TIMES SURABAYA, SURABAYA – Ada keindahan tersendiri ketika konflik yang memanas tidak disiram dengan bensin, melainkan ditenangkan dengan air kebijaksanaan. Seperti embun yang jatuh perlahan di pagi hari, langkah Nahdlatul Ulama dalam merespons dinamika internalnya justru menghadirkan keteduhan. Kamis, 25 Desember 2025 atau bertepatan dengan 4 Rajab 1447 Hijriah, Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri menjadi saksi bagaimana NU memilih jalan paling beradab: musyawarah, mufakat, dan keluhuran akhlak organisasi.
Konflik internal PBNU yang sempat mengeras berawal dari perbedaan tafsir atas keputusan strategis di tingkat Syuriyah dan Tanfidziyah. Pemberhentian Ketua Umum PBNU oleh Rais ‘Aam melalui forum Syuriyah yang kemudian ditolak, menciptakan gelombang kegelisahan.
Dua arus besar seolah berhadap-hadapan, bukan sekadar soal prosedur organisasi, tetapi juga menyentuh rasa, marwah, dan kepercayaan jamaah. Dalam situasi seperti ini, NU yang selama ini dikenal sebagai jangkar moderasi dan penyangga keadaban bangsa dituntut membuktikan jati dirinya.
Namun NU bukan organisasi yang lahir dari emosi sesaat. Ia dibangun dari tradisi panjang keilmuan, kearifan pesantren, dan etika sosial yang berakar kuat. Di tengah potensi polarisasi, semangat tawassuth, tasamuh, dan i’tidal kembali menemukan relevansinya.
Para Mustasyar PBNU, seperti KH. Ma’ruf Amin, KH. Anwar Manshur, dan KH. Nurul Huda Djazuli, bersama para sesepuh dan pengasuh pesantren, bergerak bukan untuk menghakimi, melainkan merajut kembali benang yang nyaris kusut.
Serangkaian musyawarah digelar di berbagai pesantren bersejarah: dari Pondok Al-Falah Ploso Kediri, Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, hingga puncaknya Musyawarah Kubro di Lirboyo pada 21 Desember 2025. Forum ini dihadiri puluhan pengurus wilayah dan ratusan pengurus cabang dari seluruh Indonesia.
Yang menarik, musyawarah ini tidak berubah menjadi arena saling tuding. Ia justru menjadi ruang mendengar, ruang menunduk, dan ruang mengakui bahwa organisasi sebesar NU hanya bisa berdiri kokoh jika semua pihak mau menahan ego.
Puncak dari ikhtiar itu terjadi dalam Rapat Konsultasi Syuriyah PBNU bersama para Mustasyar di Lirboyo. Rais ‘Aam PBNU KH. Miftachul Akhyar hadir bersama jajaran Syuriyah, demikian pula Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf beserta jajaran Tanfidziyah. Tidak ada gestur konfrontatif, tidak ada suara yang meninggi. Yang hadir adalah kesadaran kolektif bahwa NU jauh lebih besar daripada kepentingan personal atau kelompok.
Dari forum inilah lahir keputusan yang patut diapresiasi sebagai langkah elegan dan bernyawa: Muktamar Ke-35 PBNU akan diselenggarakan secepat-cepatnya. Sebuah keputusan yang tidak melahirkan pemenang tunggal dan tidak pula menciptakan pihak yang kalah. Yang ada hanyalah kemenangan nilai-nilai dasar NU dan kemaslahatan jam’iyyah.
Keputusan ini menunjukkan kedewasaan organisasi. Konflik tidak diselesaikan dengan paksaan atau manuver sepihak, melainkan dikembalikan kepada mekanisme tertinggi yang diakui bersama: muktamar. Rais ‘Aam dan Ketua Umum PBNU sepakat bekerja sama dalam penyelenggaraannya, dengan melibatkan Mustasyar, sesepuh, dan para pengasuh pesantren dalam menentukan waktu, tempat, serta kepanitiaan. Inilah wajah NU yang sesungguhnya di mana kekuasaan tunduk pada musyawarah, dan musyawarah dilandasi hikmah.
Lebih dari sekadar keputusan organisatoris, langkah ini adalah pesan moral. Bahwa perbedaan pandangan bukan alasan untuk memecah, melainkan peluang untuk memperdalam kedewasaan. Bahwa cinta kepada NU tidak diukur dari seberapa keras suara kita, tetapi dari seberapa lapang dada kita menerima perbedaan.
Doa yang mengiringi keputusan ini terasa sederhana namun sarat makna: semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan, pertolongan, dan petunjuk-Nya kepada Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Doa ini bukan hanya penutup rapat, melainkan penanda bahwa NU tetap menempatkan nilai spiritual sebagai fondasi setiap langkah.
Dari Lirboyo, NU mengajarkan kepada bangsa bahwa konflik bisa diselesaikan tanpa kegaduhan, tanpa saling menjatuhkan. Bahwa jalan damai bukan tanda kelemahan, melainkan bukti kekuatan moral. Semoga Muktamar Ke-35 kelak menjadi titik tolak NU untuk melangkah lebih kokoh, lebih jernih, dan lebih bermakna dalam mengabdi kepada umat dan negara.
Insya Allah, NU akan baik-baik saja. Sebab NU adalah taman yang luas, tempat berbagai bunga tumbuh dengan warnanya masing-masing tanpa saling menutup cahaya, tanpa saling meniadakan keindahan.
***
*) Oleh : Imam Kusnin Ahmad, S.H., Wartawan Senior dan PW ISNU Jawa Timur.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |