TIMES SURABAYA, SURABAYA – Dunia yang bergerak cepat pada modernitas, manusia kerap lupa bahwa fondasi kehidupan terletak pada cinta cinta kepada sesama, cinta kepada kehidupan, dan cinta kepada bumi. Namun realitas hari ini memperlihatkan paradoks yang menyedihkan: di tengah kemajuan teknologi dan melimpahnya informasi, relasi manusia dengan alam justru semakin menjauh.
Krisis iklim, deforestasi, polusi udara, hingga bencana hidrometeorologi yang semakin intens menjadi bukti bahwa cinta terhadap alam belum tertanam kuat dalam kesadaran kolektif. Di sinilah eco-teologi pemahaman teologis tentang hubungan manusia, Tuhan, dan alam memegang peran penting.
Ketika eco-teologi dipadukan dengan “kurikulum cinta”, maka pendidikan tidak hanya membentuk manusia yang pintar, tetapi juga manusia yang peka, peduli, dan penuh welas asih. Kurikulum cinta berarti mengajarkan nilai dasar kehidupan, dan ekoteologi memberi kedalamannya. Penggabungan keduanya menjadi ikhtiar untuk memulihkan relasi manusia dengan bumi yang selama ini terluka.
Ekoteologi berangkat dari kesadaran bahwa alam bukan sekadar objek produksi, tetapi bagian dari relasi spiritual manusia. Alam dipandang sebagai manifestasi kasih Tuhan ruang kehidupan yang diciptakan dengan harmoni. Banyak tradisi keagamaan menekankan bahwa mencintai ciptaan berarti menghormati Sang Pencipta.
Dalam kearifan lokal Nusantara, cinta pada alam telah hidup dalam petuah leluhur: dari konsep tri hita karana di Bali hingga filosofi sasi di Maluku yang mengajarkan jeda ekologis sebagai bentuk penghormatan terhadap kehidupan. Namun modernitas yang terlampau teknokratis membuat nilai-nilai spiritual ini terpinggirkan. Manusia lebih sibuk mengejar manfaat ekonomi daripada memelihara keseimbangan ekologis.
Ekoteologi mengajak kita kembali pada akar: bahwa cinta bukan hanya urusan perasaan antarmanusia, tetapi energi moral untuk menjaga bumi. Dalam konteks pendidikan, eco-teologi membantu siswa memahami bahwa setiap tindakan termasuk penggunaan teknologi harus selaras dengan etika cinta terhadap ciptaan.
Kurikulum cinta diperlukan karena pendidikan hari ini sering terjebak pada kompetisi, bukan empati; pada kecakapan kognitif, bukan kepedulian afektif. Murid diajarkan cara menguasai dunia, tetapi tidak diajarkan bagaimana merawatnya. Nilai cinta jarang dijadikan kompetensi pembelajaran, padahal ia adalah inti kemanusiaan.
Ketika cinta dijadikan kurikulum, pendidikan tidak lagi sebatas transfer ilmu, melainkan proses transformasi diri. Siswa tidak hanya memahami apa yang dipelajari, tetapi mengapa mereka harus peduli. Cinta dalam konteks ekologis berarti kesediaan untuk menjaga air, merawat pohon, mengurangi konsumsi berlebihan, dan hidup selaras dengan alam.
Kurikulum cinta menjadikan pendidikan sebagai ruang pembentukan karakter ekologis. Ekoteologi memberi dasar spiritual dan moral agar cinta tersebut tidak sekadar sentimental, tetapi terarah dan bertanggung jawab. Cinta yang dimaksud bukanlah romantisme, melainkan kesadaran mendalam bahwa keberlanjutan hidup manusia bergantung pada keberlanjutan bumi.
Bumi hari ini menghadapi krisis moral ekologis: manusia kehilangan rasa hormat terhadap alam. Eksploitasi sumber daya dilakukan tanpa empati. Deforestasi terjadi demi kapital, sementara polusi udara dianggap biaya tak terhindarkan dari pembangunan. Padahal, krisis lingkungan sesungguhnya adalah krisis cinta krisis keberpihakan terhadap kehidupan.
Jika manusia benar-benar mencintai bumi, tentu ia tidak akan merusaknya. Di sinilah kurikulum cinta menjadi jawaban. Ia mengoreksi paradigma dominan yang menempatkan manusia sebagai pusat dan alam sebagai alat. Cinta menempatkan kehidupan sebagai pusat, bukan kepentingan ekonomis.
Kurikulum cinta berbasis eco-teologi memberi pemahaman bahwa bumi adalah ruang suci yang harus dihormati. Nilai kesucian inilah yang hilang dalam narasi pembangunan modern. Pendidikan harus mengembalikan kesadaran itu, mengajarkan bahwa memetik buah tidak berarti menebang pohon, dan menggunakan air bukan berarti menguras sungai.
Integrasi ekoteologi dalam kurikulum cinta dapat dilakukan melalui beberapa strategi. Pertama, pembelajaran berbasis pengalaman langsung dengan alam. Siswa perlu diajak menyentuh tanah, menanam pohon, dan merasakan perubahan musim. Pengalaman pengalaman ekologis langsung menghidupkan cinta yang tidak bisa lahir dari teori semata.
Kedua, pembelajaran reflektif yang mengaitkan nilai spiritual dengan fenomena ekologis. Guru dapat mengajak siswa merenungkan hubungan antara doa dan kesadaran lingkungan, antara syukur dan konservasi, antara ibadah dan tanggung jawab ekologis.
Ketiga, integrasi nilai cinta dalam mata pelajaran lintas disiplin. Dalam sains, siswa dapat belajar tentang ekosistem sambil merenungkan tanggung jawab moral manusia; dalam bahasa, mereka dapat menulis esai tentang cinta kepada bumi; dalam seni, mereka dapat membuat karya yang mengangkat tema kelestarian.
Keempat, sekolah perlu menjadi model praktik cinta terhadap alam, mulai dari pengelolaan sampah, penghematan energi, ruang hijau, hingga kebijakan ramah lingkungan. Kurikulum cinta tidak akan efektif jika lingkungan pendidikan tidak mempraktikkannya.
Mendidik Cinta untuk Menjaga Masa Depan
Integrasi eco-teologi dan kurikulum cinta memiliki tujuan yang lebih besar: membentuk generasi yang mencintai kehidupan. Di masa depan, krisis ekologis tidak akan terselesaikan hanya dengan teknologi canggih atau kebijakan pemerintah. Ia membutuhkan manusia dengan hati yang peka manusia yang melihat bumi bukan sebagai objek melainkan subjek yang harus disayangi.
Kurikulum cinta adalah strategi membangun kesadaran itu sejak dini. Ketika siswa memahami bahwa bumi adalah rumah bersama, mereka akan tumbuh menjadi pemimpin yang lebih bertanggung jawab, wirausahawan yang lebih beretika, dan warga yang lebih peduli. Cinta adalah fondasi dari keberlanjutan. Ekoteologi memberi arah dan kedalaman spiritual pada cinta itu.
Pemahaman ekoteologi dalam kurikulum cinta adalah upaya mengembalikan pendidikan kepada tujuannya yang paling dasar: memanusiakan manusia. Di tengah dunia yang semakin individualistik dan kompetitif, cinta adalah kompas moral yang menuntun manusia agar tidak tersesat. Bumi yang kian rentan membutuhkan manusia yang mampu mencintai, bukan sekadar menguasai.
Dengan mengintegrasikan ekoteologi dan kurikulum cinta, kita membangun generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga welas asih; tidak hanya berprestasi, tetapi juga peduli; tidak hanya mencipta teknologi, tetapi juga merawat kehidupan. Di tangan generasi seperti itulah masa depan bumi dapat terjaga. Humanity must learn how to love again bukan hanya sesama, tetapi juga semesta.
***
*) Oleh : Ahmad Fizal Fakhri, S.Pd., Founder The Indonesian Foresight Research Institute, Assistant Professor at Uinsa, LP Ma'arif Jatim Book Writing Team.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |