TIMES SURABAYA, SURABAYA – Idul Adha tidak sekadar menjadi perayaan ritual keagamaan, melainkan juga momen kontemplatif yang kaya akan pelajaran moral dan spiritual, khususnya dalam hal kepemimpinan. Dalam konteks sosial dan politik yang sarat dengan krisis keteladanan, kisah Nabi Ibrahim menjadi refleksi yang amat relevan untuk meninjau ulang arah dan kualitas kepemimpinan hari ini.
Ketika figur publik kerap kehilangan kompas moralnya, nilai-nilai profetik dari kisah Ibrahim menjadi sumber cahaya dalam kegelapan tata kelola yang pragmatis.
Dalam tradisi Islam, kepemimpinan bukanlah sekadar posisi otoritas, melainkan perwujudan amanah ilahiyah yang dibebankan kepada manusia. Nabi Ibrahim, dengan ketundukan dan pengorbanannya kepada Tuhan, menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bersumber dari keimanan yang kokoh, keberanian moral, dan kesiapan untuk menomorduakan ego demi amanah yang lebih besar.
Inilah yang membuatnya diabadikan sebagai “imam” bagi umat manusia, bukan karena kekuasaan, tetapi karena kualitas jiwa dan konsistensi nilai.
Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim ketika diperintahkan menyembelih anaknya, Ismail, bukan hanya tentang kepatuhan terhadap Tuhan, tetapi tentang simbolisasi tertinggi dari tanggung jawab kepemimpinan.
Ia menunjukkan bahwa pemimpin harus mampu menanggalkan keterikatan pribadi, bahkan yang paling emosional sekalipun, demi menjalankan perintah moral yang lebih besar.
Pengorbanan bukan dimaknai secara literal semata, melainkan sebagai representasi dari pengendalian diri, prioritas terhadap kemaslahatan publik, dan kepemimpinan yang bertumpu pada ketulusan hati.
Dalam dunia modern, kepemimpinan seringkali terjebak dalam kalkulasi politik, retorika populis, dan kehausan akan citra. Ketiadaan integritas moral menjadikan banyak pemimpin kehilangan arah dan menjadi aktor kepentingan pribadi atau kelompok.
Kontras dengan itu, Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa seorang pemimpin sejati justru akan diuji pada titik-titik pengorbanan: apakah ia rela meninggalkan kenyamanan, kepentingan keluarga, dan bahkan ambisi diri, demi menegakkan nilai yang diyakininya benar.
Fenomena korupsi, manipulasi opini publik, dan lemahnya keberpihakan pada rakyat adalah gejala dari absennya kepemimpinan yang berakar pada nilai spiritual dan etika profetik. Dalam struktur sosial-politik saat ini, banyak pemimpin justru menjadi simbol ketidakadilan, bukan pelindung keadilan.
Dalam hal ini, refleksi dari kisah Ibrahim mengajarkan bahwa legitimasi pemimpin bukan hanya ditentukan oleh suara mayoritas, melainkan oleh kualitas amanah yang ia emban dan wujudkan.
Idul Adha menjadi titik balik untuk mengingatkan bahwa kekuasaan sejati bukanlah soal dominasi, tetapi pengabdian. Nabi Ibrahim tak pernah memerintah kerajaan besar, namun namanya tetap dikenang sepanjang zaman karena nilai-nilai pengabdiannya.
Ini menjadi pukulan telak bagi banyak pemimpin masa kini yang mengukur keberhasilannya dari kekuasaan formal, bukan dari kualitas moral dan spiritual yang ia pancarkan dalam tindakannya.
Kepemimpinan profetik, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim, mengedepankan prinsip transparansi, kejujuran, dan tanggung jawab. Ia tidak menyembunyikan keputusan kepada keluarganya, tetapi justru berdialog secara terbuka dengan Ismail.
Ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam kepemimpinan bukan hanya soal menyampaikan kebijakan, tetapi juga menciptakan ruang partisipatif, mendengarkan, dan menghormati pihak lain, termasuk yang dipimpinnya.
Lebih lanjut, keberanian Nabi Ibrahim untuk tetap melangkah meski menghadapi risiko kehilangan anak yang dicintainya menunjukkan bentuk integritas dan independensi pemimpin dari tekanan emosional.
Banyak pemimpin saat ini justru tunduk pada tekanan kelompok, elite politik, atau kepentingan pasar. Kepemimpinan sejati tidak tunduk pada tekanan, melainkan hanya kepada prinsip kebenaran.
Dalam konteks masyarakat modern yang plural dan kompleks, nilai-nilai kepemimpinan profetik ini menuntut aktualisasi dalam bentuk kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial, perlindungan terhadap yang lemah, dan keberpihakan pada nilai kebenaran, bukan kekuasaan.
Kepemimpinan yang dilandasi oleh nilai Idul Adha tidak akan pernah mengorbankan rakyat demi keuntungan elite, karena ia memahami bahwa setiap kebijakan adalah “sembelihan moral” yang harus dipertanggungjawabkan.
Momen Idul Adha juga mengajarkan bahwa setiap pengorbanan harus dilakukan dengan kesadaran spiritual, bukan sekadar formalitas atau simbolisasi kosong. Sayangnya, dalam banyak sistem politik, pengorbanan rakyat oleh pemimpin justru terjadi tanpa makna: PHK massal, kebijakan represif, penggusuran sepihak, semuanya terjadi tanpa empati. Dalam kisah Ibrahim, bahkan sembelihan pun dilakukan dengan penuh empati dan niat suci, tidak dengan arogansi kekuasaan.
Kepemimpinan dalam kerangka Idul Adha juga mencerminkan hubungan vertikal-horisontal: antara hamba dan Tuhan, serta antara pemimpin dan yang dipimpin. Ketika hubungan dengan Tuhan terjaga—dalam bentuk ketaatan, ketulusan, dan keberanian moral.
Maka relasi horizontal akan tercermin dalam bentuk keadilan, kepedulian, dan tanggung jawab sosial. Dalam hal ini, krisis kepemimpinan dewasa ini pada hakikatnya adalah krisis spiritualitas dan integritas.
Idul Adha bukan sekadar soal daging dan darah kurban, tetapi makna ketaqwaan dan kesalehan sosial. Pemimpin yang mengambil inspirasi dari Idul Adha akan sadar bahwa keagamaan bukan sekadar simbolisasi, tetapi harus teraktualisasi dalam bentuk pelayanan dan pengorbanan bagi publik. Dalam dunia birokrasi dan politik yang penuh kepura-puraan, nilai ini menjadi sangat revolusioner dan menantang status quo.
Krisis legitimasi politik yang terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia, sebagian besar disebabkan oleh keterputusan antara pemimpin dan nilai-nilai spiritual. Pemimpin dipilih bukan karena moralitasnya, melainkan karena popularitas, jejaring oligarki, atau mobilisasi uang.
Kepemimpinan Nabi Ibrahim mengajarkan bahwa keberkahan dalam memimpin datang bukan dari kekuatan eksternal, melainkan dari dalam: hati yang bersih, niat yang tulus, dan tindakan yang konsisten.
Pemimpin seperti Ibrahim tidak butuh propaganda untuk diakui, karena nilai dan jejaknya berbicara lebih keras daripada kata-kata. Di zaman yang dipenuhi pencitraan digital, kisah Ibrahim menyadarkan bahwa reputasi yang abadi tidak dibangun oleh algoritma media sosial, tetapi oleh komitmen etis dan keberanian untuk taat kepada prinsip meski berisiko. Inilah pemimpin yang bukan hanya memerintah, tetapi membimbing dan memberi makna bagi rakyatnya.
Dalam peristiwa Idul Adha, kepemimpinan juga diajarkan sebagai relasi pendidikan: Ibrahim mendidik Ismail dengan memberi ruang untuk berpikir dan mengambil keputusan. Kepemimpinan yang profetik adalah kepemimpinan yang tidak otoriter, tetapi mendidik, membuka dialog, dan membangun kesadaran kolektif. Ini menjadi tantangan bagi pemimpin masa kini yang cenderung membungkam suara rakyat atas nama stabilitas.
Nilai keikhlasan dalam kisah Ibrahim adalah nilai langka dalam peta kepemimpinan modern. Banyak pemimpin yang berkorban, tetapi dengan motif transaksional atau demi balas jasa politik.
Nabi Ibrahim tidak menuntut imbalan, tidak memanipulasi persepsi, dan tidak menukar kepatuhannya dengan popularitas. Ia berkorban karena keyakinan, bukan kalkulasi. Inilah esensi yang harus dihidupkan dalam kepemimpinan hari ini.
Lebih jauh, kepemimpinan profetik juga mengajarkan bahwa setiap keputusan membawa dampak spiritual. Nabi Ibrahim tidak melihat pengorbanan sebagai tindakan pragmatis, tetapi sebagai ibadah.
Kepemimpinan yang hanya melihat keputusan dalam kerangka politik atau ekonomi semata akan gagal melihat dampak moral dan spiritualnya. Inilah yang membedakan kepemimpinan biasa dari kepemimpinan yang bernilai ibadah.
Sebagai refleksi akhir, Idul Adha mengingatkan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia korbankan dan kepada siapa ia berkorban.
Nabi Ibrahim mengorbankan sesuatu yang ia cintai demi perintah ilahi, sedangkan banyak pemimpin modern justru mengorbankan nilai-nilai ilahi demi sesuatu yang mereka cintai: kekuasaan. Perbedaan orientasi ini menentukan apakah pemimpin akan dikenang sebagai teladan atau sebagai peringatan.
Maka, dalam suasana Idul Adha yang penuh perenungan ini, sudah saatnya para pemimpin menundukkan egonya, membuka ruang hatinya, dan belajar dari keteladanan Ibrahim.
Kepemimpinan bukan sekadar jabatan, tetapi panggilan suci yang menuntut kesediaan untuk berkorban, membimbing, dan membebaskan, bukan menindas atau memanipulasi. Idul Adha bukan hanya tentang apa yang dikurbankan, tetapi juga siapa yang berani menjadi pemimpin sejati.
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H!
***
*) Oleh : Moh. Sa’i Yusuf, Calon ketua PKC 2025-2027.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |