TIMES SURABAYA, SURABAYA – Mal tidak lagi sekadar ruang transaksi ekonomi. Ia telah menjelma menjadi ruang sosial baru bagi warga kota. Perubahan ini didorong oleh pergeseran gaya hidup urban dan berkembangnya pola konsumsi yang lebih simbolik daripada fungsional. Konsumen masa kini tidak hanya membeli barang, tetapi juga membeli pengalaman, citra diri, bahkan makna sosial.
Fenomena ini terlihat di berbagai pusat perbelanjaan yang kini lebih menonjolkan pengalaman visual, instalasi seni interaktif, ruang berswafoto, dan zona nongkrong yang estetik, ketimbang sekadar deretan etalase toko.
Dalam konteks ini, mal menjadi panggung perjumpaan sosial yang cair, tempat pencitraan identitas berlangsung, dan arena ekspresi diri warga urban.
George Ritzer, sosiolog kontemporer, menyebut bahwa masyarakat modern telah memasuki era “konsumerisme simbolik”. Yang dikonsumsi bukan lagi barang, melainkan status, simbol, dan gaya hidup.
Inilah yang menjelaskan mengapa sebagian besar pengunjung datang ke mal bukan untuk berbelanja, melainkan untuk “mengalami” suasana, membangun narasi visual di media sosial, atau sekadar menjadi bagian dari dinamika keramaian kota.
Rojali dan Dinamika Konsumen Urban
Kehadiran mal sebagai ruang sosial melahirkan tipe-tipe konsumen baru, yang membawa perhatian dan waktu, meski tidak selalu membawa uang. Di sinilah muncul istilah humoris yang merepresentasikan perilaku baru ini: Rojali, Rohana, Rosali, dan seterusnya.
Rojali (rombongan jarang beli) datang bersama teman-temannya, menikmati pendingin udara, berfoto ria di spot Instagramable, lalu pulang tanpa belanja.
Rohana (rombongan hanya nanya) berinteraksi aktif dengan SPG, bertanya detail harga, fitur, hingga manfaat produk, namun akhirnya hanya bilang, “lihat-lihat dulu.” Rosali (rombongan suka selfie) menjadikan mal sebagai panggung estetika gaya hidup, bukan tempat transaksi.
Ada pula Rocado (rombongan cari jodoh) yang menjadikan mal sebagai ruang sosial spontan, Rocega (rombongan cek harga) yang membandingkan harga lalu belanja daring di rumah, dan Rocuta (rombongan cuci mata) serta Ronadem (rombongan numpang ngadem) yang sekadar menikmati suasana visual dan kesejukan.
Terakhir, muncul istilah baru: Rohalus (rombongan hanya elus-elus), menggambarkan pengunjung yang menyentuh barang tapi tak berniat membeli.
Fenomena ini menyiratkan tantangan sekaligus peluang baru bagi manajemen mal. Apakah mereka masih relevan dengan strategi berbasis kuantitas transaksi, atau perlu mulai mempertimbangkan metrik lain seperti durasi kunjungan, interaksi digital, dampak sosial, hingga keterlibatan komunitas?
Strategi Mal di Era Konsumsi Simbolik
Dari sudut pandang manajemen strategik, perubahan perilaku ini harus dibaca sebagai sinyal kuat untuk menyusun strategi baru. Nilai dari konsumen tidak lagi tunggal, belanja langsung, tetapi juga mencakup kontribusi terhadap ekosistem sosial mal itu sendiri.
Mal tidak lagi hanya sekumpulan toko, melainkan ruang kolaborasi budaya, komunitas, dan ekonomi kreatif. Dalam istilah modern: co-creation value.
Artinya, meskipun pengunjung tidak langsung membeli produk, keberadaan dan interaksi mereka turut menciptakan suasana, membentuk narasi kolektif, dan bahkan menaikkan daya tarik tenant bagi calon pelanggan lain.
Maka, strategi adaptif semata tidak cukup. Mal perlu menjadi ruang partisipatif dan kolaboratif. Contohnya, event komunitas, workshop publik, ruang literasi digital, pertunjukan seni urban, hingga kemitraan strategis dengan UMKM lokal. Semua ini bisa menjadi jalan agar mal tetap hidup, relevan, dan berdampak.
Dalam pengamatan keseharian di berbagai kota besar, kita makin sering menjumpai mal yang ramai bukan oleh transaksi, melainkan oleh aktivitas sosial dan visual. Banyak pengunjung datang untuk sekadar menikmati suasana, berburu spot foto menarik, atau berkumpul bersama komunitas.
Di tempat-tempat seperti Jakarta, hingga Surabaya, mal perlahan bergeser dari ruang belanja menjadi ruang ekspresi dan rekreasi warga kota. Perubahan ini bukan sesuatu yang harus ditakuti justru bisa menjadi pijakan baru untuk merancang strategi pertumbuhan yang lebih kontekstual dan bernilai.
Mal dan Spirit Ekonomi Islam
Dalam perspektif Islam, konsumsi bukan sekadar pemuasan kebutuhan, tetapi juga harus terikat nilai keberkahan, kebermanfaatan, dan keberlanjutan. Konsep ini bersumber dari maqashid syariah, yang tidak hanya berbicara tentang halal dan haram, tetapi juga fungsi sosial dari tindakan ekonomi.
Islam menekankan prinsip wasathiyah (keseimbangan) dalam berbelanja tidak boros, tidak kikir, dan tidak sekadar mengejar status sosial. Mal sebagai ruang belanja harus mulai menginternalisasi nilai ini.
Misalnya dengan memperluas zona halal lifestyle, menyajikan produk ethical dan ramah lingkungan, serta menghadirkan ruang edukasi konsumen tentang gaya hidup sehat dan berkualitas.
Lebih jauh, pengelola mal bisa bermitra dengan komunitas Islam, pelaku usaha berbasis nilai, serta lembaga sosial keagamaan, untuk menjadikan mal sebagai sumber pemberdayaan ekonomi umat.
Program literasi finansial syariah, inkubasi UMKM halal, hingga bazar komunitas bisa diintegrasikan sebagai strategi sosial-ekonomi baru.
Semua ini sejalan dengan maqashid syariah yang mengutamakan perlindungan jiwa (hifdz al-nafs), harta (hifdz al-mal), dan agama (hifdz al-din). Mal yang ramah keluarga, inklusif, dan mendukung pertumbuhan ekonomi berbasis nilai bukan hanya relevan secara bisnis, tetapi juga mendekatkan ruang konsumsi dengan misi ibadah sosial.
Transformasi mal urban hari ini menuntut lebih dari sekadar adaptasi. Ia memerlukan rekontekstualisasi nilai. Ketika simbol-simbol kapitalisme seperti mal bisa diperkaya dengan nilai spiritual, sosial, dan kultural, maka konsumen tidak hanya menjadi “pembeli”, tetapi juga pelaku peradaban baru.
Jika selama ini mal hanya diukur dari angka transaksi dan omzet tenant, maka sudah saatnya kita menambahkan ukuran baru: apakah mal berkontribusi pada literasi sosial, pertumbuhan komunitas, dan pembangunan nilai?
Perubahan tidak bisa dihindari. Tapi ia bisa diarahkan. Dan arah terbaik adalah yang menggabungkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan ke dalam ruang-ruang publik modern. Di sanalah letak strategi baru manajemen mal: bukan hanya menjual barang, tapi membangun makna.
***
*) Oleh : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya, dan Direktur Utama PT Riset Manajemen Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |