TIMES SURABAYA, KORUPTOR – Ironis. Namun faktanya itu yang terjadi. Perguruan tinggi Indonesia menjadi "pendonor" koruptor terbanyak di tanah air.
Hal itu tentu menyisahkan tanya, mengapa lembaga yang harusnya melahirkan orang bermoral bisa sedemikian pilunya.
"Ada data yang menunjukkan 86 persen koruptor yang ditangkap KPK RI adalah lulusan perguruan tinggi. Tentu itu ironis sekali," kata Wakil Ketua KPK RI Nurul Ghufron dalam keterangan resminya dikutip Minggu (24/10/2021).
Ia menyampaikan, soal pentingnya integritas di dunia pendidikan, termasuk kampus sebagai lembaga yang mencetak intelektual.
Pasalnya kata dia, jika dunia pendidikan gagal mencetak lulusan yang berintegritas, potensi tindak pidana korupsi di Indonesia akan seperti bola salju.
"Pada sisi tata nilai, dunia pendidikan sangat berperan. Nilai-nilai kejujuran harus diajarkan sedari dini kepada anak didik," ujar dia lagi.
Dengan kenyataan pahit itu, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, perguruan tinggi saat ini memang menjadi terdakwa utama di dalam kemelut korupsi di tanah air.
"Jika dilihat dari pelaku-pelaku korupsi dan kolusi, perguruan tinggi menjadi terdakwa utama di dalam kemelut yang menimpa bangsa ini. Terutama kemelut korupsi di Indonesia," jelas dalam keterangan yang diterima TIMES Indonesia.
Akan tetapi menurutnya, disisi lain, perguruan tinggi juga memiliki peran besar dalam membawa perubahan serta kemajuan bagi negara. "Berkat lulusan perguruan tinggi banyak inovasi-inovasi dilakukan di berbagai hal," ucapnya.
Mantan Ketua MK itu menyatakan, saat ini perguruan tinggi sudah seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengejawantahkan agenda-agenda peningkatan wawasan kebangsaan.
Menurutnya, kampus tidak sebatas melakukan transfer ilmu pengetahuan saja. "Melainkan juga menjadi tempat di mana mahasiswa ditempa untuk bersikap layaknya sebagai warga negara yang memahami bangsanya sendiri," ujarnya.
Jumlah Koruptor Naik
Sementara itu, dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis Laporan Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester 1 2021 ini. Data yang dikumpulkan, jumlah penindakan kasus korupsi selama enam bulan awal tahun 2021 mencapai 209 kasus.
Dijelaskan, jumlah tersebut naik dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar, yakni 169 kasus.
ICW juga menyebut, nilai kerugian negara akibat korupsi ikut meningkat. Pada semester 1 2020 lalu, nilai kerugian negara dari kasus korupsi sebesar Rp18,173 triliun, kemudian di semester 1 2021 nilainya mencapai Rp26,83 triliun.
Artinya, terjadi kenaikan nilai kerugian negara akibat korupsi sebesar 47,6 persen. Dalam empat tahun belakangan, nilai kerugian negara selalu menunjukkan tren peningkatan, sedangkan angka penindakan kasus korupsi fluktuatif.
Sumber Praktik Korupsi
Pada bulan Mei 2021 lalu, Ketua KPK RI Firli Bahuri menyampaikan, sebanyak lebih dari seribu kasus korupsi terjadi sepanjang 2004 hingga 2021.
Salah satu sumber praktik korupsi adalah dari pengadaan barang dan jasa. “Setidaknya ada 1.146 perkara korupsi sejak 2004 sampai 2021,” kata Firli Bahuri waktu itu dalam diskusi virtual.
Ia mengatakan, banyak para pejabat, seperti kepala daerah tersandung kasus tindak pidana korupsi (tipikor) akibat pengadaan barang dan jasa itu.
Oleh karenanya lanjut dia, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau LKPP telah membuat aplikasi Belanja Pengadaan (Bela) guna meminimalkan potensi korupsi.
Akan tetapi kata dia, sebaik-baiknya sistem tidak bisa mengubah perilaku. "Saya harap pejabat dan kepala daerah ikuti ketentuan yang berlaku,” ujarnya.
Lemahnya Hukuman untuk Koruptor
Salah satunya penyebab semakin marak korupsi di Indonesia adalah tak becusnya para penegak hukum. Misalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan seluruh narapidana, termasuk terpidana kasus korupsi, berhak mendapat remisi.
Hal itu disampaikan saat membacakan putusan uji materi pasal 34A, 36A, 43A, dan 43B PP Nomor 99 Tahun 2012 yang diajukan O.C. Kaligis.
MK berpendapat aturan teknis pemasyarakatan harus mengusung konsep keadilan yang memperbaiki (restorative justice). Dengan demikian, hak remisi harus berlaku sama untuk setiap warga binaan.
"Sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa kecuali. Artinya, berlaku sama bagi semua warga binaan, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan," kata Hakim Konstitusi Suhartoyo dilihat dari kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI.
MK juga berpendapat pemberian remisi adalah otoritas penuh lembaga pemasyarakatan. Menurut MK, tidak seharusnya keputusan pemberian remisi dipengaruhi oleh lembaga lain.
MK pun menyatakan syarat tambahan pemberian remisi tidak seharusnya menghalangi warga binaan mendapatkan hak. Mahkamah menilai syarat tambahan seharusnya hanya berlaku untuk menambah jumlah remisi.
Pasal 34A ayat (1) PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur ketentuan khusus remisi bagi sejumlah narapidana, termasuk napi korupsi. Salah satu syarat remisi bagi koruptor adalah membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukan.
Menanggapi hal itu, Juru bicara KPK RI Ali Fikri menyampaikan, hukuman untuk koruptor bertujuan memberi efek jera dan demi rasa keadilan.
"Penegakkan hukum perkara korupsi sebagai extra ordinary crime bukan saja demi rasa keadilan, tapi juga harus bisa memberi efek jera kepada pelaku, menjadi pembelajaran bagi masyarakat agar mencegah perbuatan serupa terulang, serta bisa memberi manfaat bagi negara melalui pemulihan asetnya," katanya kepada awak media.
Jubir berlatar belakang jaksa itu menambahkan, pemberantasan korupsi seharusnya dimaknai sebagai siklus yang menyeluruh. Mulai dari proses penyidikan, hingga hukuman pidana bagi koruptor. "Pemberantasan korupsi sepatutnya kita maknai sebagai siklus dari hulu ke hilir yang saling terintegrasi," ujar Ali Fikri. (*)
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Faizal R Arief |