TIMES SURABAYA, SURABAYA – Momentum Natal setiap tahun selalu hadir di ruang publik Indonesia dengan wajah yang khas: perjumpaan. Perjumpaan antarwarga, antaridentitas, dan antaraktivitas ekonomi. Di titik inilah Natal tidak hanya dipahami sebagai peristiwa keagamaan, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang relevan dibaca lebih luas terutama dalam konteks bagaimana sebuah bangsa merawat kerukunan sekaligus menumbuhkan daya hidup wirausahanya.
Sebab dalam masyarakat majemuk, kerukunan bukan sekadar nilai moral, melainkan prasyarat ekonomi yang sering kita abaikan. Menghormati momentum keagamaan orang lain tidak berada di ranah keyakinan personal, melainkan merupakan cermin kedewasaan sosial dalam hidup bersama.
Toleransi bekerja di ruang relasi, bukan di wilayah iman masing-masing. Ia hadir sebagai etika kewargaan: kemampuan menjaga hati agar tidak mudah dipenuhi prasangka, menjaga lisan agar tidak melukai, serta menjaga ruang publik tetap menjadi milik bersama.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, sikap inilah yang menopang stabilitas sosial. Dari perspektif ilmu sosial, kerukunan bukanlah nilai abstrak yang berdiri sendiri. Ia adalah modal sosial aset tak kasat mata yang terdiri dari kepercayaan, norma bersama, dan jejaring sosial yang hidup.
Modal sosial menentukan sejauh mana masyarakat mampu bekerja sama, membangun solidaritas, dan menciptakan nilai kolektif. Ketika modal sosial kuat, perbedaan tidak berubah menjadi konflik, melainkan menjadi energi kolaboratif.
Dalam dunia ekonomi dan kewirausahaan, modal sosial memiliki peran yang sangat strategis. Aktivitas usaha tidak pernah berlangsung dalam ruang hampa. Ia tumbuh dalam ekosistem sosial yang membutuhkan rasa aman, kepercayaan, dan stabilitas. Kerukunan menurunkan biaya sosial dan biaya transaksi dua elemen yang jarang terlihat dalam laporan keuangan, tetapi sangat menentukan keberlanjutan usaha, terutama bagi pelaku UMKM.
UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional adalah sektor yang paling sensitif terhadap iklim sosial. Pedagang kecil, pengusaha kuliner, pelaku ekonomi kreatif, hingga wirausaha berbasis komunitas hidup dari interaksi sehari-hari.
Ketika ruang sosial dipenuhi ketegangan identitas, relasi bisnis menjadi kaku dan defensif. Namun ketika kerukunan terjaga, transaksi berlangsung lebih cair, kepercayaan tumbuh secara alami, dan peluang kolaborasi terbuka lebih luas.
Natal seperti juga momentum keagamaan lainnya memberi kita cermin penting bahwa ekonomi tidak hanya digerakkan oleh insentif material, tetapi juga oleh suasana batin kolektif. Kepercayaan publik tumbuh bukan semata karena kebijakan formal, melainkan karena konsistensi masyarakat dalam menjaga harmoni. Pasar yang sehat membutuhkan rasa aman; investasi membutuhkan stabilitas; wirausaha membutuhkan iklim sosial yang tidak mudah rapuh oleh isu-isu pemecah.
Teori kewirausahaan modern semakin menegaskan bahwa keunggulan kompetitif tidak hanya bersumber dari modal finansial atau teknologi, tetapi juga dari kemampuan membangun relasi lintas batas. Pendekatan berbasis jejaring (network-based entrepreneurship) menunjukkan bahwa inovasi sering lahir dari perjumpaan yang beragam. Keragaman, ketika dikelola dalam kerangka toleransi, justru memperkaya perspektif dan memperluas ruang inovasi.
Di sinilah toleransi menemukan relevansi strategisnya. Ia bukan sekadar sikap moral, tetapi prasyarat struktural bagi ekonomi kolaboratif. Wirausaha yang tumbuh dalam ekosistem sosial yang rukun cenderung lebih adaptif, lebih inklusif, dan memiliki orientasi jangka panjang. Sebaliknya, polarisasi sosial hanya akan melahirkan iklim usaha yang sempit, defensif, dan rentan terhadap guncangan.
Momentum Natal juga mengajak kita melakukan refleksi yang lebih dalam: apakah ruang publik kita rawat sebagai ruang bersama, atau justru kita biarkan menjadi arena klaim sepihak? Dalam dunia usaha, eksklusivisme sosial adalah jalan sunyi menuju stagnasi. Pasar tidak menyukai ketegangan yang tidak perlu. Konsumen, mitra, dan investor lebih memilih ekosistem yang tenang, rasional, dan beradab.
Karena itu, merawat kerukunan seharusnya dipandang sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi, bukan sekadar urusan moral atau simbolik. Negara, pelaku usaha, dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga iklim sosial yang meneduhkan melalui narasi publik yang inklusif, kepemimpinan yang menenangkan, serta praktik ekonomi yang menghormati martabat manusia.
Rekomendasinya jelas: pembangunan kewirausahaan tidak cukup hanya dengan pelatihan bisnis, inovasi teknologi, atau akses permodalan. Ia perlu disertai dengan penguatan nilai-nilai sosial yang menopang keberlanjutan. Toleransi, empati, dan kepercayaan bukanlah penghambat pertumbuhan ekonomi, melainkan fondasi yang membuat pertumbuhan itu kokoh dan tahan uji.
Merawat kerukunan berarti merawat masa depan ekonomi bangsa. Natal, dalam bingkai kebangsaan, mengingatkan kita bahwa harmoni sosial adalah energi sunyi yang menggerakkan banyak hal tanpa sorotan. Ketika hati terjaga, relasi terawat, dan ruang publik tetap teduh, di situlah wirausaha tumbuh bukan hanya besar secara ekonomi, tetapi juga matang secara peradaban.
***
*) Oleh : Heri Cahyo Bagus Setiawan, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Negeri Surabaya.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |