https://surabaya.times.co.id/
Opini

Dari Konstitusi ke Panggung PBB

Selasa, 23 September 2025 - 17:35
Dari Konstitusi ke Panggung PBB Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Beberapa hari lalu, saya menyaksikan wajah seorang anak Palestina yang kelaparan di sebuah tayangan berita. Tubuhnya kurus, matanya sayu, namun tatapannya tajam menembus kamera seolah sedang bertanya kepada kita semua: “Di mana perdamaian yang kalian janjikan?”

Adegan itu menghantam nurani saya, tepat di saat dunia memperingati Hari Perdamaian Internasional (21 September) dengan tema tahun ini: “Act Now for a Peaceful World.”

Dunia sedang terjebak dalam pusaran kekerasan yang terus berulang. Perang di Gaza yang berujung pada krisis kemanusiaan, konflik Rusia–Ukraina yang belum juga mereda, ketegangan di Laut Cina Selatan yang mengancam stabilitas Asia Pasifik, hingga tragedi di Sudan, Yaman, dan Myanmar. Semua itu menambah daftar luka dunia, di tengah krisis lain seperti perubahan iklim, pandemi, dan kesenjangan ekonomi global.

Krisis Peradaban Abad Ke-21

Peradaban manusia kian maju dalam sains, teknologi, dan komunikasi. Namun kini, dunia menghadapi paradoks. Di sisi lain, intoleransi, konflik identitas, dan ketidakadilan justru semakin menajam.

Antonio Guterres, Sekjen PBB, menyebut kita sedang hidup di era “multipolar with multiproblems” dunia multipolar dengan banyak masalah sekaligus. Masing-masing negara besar sibuk mempertahankan pengaruh, sementara solidaritas global terkikis.

Filsuf Emmanuel Levinas pernah mengatakan bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab tak terbatas (infinite responsibility) terhadap wajah “yang lain”. Ketika seorang anak di Gaza mati kelaparan atau warga sipil Ukraina menjadi korban serangan rudal, itu bukan hanya masalah bangsa mereka, melainkan kegagalan kolektif kemanusiaan kita.

Di tengah kompleksitas itu, Institute for Economics and Peace (IEP) merumuskan delapan prasyarat untuk terciptanya situasi damai yang stabil: 1) Pemerintahan yang berfungsi dengan baik, 2) Lingkungan bisnis yang tertata baik, 3) Pembagian sumber daya yang adil, 4) Penerimaan terhadap hak orang lai, 5) Hubungan baik dengan tetangga, 6) Aliran informasi yang bebas, 7) Sumber daya manusia yang berkualitas, 8) Tingkat korupsi yang rendah. (M. Mas’ud Said, Pengantar Studi Konflik, Perdamaian dan Resolusi Konflik (2025) 135 – 139)

Kedelapan postulat ini menjelaskan bahwa perdamaian bukan sekadar “tiada perang”, tetapi sebuah ekosistem keadilan dan tata kelola. Sejalan dengan itu, African Peacebuilding Institute (2023) menambahkan enam langkah praktis merajut perdamaian: 1) Hidup dalam keadilan dan kasih sayang, 2) Mengakhiri budaya perang, 3) Menanamkan damai pada diri sendiri, 4) Membangun penghormatan atas kebudayaan, rekonsiliasi, dan solidaritas, 5) Hidup harmoni dengan alam, 6) Mempromosikan hak asasi manusia (M. Mas’ud Said, Pengantar Studi Konflik, Perdamaian dan Resolusi Konflik (2025) 140-141) .

Kedua kerangka ini saling melengkapi: yang satu struktural, yang lain kultural dan etis. Jika digabungkan, kita mendapatkan peta jalan perdamaian yang menyeluruh: dari sistem politik-ekonomi hingga budaya hidup sehari-hari.

Peran Indonesia: Sejarah dan Tantangan Baru

Sejarah mencatat bahwa Indonesia bukanlah bangsa yang pasif di panggung dunia. Bung Karno dalam pidato bersejarah di Sidang Umum PBB tahun 1960 menegaskan bahwa perdamaian bukanlah hadiah, melainkan perjuangan. Dari sana lahir peran aktif Indonesia dalam Gerakan Non-Blok, Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, hingga pengiriman pasukan perdamaian ke Kongo, Lebanon, dan Sudan.

Kita adalah negara dengan populasi Muslim terbesar, demokrasi terbesar ketiga, sekaligus kekuatan ekonomi menengah yang semakin diperhitungkan. Lebih dari itu, kita punya modal kultural: Pancasila, kearifan lokal musyawarah, serta tradisi pluralisme yang bisa menjadi model resolusi konflik.

Namun di tengah semua modal itu, pertanyaanny adalah apakah Indonesia hari ini masih konsisten mengemban amanat konstitusi untuk melawan penjajahan dan menegakkan perdamaian? Atau justru terjebak dalam diplomasi normatif tanpa keberanian politik?

Dimensi Internasional sebagai Misi Negara

Indonesia sesungguhnya telah memiliki fondasi moral dan konstitusional yang jelas untuk menjadi duta perdamaian dunia. Pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyatakan:

"kemerdekaan ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”

Lebih lanjut, tujuan negara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan tidak hanya sebatas melindungi rakyat Indonesia dan memajukan kesejahteraan dalam negeri semata, tetapi juga “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.”

Dari sini dua hal muncul secara normatif: (1) Indonesia memiliki legitimasi moral-konstitusional untuk bersuara dan bertindak pada ranah internasional; (2) pendekatannya harus selaras dengan nilai Pancasila Ketuhanan, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial sehingga cara bertindak itu harus bermoral (humanis) dan berkeadilan.

Dengan demikian, partisipasi Indonesia dalam diplomasi global bukanlah pilihan tambahan, melainkan bagian integral dari misi kenegaraan yang melekat dalam DNA konstitusi kita.

Momentum Pidato Prabowo di PBB

Tanggal 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan berpidato di Sidang Majelis Umum PBB di New York. Dari berbagai laporan, beliau akan menyoroti isu inklusivitas, kerja sama global, dan tatanan dunia yang lebih adil.

Pidato ini bukan sekadar kewajiban diplomatik tahunan, melainkan momentum sejarah. Dunia sedang mencari suara-suara moral yang berani dan konsisten. Sebagai presiden baru, Prabowo punya kesempatan untuk mempertegas posisi Indonesia, yang tidak sekadar “non-blok” dalam arti lama, tetapi pro-keadilan, pro-kemanusiaan, dan pro-perdamaian.

Dunia menunggu sikap Indonesia soal Gaza, soal multilateralisme, soal ketidakadilan global. Apakah kita akan berani menyebut bahwa genosida harus dihentikan? Apakah kita konsisten mengingatkan agar rivalitas blok besar tidak mengorbankan negara-negara kecil? 

Di titik inilah, pidato Prabowo bisa menjadi tonggak baru. Ia bisa melanjutkan warisan Bung Karno dan Gus Dur dalam diplomasi moral, sekaligus menegaskan bahwa Indonesia abad ke-21 siap menjadi jembatan perdamaian, bukan sekadar penonton sejarah.

Dari Retorika ke Perjuangan Nyata

Hari Perdamaian Dunia bukanlah ritual tahunan. Ia adalah panggilan bertindak. Bung Karno dalam Di Bawah Bendera Revolusi pernah menulis: “Perdamaian bukanlah berarti tiadanya perjuangan. Perdamaian adalah hasil dari perjuangan tiada henti menegakkan keadilan.”

Perdamaian sejati hanya bisa lahir dari keberanian menolak ketidakadilan, melawan penjajahan dalam segala bentuknya, dan membangun solidaritas lintas bangsa. Di sinilah peran Indonesia diuji.

Presiden Prabowo punya kesempatan emas. Jika ia mampu menjadikan konstitusi sebagai kompas, Pancasila sebagai moral, dan pengalaman sejarah Indonesia sebagai pijakan, maka pidato di PBB bukan hanya rangkaian kata-kata, melainkan sumbangsih nyata untuk perdamaian dunia.

Perdamaian bukan milik elit politik atau monopoli bangsa besar. Perdamaian adalah hak setiap anak yang berhak tertawa tanpa rasa takut, hak setiap keluarga yang ingin hidup tanpa teror bom, dan hak setiap bangsa untuk menentukan masa depannya tanpa penindasan. Act now for a peaceful world. Mulailah dari Indonesia.

***

*) Oleh: Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.