https://surabaya.times.co.id/
Opini

Menguatkan Peran Advokat dalam KUHAP Baru

Selasa, 27 Mei 2025 - 17:25
Menguatkan Peran Advokat dalam KUHAP Baru Taufikur Rohman, S.H., Direktur LBH PC PMII Surabaya.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah di sahkan dan akan berlaku pada tahun 2026. Untuk merespon atiran tersebut, maka penting untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang baru sebagai payung hukum penegakan hukum pidana secara formil. 

Komisi III DPR menjelaskan bahwa Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana harus disahkan dan berlaku pada 1 Januari 2026 atau bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang baru. Hal ini penting dilakukan agar tidak terjadi kekosongan hukum dan ketimpangan regulasi dalam pelaksanaan penegakan hukum pidana.

Namun, yang lebih utama adalah penyusunan RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang baru ini harus melibatkan peran masyarakat secara bermakna (meaningfull participation) untuk mencegah perumusan aturan hukum yang merugikan masyarakat.

Berebut Kewenangan

Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan langkah strategis dalam memperbaiki sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, perubahan ini juga membawa potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) khususnya perihal kewenangan penyidikan antara kepolisian dan kejaksaan. 

Dalam KUHAP baru, kemungkinan peningkatan kewenangan penyidik dan penuntut umum dapat memunculkan risiko penyalahgunaan wewenang, seperti penahanan sewenang-wenang atau intervensi dalam proses penyelidikan dan penyidikan. 

Padahal tersebut sudah diatur jelas dalam KUHAP yang berlaku saat ini sebagai norma hukum positif. Pembentuk UU telah mempertimbangkannya secara matang untuk mencegah tumpang tindih tugas penegak hukum, mendorong profesionalisme, dan memastikan mekanisme check and balances demi kesetaraan dalam peradilan pidana.

Potensi Overlapping kewenangan antar penegak hukum harus dicegah dalam KUHAP bari dengan bertumpu pada asas diferensiasi fungsional. Asas ini menempatkan setiap penegak hukum sejajar satu dengan yang lain, yang membedakan hanya pada kewenangannya masing-masing tanpa yang satu berada lebih tinggi dibanding yang lain. 

Implementasi prinsip deferensiasi fungsional dalam penyusunan KUHAP yang baru sangat penting dilakukan, karena setiap tindakan penegak hukum sangat berhubungan dengan hak dan kepentingan hukum warga negara. Oleh karenanya tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum akan sangat merugikan tersangka, terlapor, terdakwa ataupun terpidana.

Urgensi Penguatan Peran Advokat

Advokat merupakan representasi dari hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan pembelaan hukum (Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945). Posisi advokat selama ini dalam pelaksanaan hukum pidana perannya pasif. Sehingga posisi advokat tidak seimbang dengan aparat penegak hukum lainnya terutama di tahap penyidikan. 

KUHAP baru harus menjamin akses advokat sejak dini (early access to counsel), yakni sejak tahap penangkapan atau pemeriksaan awal, untuk mencegah penyiksaan, intimidasi, dan pelanggaran HAM lainnya. Karenanya, penguatan peran advokat menjadi krusial dalam menjaga keseimbangan sistem peradilan pidana serta melindungi hak asasi tersangka dan terdakwa. 

Penulis memuat beberapa alasan pentingnya menguatkan peran advokat dalam KUHAP baru. Pertama, Advokat sebagai mekanisme kontrol. Kedudukan advokat dalam sistem peradilan pidana di Indonesia sangat fundamental, karena tidak hanya melindungi kepentingan hak hukum korban atau pelaku tindak pidana namun juga sebagai fungsi kontrol dan monitoring dalam seluruh proses penegakan hukum dari awal hingga akhir. 

Dalam negara hukum yang demokratis, mekanisme kontrol tidak hanya dilakukan oleh lembaga formal seperti DPR atau lembaga pengawas internal, tetapi juga oleh aktor profesional seperti advokat. Karena itu, KUHAP baru harus menegaskan dan memperkuat posisi advokat sebagai bagian dari sistem pengawasan horizontal, khususnya terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum.

Kedua, Hak imunitas advokat. Agar advokat dapat menjalankan tugasnya secara optimal, mereka harus mendapatkan perlindungan hukum yang memadai. Tidak jarang advokat menghadapi intimidasi atau tekanan ketika mendampingi klien dalam kasus yang kontroversial. 

Oleh karena itu, KUHAP baru harus menjamin kebebasan advokat dalam menjalankan tugasnya tanpa intervensi dari pihak manapun. Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar pengadilan.” 

Ketentuan Ini adalah bentuk hak imunitas profesional, yang berarti advokat tidak dapat dipidana atau digugat secara perdata atas ucapan, pendapat, atau tindakan yang dilakukannya selama dalam koridor pembelaan hukum yang sah dan dengan itikad baik.

Ketiga, Advokat sebagai penegak hukum. Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat menjelaskan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.” 

Undang-Undang secara tegas mengakui status advokat sebagai penegak hukum, bukan sekadar pembela pribadi. Advokat berada dalam kedudukan yang setara dengan Polisi, Jaksa dan hakim dalam menjalankan fungsi penegakan hukum.

KUHAP baru harus memperjelas dan mempertegas kesejajaran peran advokat dalam sistem peradilan pidana, baik dari segi hak, wewenang, maupun perlindungan hukum. Sehingga ketimpangan perlakuan terhadap advokat adalah bertentangan dengan prinsip keadilan dan due process of law.

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Dengan demikian, Indonesia sebagai negara anggota di dalamnya telah terikat dengan berbagai kewajiban, termasuk pula kewajiban untuk melakukan pemenuhan hak pada Pasal 14 ICCPR untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang layak. 

Dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana ini, maka access to justice tersebut harus dimulai dengan memberikan jaminan atas keseimbangan pelaksanaan pendampingan, perlindungan maupun pembelaan terhadap semua pihak yang membutuhkan melalui pembelaan oleh advokat. 

Dalam hal ini, maka access to justice dan fair treatment tersebut menjadi penting dalam hukum acara pidana dan menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum secara bersama untuk kemudahan-kemudahan pelaksanaannya. (*)

***

*) Oleh : Taufikur Rohman, S.H., Direktur LBH PC PMII Surabaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim. 

 

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.