https://surabaya.times.co.id/
Opini

Parodi Kritik Rakyat di Dunia Digital

Senin, 22 September 2025 - 13:39
Parodi Kritik Rakyat di Dunia Digital Zainal Muttaqin, Kabag Humas Kantor Gubernur Jawa Timur dan Dosen Ilmu Komunikasi Mahasiswa Kebijakan Publik Universitas Airlangga.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Awalnya banyak orang mengira “stop tot tot wuk wuk” hanyalah lelucon khas warganet Indonesia-kreatif, kocak, penuh plesetan. Onomatope ini menirukan bunyi sirene dan raungan strobo di jalan raya. 

Namun siapa sangka, dari sekadar tiruan bunyi, frasa ini menjelma menjadi simbol protes massal terhadap praktik penggunaan sirene yang dianggap sewenang-wenang.

Fenomena ini unik. Pesan sederhana, bahkan cenderung konyol, justru lebih mengena ketimbang kampanye formal penuh jargon hukum. 

Ada semacam tawa getir di balik kata-kata itu. Kita bisa tertawa, tapi sekaligus mengangguk serius: iya, memang sudah keterlaluan.

Bahasa sederhana adalah kekuatan. Dibanding istilah teknis seperti “penyalahgunaan rotator non-prioritas”, seruan “stop tot tot wuk wuk” jauh lebih membumi. 

Semua orang bisa menirukannya, dari pengemudi ojol hingga ibu-ibu yang menjemput anak sekolah. Bahasa ini universal, mudah diingat, sekaligus menciptakan rasa kebersamaan.

Humor di dalamnya berfungsi sebagai pintu masuk yang aman. Alih-alih menuding langsung, publik memilih menertawakan arogansi di jalan. Namun di balik tawa itu, kritiknya tajam: hentikan kesewenang-wenangan, kembalikan rasa adil di jalan raya.

Teori komunikasi Elisabeth Noelle-Neumann tentang spiral of silence menjelaskan bahwa orang cenderung diam bila merasa pendapatnya minoritas atau berisiko menimbulkan masalah. 

Dalam kasus sirene pejabat, banyak orang sebelumnya hanya bisa menggerutu dalam hati. Takut ribut, malas berdebat, atau pasrah dengan ucapan “ya beginilah Indonesia”.

Tetapi “stop tot tot wuk wuk” memecah spiral keheningan itu. Karena dibungkus dengan humor, kritik menjadi ringan, tidak menakutkan, dan mudah diikuti. 

Orang yang tadinya ragu bersuara akhirnya merasa aman untuk ikut menirukan. Kritik minoritas pun bertransformasi menjadi arus utama.

Media sosial dan media massa turut memperluas gema ini. Berita menyoroti sisi uniknya-stiker di motor, video parodi, konten meme hingga akhirnya kritik sosial serius tampil dalam bingkai hiburan. 

Inilah kekuatan framing: ketika media mengemas isu dengan cara menghibur, publik merasa ini persoalan bersama, bukan sekadar keluhan segelintir orang. Ditambah algoritma media sosial yang menyukai konten emosional, jadilah “stop tot tot wuk wuk” merajalela di berbagai platform.

Teori agenda setting pun menjelaskan fenomena ini. Awalnya, isu penyalahgunaan sirene hanya bisik-bisik di jalan. Tetapi ketika “stop tot tot wuk wuk” trending, media arus utama ikut meliput, dan pejabat pun angkat bicara. Yang tadinya lelucon berubah menjadi agenda nasional. 

Istana meminta pejabat tidak semena-mena, Korlantas bahkan menghentikan sementara penggunaan sirene pengawalan yang dianggap mengganggu. Gerakan rakyat sederhana akhirnya memaksa institusi merespons.

Dari perspektif diffusion of innovations Everett Rogers, viralitas ini sangat logis. Sebuah ide cepat menyebar bila sederhana, relevan, mudah dipraktikkan, dan manfaatnya nyata. 

Semua syarat itu dipenuhi oleh “tot tot wuk wuk”. Ia sederhana (cukup menirukan bunyi), relevan (semua pernah terganggu sirene), mudah dilakukan (ucap atau pasang stiker), dan dampaknya jelas (menyuarakan keadilan). Maka tak heran frasa ini menular bak virus sosial.

Jika mengikuti gagasan Habermas tentang ruang publik, jalan raya bisa dilihat sebagai forum diskusi terbuka. “Stop tot tot wuk wuk” mengubah jalan raya dari sekadar ruang lalu lintas menjadi arena ekspresi politik. 

Ojol, sopir truk, mahasiswa, hingga pekerja kantoran bersatu lewat simbol yang sama. Tidak ada batas kelas sosial, semua merasakan keresahan yang sama. Solidaritas horizontal pun lahir dari bahasa rakyat.

Humor dalam politik jangan diremehkan. Ia sering menjadi strategi retorika untuk melunakkan pesan keras. Humor mengurangi resistensi, tapi tetap menyampaikan kritik. “Stop tot tot wuk wuk” adalah bukti bahwa tawa kolektif bisa lebih tajam daripada teriakan marah. Meski begitu, ada risiko yang harus diantisipasi: salah tafsir. 

Sebagian warga bisa saja keliru menolak memberi jalan pada ambulans atau mobil pemadam kebakaran. Karena itu, penting menegaskan bahwa kritik ini bukan untuk kendaraan darurat, melainkan untuk penyalahgunaan fasilitas sirene oleh pihak yang tidak berhak.

Dari kacamata kebijakan publik, fenomena ini menunjukkan bagaimana opini rakyat bisa membuka policy window. Mengacu pada John Kingdon, ada tiga arus yang bertemu: keresahan publik soal sirene (problem stream), adanya regulasi yang lemah implementasi (policy stream), dan tekanan politik akibat viralitas (politics stream). Pertemuan tiga arus ini membuka peluang perubahan kebijakan.

Legitimasi kebijakan sejatinya bertumpu pada trust. Warga akan patuh bila merasa aturan adil. Sebaliknya, penyalahgunaan sirene justru menggerus kepercayaan. Rasa tidak adil membuat warga menganggap hukum hanya tajam ke bawah. “Stop tot tot wuk wuk” adalah peringatan bahwa trust publik bisa runtuh oleh hal yang tampak sepele dan keruntuhan trust jauh lebih berbahaya daripada macet sesaat di jalan.

Kebijakan publik, sebagaimana diingatkan Mazmanian dan Sabatier, tidak hanya soal isi regulasi, tapi juga komunikasi. Regulasi lalu lintas memang ada, tetapi apakah dikomunikasikan dengan bahasa yang dimengerti publik? 

Gerakan rakyat ini mengajarkan bahwa kebijakan perlu diterjemahkan ulang dengan bahasa sederhana. Infografis, kampanye digital, bahkan istilah populer ala rakyat bisa menjadi bagian dari strategi komunikasi kebijakan.

Fenomena ini membuka ruang evaluasi. UU 22/2009 tentang LLAJ sudah jelas, tetapi praktik di lapangan masih timpang. Reformasi SOP pengawalan pejabat, pengawasan berbasis teknologi, hingga sistem laporan terbuka harus diperkuat. 

Pada akhirnya, prinsip good governance transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi adalah kunci. “Stop tot tot wuk wuk” adalah ekspresi publik yang menuntut ketiganya.

Dari sini kita belajar bahwa warga bukan sekadar objek kebijakan, melainkan aktor yang bisa memaksa perubahan dengan kreativitas komunikasi. Bahasa rakyat, dengan segala kesederhanaannya, bisa lebih kuat daripada jargon formal. Ia mampu membongkar spiral keheningan, mempersatukan keresahan, memaksa respons kebijakan, dan membuka jalan reformasi.

“Stop tot tot wuk wuk” mungkin terdengar remeh. Tapi di balik bunyinya yang lucu, ia adalah seruan serius: tentang keadilan, kesetaraan, dan rasa hormat di ruang publik jalan raya. Kritik tak selalu harus lantang. 

Kadang, justru dengan tawa, pesan bisa lebih dalam. Dan kali ini, tawa itu berhasil memecah keheningan, mengubah percakapan, bahkan membuka jalan bagi pembaruan kebijakan publik.

 

***

*) Oleh : Zainal Muttaqin, Kabag Humas Kantor Gubernur Jawa Timur dan Dosen Ilmu Komunikasi Mahasiswa Kebijakan Publik Universitas Airlangga.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.