TIMES SURABAYA, SURABAYA – Lapangan depan Rektorat Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Kampus 2 Lidah Wetan menjadi ramai, pada Jumat malam (26/9/2025). Sejak pukul 20.00 WIB, puluhan mahasiswa mulai memadati area pementasan Wayang Kulit bertajuk Baladewa Mbangun Praja yang menjadi acara utama malam puncak Dies Natalis ke-61. Tikar dan alas seadanya digelar, penonton yang sebagian besar mahasiswa rela duduk lesehan demi menikmati pertunjukan yang jarang mereka saksikan secara langsung.
Beberapa mahasiswa tampak asyik menyeruput minuman sambil bercanda menunggu gamelan dibunyikan. Begitu denting saron dan kendang terdengar, obrolan perlahan reda. Semua mata tertuju ke layar kelir putih tempat Ki Cahyo Kuntadi memulai lakon. Tiap kali dalang menyelipkan humor, sorakan dan tepuk tangan langsung pecah, membuat suasana terkesan tidak kaku karena humornya yang nyambung dengan anak muda.
Rahma, mahasiswi Pendidikan Bahasa Jepang, datang bersama teman-temannya karena merasa kesempatan menonton wayang semakin langka.
“Sekarang lumayan susah untuk nonton wayang di daerah sekitar sini. Di acara ini ternyata ada pagelaran wayang, lumayan juga untuk mengisi waktu luang,” katanya.
Rahma mengaku tak menyangka akan betah duduk berjam-jam. “Terkesima sama cara kerja dalang pas memperagakan lakon wayangnya, sehingga terlihat lebih hidup. Ceritanya juga nyenggol isu sosial, jadi terasa relevan sih,” ujarnya.
Zahwa, mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, menilai pertunjukan seperti ini penting buat generasi muda. Dirinya paling terksesan saat dalang memadukan Bahasa Jawa dan Indonesia.
“Wayang itu warisan nenek moyang. Kalau kita nggak peduli, bisa-bisa hilang bahkan diakui negara lain,” tuturnya.
“Saya paling suka di bagian dalang membawa kisah alam ghaib, ada wayang yang bentuknya lucu dan menghibur. Saat bagian itu juga, dalang menggunakan bahasa campuran Jawa dan Indonesia agar gen Z bisa paham,” tambahnya.
Zahwa bahkan ingin melihat pertunjukan tradisional lain, seperti wayang wong (orang), yang sekarang jarang dimainkan.
Karawitan Madhangkara mengiringi Ki Cahyo dengan irama klasik dan komedi yang fresh. Suasana pertunjukan semakin meriah karena penampilan Lintang Kairo dan Cak Yudo CS.
Hingga lewat tengah malam, penonton tetap duduk di tikar mereka, sebagian merekam foto dengan ponsel mereka, dan yang lain meniru percakapan lucu dari dalang.
Mahasiswa Unesa yang antusias malam itu menunjukkan bahwa seni tradisi seperti wayang masih mampu menarik perhatian generasi muda. Bukan hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai hiburan yang dekat dengan mereka di tengah perkembangan hiburan digital. (*)
Pewarta: Della Nur Khofiah
Pewarta | : Siti Nur Faizah |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |