SURABAYA – Sekretaris DPD Partai Hanura Jawa Timur, Akhmad Nurkholis atau yang akrab disapa Gus Kholis, menegaskan bahwa realitas Pemilu hari ini telah bergeser dari idealisme demokrasi menuju need competition pertarungan kepentingan yang seringkali mengaburkan tujuan utamanya.
Praktik tebar strategi yang tidak sehat kerap terjadi. Dari justifikasi buruk terhadap lawan politik hingga money politics, semua sulit dihindari.
"Ironisnya, pola ini seperti sudah menjadi budaya abadi baik bagi politisi yang ingin menang maupun masyarakat yang berharap perubahan," ujarnya, Jumat (26/9/2025).
"Pernyataan itu menyentil jantung persoalan demokrasi kita. Demokrasi yang semestinya melahirkan ruang partisipasi dan artikulasi rakyat justru terseret arus pragmatisme," sambungnya.
Ditambahkannya, Pemilu pada akhirnya tidak lebih dari sekadar arena transaksional di mana suara rakyat ditukar dengan janji atau materi, dan elite politik berlomba-lomba menampilkan citra instan tanpa gagasan substantif.
Namun Gus Kholis tak berhenti pada kritik. Ia mengajukan satu pertanyaan kunci: Apakah ada solusi terbaik dari semua ini?
Gus Kholis yang juga merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Metal Muslim di Pasuruan ini menyarankan alternatif jalan keluar.
Antara lain perlunya pendidikan politik berbasis nurani. Demokrasi yang sehat hanya bisa lahir jika rakyat diperlengkapi dengan kesadaran politik yang utuh.
Hanura Jatim menekankan pentingnya pendidikan politik yang menanamkan nilai kejujuran, keberanian menolak politik uang, serta kemampuan menilai program bukan sekadar figur.
"Ini bukan sekadar agenda formal KPU atau Bawaslu, melainkan gerakan kultural yang masuk ke ruang-ruang warga, komunitas, sekolah, hingga kelompok tani dan nelayan," ujarnya.
Kedua, rekrutmen dan kaderisasi yang bersih. Artinya, partai politik harus berani mengubah pola rekrutmen dari sekadar "popularitas dan modal besar" menjadi berbasis integritas, kapasitas, dan rekam jejak pelayanan.
"Hanura Jatim meyakini, dengan menampilkan kader yang lahir dari bawah, dekat dengan rakyat, dan bersih dari praktik transaksional, kepercayaan publik bisa dipulihkan," katanya.
Ketiga, digitalisasi demokrasi dan transparansi.
Di era 5.0, solusi penguatan demokrasi tak lepas dari teknologi. Usulan digital vote yang pernah dibawa Hanura Jatim ke forum bersama KPU, disebut adalah bagian dari ikhtiar meminimalkan praktik kecurangan dan money politics.
Transparansi dana kampanye melalui aplikasi digital, serta partisipasi publik dalam memantau jalannya Pemilu, akan menutup ruang gelap politik uang.
Lebih lanjut Gus Kholis menegaskan, bahwa Pemilu memang selalu menjadi arena need competition. Tetapi, demokrasi bukanlah cuman kompetisi menang-kalah, melainkan sarana mewujudkan cita-cita bersama.
"Jalan keluar memang tidak sederhana, namun bukan mustahil," ujarnya optimis.
Jika pendidikan politik dijalankan dengan kesabaran, kaderisasi dilakukan dengan integritas, dan teknologi dijadikan alat transparansi, maka "budaya abadi" politik kotor bisa perlahan terkikis.
Gus Kholis menegaskan, bahwa Hanura Jatim percaya bahwa demokrasi yang sehat hanya bisa dibangun di atas hati nurani, bukan transaksi.(*)
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |