TIMES SURABAYA, SURABAYA – Pemerintah pusat berencana menerapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres yang mengatur tentang pembatasan KRIS (Kelas Rawat Inap Standar) ini, tengah menuai polemik di Jawa Timur.
Sejumlah rumah sakit milik pemerintah daerah dikawatirkan semakin tidak mampu menampung pasien yang selama ini selalu over kapasitas.
Ketua Komisi E DPRD Jatim Sri Untari Bisowarno mengaku mendengar keluhan setelah melakukan dialog dengan pihak RSUD dr Soetomo dan RSUD lainnya milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim).
Ia menjelaskan, bahwa KRIS adalah sistem baru yang menggantikan sistem kelas 1, 2, dan 3 di BPJS Kesehatan.
Sistem ini memiliki tujuan untuk menyamaratakan kualitas layanan rawat inap bagi semua peserta, dan ditargetkan berlaku penuh pada 30 Juni 2025 mendatang.
“Kami minta pemerintah pusat menunda kebijakan KRIS karena belum tepat dilaksanakan tahun ini," terang Sri Untari, Senin (17/3/2025).
Persoalan itu muncul terkait aturan Kepadatan Ruang, dimana KRIS atau ruang rawat inap maksimal 4 tempat tidur dengan jarak antar tepi tempat tidur minimal 1,5 meter dalam satu ruangan.
"Nah, selama ini di RSUD dr Soetomo rata-rata satu ruangan ada 6 tempat tidur,” urai Sri Untari.
Dikatakan Sri Untari, peraturan KRIS memang bertujuan baik untuk kenyamanan masyarakat atau pasien BPJS ketika berobat ke rumah sakit.
Namun, ketika melihat antusiasme masyarakat berobat dan jumlah pasien BPJS yang cukup besar di Jatim, hal ini dinilai agak menyulitkan.
Data terbaru di awal tahun 2025 ini saja, ujarnya, ada 21.000 - 37.000 pasien rujukan BPJS yang harus dilayani oleh RSUD dr Soetomo Surabaya.
“Dengan adanya KRIS, praktis daya tampung rumah sakit harus dikurangi, karena hanya diperbolehkan menampung 4 bed di satu ruangan rawat inap,” ujar Penasehat Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim ini.
Di sisi lain, kata Sri Untari, jika nanti KRIS diterapkan di RSUD dr Soetomo, maka ada potensi kehilangan pendapatan sampai Rp180 miliar.
"Maka, kami menyarankan kepada pemerintah pusat jangan menerapkan peraturan ini dulu," tegasnya.
Alasan pertama, kata dia, KRIS ini membuat masyarakat kekurangan bed karena RSUD dr Soetomo termasuk dalam jajaran RSUD sebagai 60 terbesar dunia dengan predikat rumah sakit yang memiliki alat lengkap dan pelayanan bagus.
“Sebelum KRIS diberlakukan saja, RSUD dr Soetomo ini sudah overload, apalagi kalau nanti KRIS diberlakukan,” terang Sekretaris DPD PDI Perjuangan ini.
Hal ini tentu tidak menjawab kebutuhan pelayanan Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada pasien BPJS.
Berikutnya, lanjut Sri Untari, adalah potensi kesulitan mencari sumber anggaran untuk menutup penurunan pendapatan Rp180 miliar akibat kapasitas bed rawat inap dibatasi.
“Ini bukan kebijakan yang memiliki sence of crisis di tengah sensivitas kondisi kesehatan masyarakat,” imbuh Sri Untari yang menyebut bahwa kebijakan ini bakal terjadi di seluruh rumah sakit lainnya.
Selanjutnya, Komisi E segera melakukan koordinasi dengan Komisi IX (Bidang Kesehatan) DPR RI supaya mendapat masukan dari daerah.
Bahwa dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ini mengakibatkan layanan kesehatan tertunda.
"Kalau layanan kesehatan terhadap masyarakat tertunda pasti mortalitas (tingkat kematian) tinggi, kalau tidak mortalitas tinggi tentu akan membuat keluarga mengeluarkan biaya perawatan tinggi terus menerus,” pungkas Sri Untari sembari menekankan bahwa penerapan KRIS akan dievaluasi secara berkala untuk memastikan keberlanjutan program jaminan kesehatan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Berlaku Juni 2025, Ketua Komisi E Sri Untari Minta Pemerintah Tunda Penetapan KRIS
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Deasy Mayasari |