https://surabaya.times.co.id/
Opini

Meneguhkan Sumpah Pemuda di Era Demokrasi Digital

Selasa, 28 Oktober 2025 - 17:10
Meneguhkan Sumpah Pemuda di Era Demokrasi Digital Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia kembali merenungi momentum historis yang melahirkan kesadaran kebangsaa yakni Sumpah Pemuda Tahun 1928 bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu yang menjadi fondasi ideologis berdirinya Republik Indonesia. Namun, hampir satu abad kemudian, nilai-nilai luhur itu menghadapi ujian baru dari globalisasi, disrupsi teknologi, dan menurunnya kepekaan sosial generasi muda terhadap arah bangsa.

Sumpah Pemuda bukan hanya catatan sejarah, tetapi peristiwa kebudayaan dan politik yang menandai lahirnya identitas nasional. Dalam konteks teori perubahan sosial Karl Mannheim, pemuda disebut memiliki fresh contact-pandangan baru yang menantang kemapanan lama. Sumpah Pemuda 1928 dapat dipahami sebagai bentuk “kontrak sosial” antar generasi muda yang menolak kolonialisme dan fragmentasi sosial.

Dalam teori partisipasi politik Almond & Verba, keterlibatan pemuda merupakan fondasi bagi demokrasi yang hidup. Maka, meneguhkan kembali Sumpah Pemuda berarti menghidupkan kembali energi moral dan partisipatif dalam sistem kenegaraan kita.

Dari Sejarah Pergerakan ke Konsolidasi Kesadaran

Sejarah menunjukkan bahwa setiap fase penting perubahan politik Indonesia selalu dimulai oleh keberanian pemuda. Budi Utomo (1908) membuka kesadaran intelektual untuk berorganisasi secara modern.

Kongres Pemuda I dan II (1926–1928) menyalakan semangat persatuan lintas etnis dan daerah yang akhirnya memuncak dalam Sumpah Pemuda. Peristiwa Rengasdengklok (1945) menunjukkan keberanian kaum muda menekan elite politik untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.

Pasca-kemerdekaan, peran pemuda tak pernah padam. Gerakan 1966 menjadi simbol perlawanan moral terhadap penyimpangan kekuasaan, sementara Reformasi 1998 menandai babak baru demokrasi yang lahir dari idealisme mahasiswa di jalanan.

Tak berlebihan bila dikatakan, revolusi sosial-politik Indonesia adalah revolusi pemuda, sebuah rangkaian perjuangan panjang yang menjadikan pemuda sebagai aktor historis sekaligus penjaga arah moral bangsa.

Landasan Konstitusional dan Tanggung Jawab Moral

Dalam kerangka hukum tata negara, peran pemuda berakar kuat pada konstitusi. Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Prinsip tersebut dipertegas melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang menegaskan peran pemuda sebagai kekuatan moral, sosial, dan intelektual dalam pembangunan nasional.

Partisipasi pemuda adalah amanat konstitusional. Dalam konsepsi civil virtue Alexis de Tocqueville, demokrasi hanya dapat bertahan jika warga negaranya memiliki kebajikan sipil yakni kesadaran hukum, moral, dan tanggung jawab sosial. Inilah inti partisipasi yang sejati: hadir dengan nalar kritis, bukan dengan fanatisme; berkontribusi dengan gagasan, bukan dengan kemarahan.

Pemuda di Era Demokrasi Digital

Memasuki abad ke-21, bentuk perjuangan pemuda telah berubah wajah. Jika dahulu mereka mempersatukan bangsa lewat organisasi dan kongres, kini ruang pertempurannya adalah dunia digital. Media sosial menjadi arena baru untuk mengedarkan gagasan, membangun solidaritas, sekaligus ironisnya menyebar disinformasi.

Menurut data KPU, 56 persen pemilih dalam Pemilu 2024 berasal dari generasi milenial dan Z. Angka ini bukan hanya statistik elektoral, melainkan gambaran kekuatan politik masa depan. Namun, kekuatan itu hanya bermakna bila disertai kesadaran politik yang matang.

Sayangnya, banyak anak muda yang terjebak apatisme, skeptis terhadap lembaga politik, dan kehilangan kepercayaan pada moralitas elite. Fenomena politik dinasti, patronase, dan pragmatisme partai memperlebar jurang antara idealisme dan kenyataan.

Jika tidak hati-hati, pemuda akan direduksi menjadi objek elektoral sekadar target kampanye digital, bukan subjek perubahan. Untuk itu, generasi muda harus mengembalikan partisipasi politik pada esensinya: memperjuangkan kepentingan publik, bukan kepentingan partai.

Demokrasi yang sehat menuntut kehadiran pemuda yang rasional, beretika, dan berpihak pada nilai keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Momentum Regenerasi Moral

Gelombang gerakan pemuda di berbagai belahan dunia hari ini memperlihatkan bahwa semangat pembaruan tidak pernah padam. Di tengah krisis iklim, ketimpangan ekonomi, konflik geopolitik, dan kemerosotan kepercayaan publik terhadap lembaga negara, generasi muda tampil sebagai kekuatan moral baru yang menuntut akuntabilitas dan keberlanjutan.

Fenomena yang paling menarik adalah mobilisasi yang lahir dari ruang digital. Di Nepal, ribuan pemuda turun ke jalan menentang korupsi, namun inti kekuatan mereka bukan sekadar kehadiran fisik melainkan viralitas informasi yang mereka ciptakan melalui media sosial, sehingga pesan moral dan tuntutan transparansi meluas ke seluruh lapisan masyarakat.

Di Filipina, mahasiswa dan komunitas kreatif memanfaatkan platform digital untuk menekan pemerintah agar serius menangani krisis lingkungan dan kebebasan berekspresi, menciptakan narasi yang sulit diabaikan. Sementara di Indonesia, aktivisme digital membentuk gerakan sosial berbasis komunitas: kampanye lingkungan, literasi politik, hak digital, dan kesetaraan gender.

Pemuda kini tidak lagi hanya menyuarakan aspirasi di jalan, tetapi membentuk opini publik, memengaruhi agenda politik, dan menguji respons lembaga negara melalui kekuatan informasi yang mereka sebarkan.

Kekuatan ini membawa tantangan tersendiri. Tanpa kesadaran kritis, gerakan pemuda bisa direduksi menjadi “target kampanye digital” sekadar sasaran algoritma, klik, dan trending topic, bukan subjek perubahan yang mampu mendorong reformasi sistemik.

Aktivisme digital yang viral bisa dipolitisasi, memicu manipulasi opini, dan mengaburkan garis antara idealisme dan kepentingan elektoral. Oleh karena itu, kapasitas analisis, etika, dan tanggung jawab menjadi sangat penting: viralitas harus menjadi alat moral, bukan alat politik semu.

Fenomena ini sejalan dengan arahan global United Nations Youth Strategy 2030, yang menekankan keterlibatan (engagement), partisipasi (participation), dan pemberdayaan (empowerment). Gerakan pemuda modern bukan sekadar ekspresi perlawanan, tetapi upaya regenerasi moral: menegaskan nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberlanjutan di tengah politik yang sering kehilangan nurani.

Bagi Indonesia, refleksi ini penting. Spirit Sumpah Pemuda bisa dibaca ulang sebagai “satu kesadaran global” kesadaran bahwa keadilan, perdamaian, dan keberlanjutan adalah tanggung jawab bersama.

Pemuda harus menjadi jembatan moral: menghubungkan nasionalisme dengan kemanusiaan, idealisme dengan tanggung jawab global, dan viralitas digital dengan kesadaran etis. Mereka tidak boleh menjadi penonton sejarah atau objek manipulasi digital.

Masa depan bangsa ditentukan oleh sejauh mana mereka mengamalkan nilai-nilai Sumpah Pemuda dengan kesadaran, tanggung jawab, dan ketulusan, memanfaatkan kekuatan informasi dan digitalisasi sebagai mercusuar moral di tengah gelombang zaman yang terus berubah.

Pemuda tidak boleh lagi sekadar menjadi penonton sejarah. Di era demokrasi digital, mereka harus menjadi produsen nilai dan penjaga akal sehat publik. Sebab, masa depan Indonesia bukan ditentukan oleh seberapa keras pemuda mengulang sumpah 1928, tetapi sejauh mana mereka mengamalkannya dengan kesadaran, tanggung jawab, dan ketulusan.

Dengan demikian, dari ikrar menuju aksi, dari sejarah menuju masa depan Sumpah Pemuda tetap menjadi mercusuar moral bangsa di tengah gelombang zaman yang terus berubah.

***

*) Oleh : Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.