TIMES SURABAYA, SURABAYA – Pembubaran bedah buku Reset Indonesia di Madiun bukanlah peristiwa remeh yang bisa dipadatkan menjadi soal teknis perizinan atau dalih menjaga ketertiban. Ia adalah gema dari lorong gelap sejarah yang pernah kita lalui bersama, ketika negara memelihara kecurigaan terhadap kata, kalimat, dan gagasan.
Pada titik itu, buku diperlakukan seperti bara api, diskusi dianggap percikan, dan pikiran kritis dicurigai sebagai ancaman laten. Peristiwa ini membangkitkan trauma lama yang belum sepenuhnya sembuh: trauma Orde Baru, ketika stabilitas dijadikan mantra suci untuk membungkam nalar.
Trauma tersebut bukan sekadar memori historis, melainkan luka konstitusional yang seharusnya menjadi pengingat kolektif agar negara tidak kembali tergelincir pada jalan represif. Namun pembubaran diskusi buku hari ini dengan alasan yang kabur, prosedur yang timpang, dan tanpa pijakan hukum yang tegas menunjukkan bahwa refleks kekuasaan untuk membatasi pikiran belum sepenuhnya mati. Ia hanya berganti wajah, dari larangan resmi menjadi tindakan lapangan, dari sensor terang-terangan menjadi pembubaran yang dibungkus dalih administratif.
Dalam negara hukum yang mengaku demokratis, pembubaran forum intelektual tidak boleh dipahami sebagai insiden kasuistik. Ia adalah ujian konstitusional. Ia menguji seberapa jauh negara sungguh-sungguh menghormati kebebasan berpikir, hak berekspresi, dan mandat luhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika diskusi buku dibubarkan, yang dipertaruhkan bukan sekadar satu acara, melainkan fondasi demokrasi itu sendiri.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara terang menempatkan kebebasan berpikir dan berekspresi sebagai hak asasi warga negara, bukan hadiah dari penguasa. Pasal 28E ayat (2) menegaskan kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani. Ayat (3) menjamin kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F bahkan membuka selebar-lebarnya hak untuk mencari, memperoleh, dan menyampaikan informasi melalui segala saluran yang tersedia. Bedah buku, dengan segala sudut pandang dan perdebatan di dalamnya, berdiri tepat di jantung jaminan konstitusional tersebut.
Diskusi buku bukan aksi kekerasan. Ia bukan propaganda bersenjata, bukan pula makar terselubung. Ia adalah latihan akal sehat dalam ruang publik. Maka pembubarannya dengan alasan administratif adalah bentuk pembatasan hak konstitusional yang kehilangan legitimasi hukum.
Dalam teori hukum tata negara, praktik semacam ini dikenal sebagai extra-legal restriction: pembatasan hak yang lahir bukan dari undang-undang, melainkan dari diskresi aparat di lapangan.
Memang benar, Pasal 28J UUD 1945 membuka ruang pembatasan hak asasi manusia. Namun ruang itu sempit dan bersyarat ketat. Pembatasan hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, demi menjamin hak orang lain serta menjaga ketertiban dan keamanan umum secara proporsional.
Artinya, tidak ada mandat konstitusional bagi aparat untuk secara sepihak menilai sebuah diskusi intelektual sebagai ancaman, apalagi tanpa proses hukum yang transparan dan akuntabel.
Ironisnya, setiap kali diskusi buku dibubarkan, narasi lama selalu dihidupkan kembali: bahaya komunisme, marxisme, dan leninisme. Sejarah memang mencatat trauma nasional yang melahirkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 dan ketentuan pidana terkait. Namun larangan ideologi tidak pernah identik dengan larangan membaca dan berpikir.
Dalam doktrin hukum pidana modern, kriminalisasi harus menyasar perbuatan nyata yang membahayakan kepentingan hukum, bukan aktivitas intelektual seperti membaca, mendiskusikan, atau mengkritisi gagasan.
Buku Reset Indonesia tidak pernah dinyatakan sebagai bacaan terlarang melalui mekanisme hukum yang sah. Tidak ada putusan pengadilan, tidak ada keputusan administratif berwenang yang menetapkannya sebagai objek larangan.
Dalam kondisi demikian, pembubaran diskusi justru menjadi bentuk pembatasan dini yang mencederai asas nullum crimen sine lege. Negara seolah menghukum sebelum ada pelanggaran, menutup ruang sebelum ada ancaman nyata.
Dalam perspektif hukum tata negara, negara yang takut pada buku adalah negara yang meragukan kedewasaan warganya sendiri. Padahal, Pembukaan UUD 1945 secara eksplisit memerintahkan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Buku bukan senjata. Diskusi bukan makar. Kritik bukan kejahatan. Ketika negara mulai memandang diskusi buku sebagai bahaya, maka yang sesungguhnya terancam bukanlah keamanan nasional, melainkan demokrasi konstitusional itu sendiri.
Pembubaran bedah buku Reset Indonesia adalah peringatan keras bahwa bayang-bayang masa lalu belum sepenuhnya pergi. Ia mengingatkan kita bahwa kebebasan berpikir selalu rentan jika tidak dijaga.
Pertanyaannya kini bukan sekadar siapa yang membubarkan, melainkan apakah kita akan kembali membiarkan ketakutan mengalahkan akal sehat. Jika buku saja ditakuti, lalu kepada siapa bangsa ini akan berharap menemukan pencerahan?
***
*) Oleh : Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |