TIMES SURABAYA, SURABAYA – Di banyak ruang kehidupan, seni tradisional Indonesia kini hanya tinggal gema. Ia hadir sekadar sebagai dekorasi upacara, bukan lagi sebagai denyut hidup masyarakat. Gamelan tak lagi mengiringi musim panen, tarian rakyat tak lagi menjadi bahasa syukur, bahkan batik pun lebih sering dipakai tanpa dimaknai. Di balik keheningan itu, ada suara lirih para pegiat seni yang masih setia menjaga napas budaya dari kepunahan.
Dr. Moh. Ahsan Shohifur Rizal, M.Pd., Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya (UNESA), yang memandang kesenian tradisional tengah berada di fase kritis.
Dalam wawancara khusus bersama TIMES Indonesia, ia menyingkap betapa derasnya arus modernisasi dan budaya digital telah mengubah cara manusia memandang, merasakan, dan menghidupi seni.
Berikut petikan lengkap wawancaranya.
Pak Ahsan, bagaimana Anda memotret kondisi kesenian tradisional Indonesia saat ini di tengah derasnya arus modernisasi?
Saya mengamati bahwa kesenian tradisional pada fase kritis. Dikarenakan lalu lintas informasi dan modernisasi yang membuat perubahan begitu cepat. Kesenian tradisional seolah mulai tergeser sajianya oleh “pesona” serbaneka modernitas yang kini mulai bisa dinikmati kapan saja Dimana saja oleh siapa saja.
Dalam pelestarianya saya juga melihat ada praktik formal misalnya pelaksanaan festival atau even kesenian tradisional lainya, namun praksis kulturnya, praktik sehari-hari mulai melemah. Disebabkan modernisasi dan urban (bukan hanya urban sosial tetapi urban digital) yang sangat memengaruhi. Sehingga mengubah cara pandang konteks kesenian tradisional bukan dalam praksis kehidupan melainkan hanya sebuah tontonan.
Apa yang menurut Anda menjadi akar utama munculnya kesenjangan antara masyarakat modern dengan seni tradisional kita?
Yang jelas yang menjadi akar utamanya adalah perubahan cara pandang hidup hari ini. Dikarenakan sesuatu yang modern adalah yang utama, dan menilai tradisi adalah sesuatu yang sudah usang.
Selain itu, kurangnya ruang publik yang aksebilitasnya perlu diharmonisasi dengan berbagai lintas sektor dan integrasi teknologi agar tradisi (kesenian tradisional) mendapat ruang publik yang sekaligus sebagai cara pandang hidup dari sebuah tradisi.
Apakah perubahan nilai sosial di masyarakat turut memengaruhi cara pandang terhadap seni sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari?
Saya kira, adanya sebuah pergeseran cara pandang dalam menikmati seni. Seni bukan hanya menjadi falsaha hidup melainkan sebagai hiburan semata. Sehingga pengaruh konsumerisme tersebut menyebabkan hilangsa fungsi dedaktik sebuah kesenian dalam kehidupan.
Banyak kalangan muda yang menganggap seni tradisional sebagai sesuatu yang “antik” dan tidak relevan, bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Saya kira wajar saja jika ada yang menganggap seni tradisional itu sebagai sesuatu yang “antik” dikarenakan konteks yang dipersepsikan berbeda. Misalnya dari sisi Bahasa atau tema yang relevan dengan kaum urban (native digital), sehingga akan menemukan suatu harmonisasi atau relevansi antara seni tradisional dan kaum urban. Karena dengan pendekatan yang kreatif seni tradisional akan lebih mudah dinikmati oleh kaum urban dibandingkan hanya pada konservasi pasif.
Dalam konteks pendidikan seni, apakah kurikulum di sekolah dan perguruan tinggi sudah cukup mendukung regenerasi seniman tradisional?
Secara komprehensif mungkin belum ya, dikarenakan kurikulum masih banyak memberikan ruang seni sebagai mata Pelajaran tetapi kurang pada praksis lapangan atau lebih tetapnya kurangnya kolaborasi dengan komunitas budaya serta pembelajaran dalam konteks sosialnya
Bagaimana seharusnya lembaga pendidikan berperan dalam menjaga kesinambungan nilai dan praktik seni tradisi?
Lembaga pendidikan harus menjadi “wasilah” adanya magang di sanggar seni, riset aksi—parstisipasi dan meberi legitimasi akademik terhadap praktik seni tradisional. Serta memberikan akases pada seniman lokal, misalnya yang sudah dilaksanakan di kampus ada giat kuliah tamu yang dikemas dengan acara seniman lokal mengajar, jika di sekolah bisa sarasehan Bersama seniman dan lain sebagainya.
Apakah Anda melihat ada kesalahan paradigma dalam cara kita mengajarkan seni lebih fokus pada bentuk daripada makna?
Mungkin hal itu terjadi karena selama madih terdapat orang yang belajar seni hanya sebatas pada tekniknya saja cara menggambar, menari, atau memainkan alat musik tanpa memahami makna, sejarah, dan fungsi sosial di baliknya.
Padahal, pembelajaran seni akan jauh lebih bermakna kalau menggabungkan antara bagaimana caranya dengan mengapa hal itu dilakukan. Jadi, tidak hanya fokus pada keterampilan, tetapi juga memahami nilai dan konteks yang menjadi fundamentalnya.
Dalam pengalaman Anda di Fakultas Bahasa dan Seni UNESA, apakah minat mahasiswa terhadap kesenian tradisional mengalami penurunan?
Jika saya mengamati di fakulatas Bahasa dan seni UNESA, ada hal yang berbeda, mahasiswa di FBS tidak mengalami penurunan, dikarenakan saya mengamati di salah satu prodi justru geliat mengaktifkan Kembali nuansa kesenian tradisional dengan berbagai kegiatan yang digelar.
Jadi, bisa dikatakan minat itu tidak benar-benar hilang, melainkan berubah bentuk. Mahasiswa sekarang lebih suka mengekspresikan seni tradisi dalam format yang lebih kreatif dan modern.
Apakah perkembangan teknologi dan media sosial menurut Anda membantu promosi seni tradisi, atau justru menciptakan disrupsi nilai?
Sangat membantu, sosmed adalah salah satu piranti teknologi yang mampu menembus berbagai lapisan Masyarakat. Sekarang mudah tinggal pili sosmed apa saja, lalu klik kesenian tradisional maka akan diberikan berbagai pilihan dan tayangan baik yang live maupun yang tunda.
Bagaimana seharusnya seniman dan akademisi bersinergi agar seni tidak hanya dilestarikan secara formal, tapi juga dihidupi secara kultural?
Sudah zamanya saat ini kolaborasi, membentuk talian pentahelix, bukan hanya akademisi dan seniman tetapi lintas sektor supaya seni tidak hanya sebagai acara formal tetapi menjadi laku kehidupan dilapisan Masyarakat.
Banyak daerah memiliki festival budaya, tapi sering hanya bersifat seremonial. Bagaimana Anda menilai efektivitas kegiatan semacam itu terhadap pelestarian seni?
Saya kira hal itu sebagai Upaya yang baik, daripada tidak mengadakan hal semacam itu. Kegiatan itu adalah Upaya siapa tahu meskipun ada yang seremonial tetapi perlu dikemas yang filosofis ada tindak lanjut dari festival itu dan berdampak pada Masyarakat. Saya kira perlu adanya continuitas dalam sebuah festival yang berdampak.
Dalam pandangan Anda, apa perbedaan mendasar antara “melestarikan seni” dan “menghidupkan seni”?
Melestarikan bisa jadi menjaga bentuk missal artefak atau dokumen penting yang terkait. Tetapi menhidupkan seni, adalah salah satu cara memastikan agar seni terus bnerlanjut hidup dan berdampak serta memiliki fungsi pada masrayakat.
Apakah konsep ekonomi kreatif bisa menjadi solusi atau justru ancaman bagi keberlanjutan seni tradisional?
Saya kira ekonomi kreatif bisa menjadi Solusi dengan catatan tetap mempertahankan estetika, nilaim fungsi dan filosofi seni itu, bukan hanya mengarah pada keuntungan semata. Jika hal itu dilakukan maka keduanya akan berjalan dengan baik dan saling mutualisme pada keduanya.
Bagaimana Anda melihat peran pemerintah dalam kebijakan kebudayaan yang berpihak pada pelaku seni akar rumput?
Saya kira hal itu menjadi kebijakan yang baik, karena kearifan seni itu justru ada pada pelaku seni akar rumput. Sehingga pemerintah dapat memberikan pendanaan, infrastruktur dan pendidikan komunitas, perlindungan hak kebudayaan, serta penghargaab atas karya intelektual seni mereka secara keberlajutan. Intinya pemerintah harus terus memfasilitasi mereka dengan manajemen yang baik, insyallah kesenian akan tetap hidup dan Lestari.
Menurut Anda, apakah dunia akademik sudah cukup berperan dalam mendokumentasikan, meneliti, dan mengarsipkan seni tradisi daerah?
Saya kira sudah signifikan. Peran akademisi dalam mendokumentasikan, meneliti, dan mengarsipkan seni tradisi daerah telah dilakukan diberbagai riset-kolaboratif, hibah, kuliah tamu, kuliah pakar dan lainya.
Seberapa penting revitalisasi nilai-nilai filosofis dalam seni tradisi dibanding sekadar inovasi bentuk dan gaya?
Keduanya memiliki fungsi masing-masing. Nilai filosofis ibarat jangkar. Tanpan nilai filosofi maka inovasi hanyalah “hiasan” semata yang kurang bermakna. Sehingga jangkarnya harus kuat, karena zaman akan terus berubah, jika jangkaarnya kuat maka adaptasi dan inovasi akan berdampak dan bermakna.
Dalam konteks globalisasi, apakah seni tradisional Indonesia masih punya daya saing dan nilai jual budaya di dunia internasional?
Punya, seni tradisional Indonesia memiliki orsinilotas, nilai dan fungsi sosial sesuai dengan konteksnya.
Apa refleksi pribadi Anda tentang hubungan antara seni, spiritualitas, dan identitas bangsa di era modern ini?
Bagi saya, seni, spiritualitas dan identitas bangsa adalah trilogy yang harus Bersatu dan jangan dipisahkan, seni lahir karena sensifitas batin manusia, disitulah sebenarnya spiritualitas berkeja dengan epik, sehingga memberikan “nyawa” pada karya seni. Dan identitas bangsa hadir dan berkembang dari perjalanan batin (suluk) yang diekspresikan melalui karya seni.
Jika generasi muda hari ini ingin berperan menghidupkan kembali seni tradisi, langkah apa yang paling mendesak dilakukan?
Mulai terlibat secara langsung, dengan menarasikan Bahasa seni sesuai dengan zamanya tanpa kehilangan jangkar filosofinya. Selain itu, harus jejaring pentaheli. Kuncinya bukan hanya melestarikan tetapi mengarah pada menghidupkan makna sehingga seni berdampak pada Masyarakat.
Terakhir, apa pesan Anda bagi para akademisi, budayawan, dan masyarakat agar kesenian tradisional tidak hanya dikenang, tetapi terus dihidupi?
Hidupkanlah seni tradisi dengan akal sehat, bukan hanya nostalgia semata.
Bagi akademisi, terus lakukan riset dan dokumentasi. Lalu serwunglah dengan para komunitas pegiat seni, agar menjadi ekosistem bagian dari budaya mereka.
Bagi budayawan, inovasi adalah piranti kunci namun jangan sampai kehilagan filosofi jangkar yang kuat nilai, fungsi dan sosialnya. al-Muhafazhah 'alal Qadimish Shalih wal Akhdu bil Jadidil Ashlah, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik.
Bagi Masyarakat seni jadikanlah tuntunan bukan hanya tontonan. Terutama generasi muda jadikanlah senin tuntunankarena itu cara kita mengenali jati diri dan menghargai warisan leluhur.
Kalau seni tradisi terus dihayati, diaplikasikan-aktualisasikan, dan diwariskan dengan cinta, Insyallah, seni tradisi itu tidak akan pernah mati. Sebab sejatinya, seni tradisi hidup selama masih ada “gelora hati” yang mau menghidupkannya.(*)
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |