https://surabaya.times.co.id/
Opini

Banjir Sumatera sebagai Bencana Nasional

Rabu, 03 Desember 2025 - 20:55
Banjir Sumatera sebagai Bencana Nasional Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Bencana banjir dan longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sejak akhir November hingga 3 Desember 2025 telah meninggalkan duka yang mendalam. Sedikitnya 753 orang meninggal dunia, 650 orang masih dinyatakan hilang, sekitar 2.600 warga mengalami luka-luka, jutaan lainnya terpaksa mengungsi, dan jaringan infrastruktur strategis lintas provinsi lumpuh. 

Di tengah dampak bencana yang meluas tersebut, negara melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana masih menetapkan status peristiwa ini sebagai “bencana daerah”. Sikap ini secara wajar menimbulkan kegelisahan publik. Ketika wilayah terdampak telah melampaui batas administratif provinsi, serta mengganggu jalur logistik nasional, hingga melampaui kemampuan fiskal dan teknis pemerintah daerah, maka status bencana daerah layak dipertanyakan relevansinya.

Dalam perspektif hukum, penetapan status bencana bukan sekadar administrasi birokrasi, melainkan instrumen utama untuk mengaktifkan tanggung jawab penuh negara. Perdebatan ini tidak boleh dipersempit sebagai soal teknis penanggulangan, melainkan harus dibaca sebagai persoalan pelindungan hak warga negara dan ukuran sejauh mana negara benar-benar berpihak pada rakyatnya dalam situasi darurat.

Status Bencana dan Parameter Kewajiban Negara

Ketika ratusan korban jiwa telah berjatuhan, wilayah terdampak meluas lintas provinsi, dan beban penanganan secara nyata melampaui kapasitas daerah, penetapan status bencana seharusnya tidak lagi menjadi perdebatan birokratis. Namun justru di titik paling krusial inilah negara tampak masih bernegosiasi dengan istilah dan klasifikasi. 

Padahal, kerangka hukum penetapan bencana nasional telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 7 ayat (2) secara limitatif menetapkan lima indikator, yakni jumlah korban, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan wilayah terdampak, serta dampak sosial-ekonomi tanpa mensyaratkan angka kuantitatif tertentu, melainkan menegaskan satu ukuran utama: apakah kapasitas daerah telah terlampaui atau belum.

Jika dihadapkan pada realitas lapangan di Sumatra, seluruh indikator tersebut sesungguhnya telah terpenuhi. Ratusan korban jiwa berjatuhan, puluhan kabupaten dan kota terdampak, jalur lintas Sumatra terganggu, ribuan rumah dan fasilitas publik rusak, serta roda perekonomian masyarakat lumpuh. 

Bahkan, hingga hari-hari pascabencana, masih terdapat wilayah yang terisolasi dan sulit dijangkau bantuan. Secara yuridis, kondisi ini merupakan penanda bahwa beban penanggulangan telah melampaui daya dukung pemerintah daerah.

Pernyataan pemerintah bahwa “bencana nasional hanya pernah ditetapkan pada kejadian tertentu”, yang disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Suharyanto, dalam konferensi pers 28 November 2025, dengan merujuk pada tsunami Aceh 2004 dan pandemi Covid-19, sejatinya tidak dapat dijadikan dasar hukum yang mengikat. 

Preseden politik tidak sama dengan norma hukum. Hukum bekerja berdasarkan pemenuhan syarat objektif yang telah ditentukan oleh undang-undang. Ketika syarat itu terpenuhi, negara justru berkewajiban menaikkan status, bukan menahannya.

Dalam perspektif hukum tata negara, penetapan bencana nasional berkaitan langsung dengan kewajiban konstitusional negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. 

Negara tidak dapat berlindung di balik klaim “daerah masih mampu”, sementara fakta menunjukkan adanya pelemahan kapasitas fiskal daerah, keterbatasan alat berat, logistik, dan personel tanggap darurat. Dalam kondisi demikian, tanggung jawab secara otomatis beralih kepada pemerintah pusat.

Lebih jauh, status bencana nasional bukan hanya soal pembukaan kran pembiayaan APBN. Status ini juga memberikan legitimasi politik dan hukum untuk pengerahan penuh lintas kementerian dan lembaga, pembukaan akses bantuan internasional, serta pelaksanaan audit lingkungan, moratorium izin, dan penegakan hukum terhadap pihak-pihak yang diduga berkontribusi pada kerusakan ekologis. 

Dalam bencana di Sumatra, banjir bandang yang membawa gelondongan kayu dalam jumlah massif menandakan bahwa bencana ini tidak sepenuhnya berdiri sebagai peristiwa alam, melainkan berkelindan erat dengan praktik deforestasi dan eksploitasi sumber daya yang selama ini luput dari pengawasan serius.

Penetapan Bencana Nasional sebagai Instrumen Pelindungan Hak Warga

Dari sudut pandang hak asasi manusia, bencana bukan semata peristiwa alam, melainkan ujian terhadap kapasitas negara dalam memenuhi hak dasar warga, terutama hak atas hidup, tempat tinggal yang layak, rasa aman, serta akses terhadap bantuan dan pemulihan. 

Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, ribuan warga kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan anggota keluarga. Dalam situasi seperti ini, negara tidak cukup hadir sebagai koordinator bantuan, melainkan harus tampil sebagai penanggung jawab utama keselamatan warganya.

Penetapan bencana nasional memperkuat fungsi tersebut. Negara memperoleh dasar hukum yang lebih kokoh untuk mempercepat evakuasi, distribusi logistik, pemulihan layanan dasar, serta penataan ulang wilayah terdampak. Pada saat yang sama, negara juga memperoleh legitimasi untuk menegakkan hukum terhadap aktor-aktor yang diduga menyebabkan atau memperparah bencana melalui perusakan lingkungan.

Desakan masyarakat sipil dan sebagian anggota DPR agar status nasional ditetapkan sesungguhnya harus dibaca sebagai usaha untuk memulihkan fungsi negara dalam dua ranah sekaligus: kemanusiaan dan keadilan ekologis. Tanpa status nasional, audit lingkungan, penghentian izin bermasalah, serta penindakan terhadap kejahatan lingkungan akan selalu tersandera oleh alasan prosedural dan sektoral.

Dalam hukum dikenal asas salus populi suprema lex esto-keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Ketika keselamatan rakyat terancam secara masif dan lintas wilayah, maka pertimbangan fiskal, politik, dan citra pasar harus ditempatkan di bawah asas tersebut. Kehati-hatian fiskal tentu penting, tetapi tidak boleh mengalahkan kewajiban konstitusional negara untuk melindungi warga dalam keadaan bencana.

Implikasi Status Bencana Nasional

Lebih lanjut, penetapan bencana nasional akan sangat menentukan arah kebijakan pascabencana, khususnya dalam rehabilitasi dan rekonstruksi sebagaimana diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007. Tanpa status bencana nasional, pemulihan berisiko berlangsung parsial, lamban, dan timpang antarwilayah. 

Padahal, rekonstruksi bukan hanya membangun kembali rumah dan jembatan, tetapi juga memulihkan struktur sosial, ekonomi, dan ekologis masyarakat. Jika pemulihan dilakukan dengan skema darurat daerah semata, maka ketimpangan dan kerentanan baru justru akan tercipta.

Dalam konteks ini, tanggung jawab politik dan hukum berada pada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, karena secara konstitusional penetapan bencana nasional dilakukan melalui Keputusan Presiden. 

Presiden dapat dilihat pada Keppres Nomor 66 Tahun 1992 tentang Bencana Alam Flores, Keppres Nomor 112 Tahun 2004 tentang Tsunami Aceh–Sumatra Utara, Keppres Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Di Sidoarjo dan Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang pandemi Covid-19. Keputusan Presiden dalam konteks bencana bukan sekadar simbol administratif, melainkan penanda nyata sejauh mana negara bersedia hadir secara penuh bagi warganya yang sedang dilanda musibah.

Dari sudut pandang hukum, syarat objektif penetapan banjir Sumatra sebagai bencana nasional pada dasarnya telah terpenuhi. Menunda penetapan status tersebut justru berisiko melanggengkan penderitaan korban dan melemahkan instrumen negara untuk melakukan pemulihan secara menyeluruh. Maka dari itu, penetapan banjir Sumatra sebagai bencana nasional bukan sekadar layak dipertimbangkan, melainkan mencerminkan kewajiban konstitusional negara. 

Negara tidak boleh hadir setengah hati ketika rakyatnya menghadapi krisis yang mengancam hidup dan masa depan mereka. Jika keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, maka tidak terdapat alasan yuridis yang cukup kuat untuk menahan keputusan tersebut. Bagaimana Pendapat Anda?

***

*) Oleh : Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.