TIMES SURABAYA, PROBOLINGGO – Wilayah dataran tinggi di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, disebut menjadi penyumbang terbanyak kasus stunting atau balita kerdil.
Hal itu disebutkan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kabupaten Probolinggo dr. Anang Budi Yoelijanto.
Anang mengatakan, hasil survei dari Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menyatakan, angka stunting di Kabupaten Probolinggo berada di angka 17 persen. Sedangkan versi bulan timbang berada di angka 14,3 persen.
Dari parsentase itu, kata dia, mayoritas berada di wilayah dataran tinggi. Contohnya Kecamatan Krucil, Tiris, Sumber dan wilayah dataran tinggi lainnya. Wilayah tersebut masih keterkaitan dengan faktor pernikahan dini dan kantong-kantong kemiskinan.
"Angka stunting itu banyak di dataran tinggi. Mereka masih kental dengan pernikahan dini, dan kemiskinan. Sehingga terjadi stunting pada anak," ungkap Anang.
Merujuk pada Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem atau P3KE yang pernah dipaparkan Sekda Kabupaten Probolinggo, Ugas Irwanto, Kecamatan Krucil menjadi penyumbang tertinggi kemiskinan ekstrem.
Kecamatan berpenduduk 56.790 jiwa yang berada di kaki Gunung Argopuro ini, memiliki 7.041 keluarga yang masuk dalam desil 1. Yakni 10 persen kelompok keluarga dengan tingkat kesejahteraan terendah.
Di bawah Krucil, ada Kecamatan Tiris yang memiliki 5.593 keluarga desil 1. Baik Krucil maupun Tiris, sama-sama berada di dataran tinggi.
Lalu posisi berikutnya ditempati Kecamatan Pakuniran yang memiliki 3.530 keluarga desil 1. Disusul Kecamatan Banyuanyar (3.524), Gading (3.355), Maron (2.957), dan Kecamatan Tongas (2.950).
Data yang sama menunjukkan, tak semua wilayah dataran tinggi menjadi kantong kemiskinan ekstrem. Dua kecamatan di kawasan Gunung Bromo atau Tengger, yaitu Sukapura dan Sumber, memiliki keluarga desil 1 paling rendah.
Wilayah Perkotaan Juga Sumbang Stunting
Meski demikian, bukan berarti wilayah kota bebas dari kasus stunting. Justru sebaliknya, wilayah urban seperti Kota Kraksaan juga terdapat angka stunting. Hasil survei membuktikan wilayah urban juga turut menyumbangkan stunting dari faktor buruknya pola asuh.
Anang menyebutkan, salah asuh yang dimaksud itu terdiri dari banyak jenis. Di antaranya budaya urban yang melekat pada masyarakat kota, dan gaya hidup yang berubah. Sehingga mereka mulai abai pada pendidikan dan cara mengasuh anak yang baik.
"Sebenarnya pola asuh ini yang dominan. Meskipun miskin tapi kalau pola asuhnya benar tidak akan berpengaruh. Sedangkan masyarakat kota ini, mereka banyak ikut budaya kebarat-baratan sehingga abai dengan kewajibannya untuk mengasuh anak. Akhirnya begini jadinya," kata Anang.
Transisi gaya hidup kekinian yang dianut oleh masyarakat kota, lanjut Anang, sangat berdampak pada kehidupan anak-anak mereka. Misalnya, jenis makanan yang dikonsumsi anak tidak diperhatikan dengan betul. Orang tua memberikan makanan apa saja tanpa memperhatikan kebutuhan gizi anak.
"Karena orang kaya, makanan yang diberikan ke anaknya makanan mahal. Tapi tidak memperhatikan kebutuhan gizinya. Belum tentu makanan mahal itu bergizi dan layak untuk anak," ujar Anang.
Oleh karena itu, pihaknya semakin masif untuk melakukan sosialisasi pada masyarakat dan pendampingan pada calon pengantin. Bahkan pihaknya menggelar pendidikan massal di seluruh kecamatan berupa, Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH).
"Dengan pendidikan itu, orang tua bisa lebih paham tentang pola asuh yang baik. Serta memperhatikan gizi makanan untuk anak mereka. Sehingga angka stunting di Kabupaten Probolinggo bisa ditekan," pungkasnya. (*)
Pewarta | : Abdul Jalil |
Editor | : Muhammad Iqbal |