https://surabaya.times.co.id/
Opini

Ketika Bencana Dijadikan Panggung Heroik

Minggu, 07 Desember 2025 - 23:44
Ketika Bencana Dijadikan Panggung Heroik Wildan Krisnarwanto Waranu Shany, S.I.Kom., M.I.Kom.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Bencana yang kembali menerjang Sumatera Utara dan wilayah sekitarnya seharusnya menyadarkan kita tentang satu hal penting: alam sedang berbicara keras, tetapi kita sibuk menutup telinga. Banjir bandang, tanah longsor, dan air bah bukan hanya fenomena geologis musiman. Ia adalah peringatan ulang tahun dari bumi kepada manusia yang tak kunjung belajar. 

Di balik lumpur yang mengubur rumah, di balik jeritan warga yang kehilangan keluarga, ada ironi yang terus berulang: bencana sering kali berubah menjadi panggung kepahlawanan para penguasa.

Tidak butuh waktu lama setelah bencana terjadi sebelum media sosial dan televisi menampilkan figur pejabat berseragam rompi kebencanaan, sepatu bot yang masih mengilap, serta pose menenteng walkie-talkie sambil membelah genangan air. Kamera mengular, narasi “pemerintah sigap menangani” memenuhi linimasa, dan framing penanganan pun dimulai. 

Publik disuguhi drama penanggulangan bencana, padahal hanya beberapa hari sebelumnya BMKG telah mengeluarkan peringatan dini tentang cuaca ekstrem dan potensi hujan lebat. Peringatan itu sudah jelas, tetapi tidak pernah berubah menjadi tindakan nyata.

Di sinilah persoalannya. Ini bukan sekadar isu teknis mitigasi yang kurang. Ini menyentuh persoalan komunikasi publik, relasi kekuasaan, dan hilangnya kesadaran ekologis yang dulu menjadi prinsip dasar leluhur Nusantara. 

Bila komunikasi publik dimaknai hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan, bukan sistem perlindungan warga, maka bencana akan selalu menjadi tontonan. Pemerintah terkesan lebih sibuk menyelamatkan citra daripada menyelamatkan rakyat.

Dalam studi komunikasi publik, pemerintah seharusnya menjalankan tiga fungsi penting: memproduksi informasi akurat, mendistribusikan makna yang membangun kesadaran publik, dan memastikan tindakan kebijakan berjalan efektif. Namun begitu bencana datang, yang lebih tampak justru fenomena disaster staging ketika bencana dijadikan panggung pencitraan. 

Kalimat “kami sudah mengantisipasi” atau “kami bekerja keras sejak awal” muncul seperti mantra yang diulang-ulang, padahal data mitigasi tak pernah dipublikasikan sepenuhnya dan instruksi preventif hampir tak terlihat. Antara retorika dan realitas, jurangnya terlalu jauh.

Sumatera Utara menjadi contoh tragis bagaimana rusaknya relasi manusia dan alam pada akhirnya menagih harga. Kawasan ini dalam tradisi spiritual Nusantara memiliki simbol penting: Malaka, Maliki, dan Maluku-konsep keseimbangan kosmis yang dibawa para ulama besar seperti Syekh Jumadil Kubro, Syekh Subakir, dan Syekh Ismail. Malaka bermakna pusat energi kehidupan, Maliki bermakna pengendalian diri dan kekuasaan, sedangkan Maluku bermakna keselarasan keragaman alam. 

Ketiganya mengajarkan bahwa alam hanya memberi kehidupan ketika manusia menjaga batasnya. Tetapi kini batas itu hilang. Hutan dibabat, sungai dipersempit, tambang ilegal merajalela, dan tanah serapan air disulap menjadi beton demi ambisi ekonomi.

Apa yang tersisa dari pesan para leluhur? Hanya puing dan sejarah. Padahal para pendiri peradaban Nusantara telah mengingatkan bahwa kerusakan alam adalah cermin kerusakan moral suatu bangsa. Ketika keserakahan menggantikan hikmah, ketika pembangunan mengalahkan keseimbangan, maka bencana bukan lagi risiko, melainkan keniscayaan.

Sebelum negara ini sibuk membangun panggung citra, nenek moyang kita sudah jauh lebih maju dalam etika ekologis. Majapahit tidak akan pernah menjadi kerajaan besar tanpa kemampuan mengelola lingkungan. Mereka menata ruang berdasarkan siklus air, membangun embung, menjaga hulu sungai, dan melarang pembukaan lahan sembarangan. 

Siklus alam dihormati, bukan dilawan. Prinsipnya sederhana: jika hulu rusak, hilir akan menanggung akibat. Ironisnya, ratusan tahun kemudian kita justru menjadi bangsa yang bangga pada teknologi, tetapi gagap membaca tanda alam yang paling dasar.

Peringatan BMKG seharusnya menjadi kompas kebijakan. Ketika prakiraan cuaca ekstrem dirilis, yang ditunggu publik bukan unggahan media sosial, tetapi kehadiran petugas lapangan untuk membersihkan sungai, memperkuat tanggul, mengevakuasi warga rentan, dan menutup jalur rawan. Namun pada praktiknya, peringatan dini hanya menjadi arsip digital. 

Ketika bencana benar-benar datang dan kamera berkumpul, barulah sirene berbunyi dan barulah narasi heroik dimulai. BMKG seolah dianggap tukang ramal, padahal mereka bekerja dengan data ilmiah yang akurat selama 24 jam.

Oleh karena itu, yang harus dibenahi bukan hanya sistem mitigasi, tetapi cara berpikir negara dalam mengelola komunikasi publik. Negara seharusnya hadir sebelum bencana, bukan hanya setelah bencana. Negara seharusnya membangun kepercayaan, bukan panggung citra. Dan negara seharusnya belajar dari tradisi lingkungan yang diwariskan leluhur, bukan mengulang ambisi keserakahan modern.

Tragedi Sumatera Utara adalah peringatan bahwa kita tidak boleh lagi menjadikan bencana sebagai etalase drama politik. Publik tidak membutuhkan pejabat yang datang menembus banjir untuk difoto. Publik membutuhkan pemerintah yang mencegah banjir sebelum terjadi. 

Jika penguasa sungguh peduli, maka dengarkan BMKG, pulihkan tata ruang, hentikan eksploitasi alam, libatkan masyarakat dalam edukasi lingkungan, dan kembalikan prinsip harmoni yang telah diwariskan para leluhur Nusantara.

Alam tidak pernah berbohong. Yang berbohong adalah manusia yang pura-pura peduli ketika kamera menyala. Jika pemerintah benar ingin membuktikan keberpihakannya, maka bencana harus dihentikan sebelum ia datang, bukan dipertontonkan setelah ia terjadi. (*)

***

*) Oleh : Wildan Krisnarwanto Waranu Shany, S.I.Kom., M.I.Kom. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.