TIMES SURABAYA, SURABAYA – Mahasiswa Seni Rupa Universitas Negeri Surabaya (Unesa) kembali menggelar Pameran Internasional Sengkuni ke-7 pada 13-17 November 2025 di Gedung T3 FBS Unesa.
Pameran seni tahunan ini mengusung tema Harmoni dan menghadirkan karya dari seniman dalam maupun luar negeri. Mulai dari lukisan, patung, hingga instalasi, seluruh karya hadir sebagai upaya membaca ulang hubungan antara manusia, sejarah, dan masa depan.
Tema tersebut menawarkan ruang kontemplasi yang terbuka. Melalui karya visual, arsip, suara, hingga eksperimen artistik, pameran ini tidak hanya menjadi etalase seni, tetapi juga ruang berpikir bersama.
Pengunjung diajak mempertemukan masa lalu, masa kini, dan masa depan untuk menyusun ulang potongan sejarah, menimbang realitas hari ini, sekaligus membayangkan masa depan yang lebih manusiawi. Di dalam ruang pamer, pertanyaan-pertanyaan dibiarkan tumbuh tanpa harus segera diberi jawaban, sebab harmoni justru hadir dari keberanian mendengar perbedaan.
Di antara rangkaian karya yang sarat gagasan, hadir pula satu ruang yang memberi warna berbeda, Kidz Gallery. Bagian ini memamerkan karya-karya anak-anak dengan warna-warna mencolok dan garis spontan yang membuka napas baru di tengah tema besar Harmoni. Kesegaran visual itu membuat pengunjung melihat sisi lain dari gagasan keberagaman bahwa, harmoni juga bisa tumbuh dari imajinasi yang polos.
Salah satu pengunjung, Safier, menyebut ruang ini sebagai pengalaman yang paling membekas.
“Kidz Gallery itu yang buat saya nostalgia. Rasanya seperti balik ke masa kecil, masa di mana kita bebas berekspresi tanpa takut salah,” ujarnya.
Pendekatan yang merangkul beragam perspektif, dari eksperimen seniman dewasa hingga imajinasi anak-anak yang membuat pameran ini mencoba melihat perbedaan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai fondasi kesadaran kolektif.
Dalam dunia yang kerap membenturkan perbedaan, Harmoni ingin mengajak pengunjung untuk kembali merawat keberagaman dan menghargai para pahlawan, baik yang tercatat sejarah maupun mereka yang menjaga kehidupan sehari-hari.
Koorprodi Pendidikan Seni Rupa Unesa, Fera Ratyaningrum, melihat pameran ini sebagai wadah bertemunya lintas gagasan.
“Kami berharap ruang ini menjadi kolaborasi berkelanjutan. Jejaring internasional tumbuh bukan hanya lewat karya, tapi lewat keberanian mendengar yang berbeda,” ujarnya.
Pandangan serupa datang dari kurator pameran, Dimas Tri Pamungkas, yang memposisikan tema Harmoni sebagai sesuatu yang dinamis.
“Kita hidup di tengah kebisingan sosial, politik, dan budaya. Justru lewat kebisingan itu kita bisa mendengar kembali suara pahlawa, baik yang monumental maupun yang tidak pernah disebutkan,” tuturnya.
Baginya, pameran ini mengingatkan bahwa kehidupan sehari-hari pun menyimpan kepahlawanan kecil yang kerap terlewatkan.
Dengan rangkaian karya lintas negara dan lintas medium, Sengkuni #7 hadir tidak hanya sebagai ajang pamer, tetapi sebagai ruang dialog. Ia merangkul ingatan, perbedaan, dan keberagaman, sekaligus membuka percakapan baru tentang bagaimana seni membantu kita membaca dunia yang terus bergerak. (*)
Pewarta : Luluk Listiani (MG)
| Pewarta | : Siti Nur Faizah |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |