TIMES SURABAYA, SURABAYA – Di tengah hiruk pikuk arus informasi yang melaju tanpa jeda, pendidikan moral anak-anak kita menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Media sosial yang tak tersaring, konten instan yang menumpulkan sensitivitas.
Budaya kompetisi yang sering kali mengabaikan etikasemua ini membentuk lanskap baru yang begitu keras bagi tumbuh kembang karakter. Dalam kondisi seperti inilah, keteladanan guru sering kali menjadi jangkar terakhir yang menahan akhlak generasi agar tidak hanyut lebih jauh.
Pada titik tertentu, kita harus mengakui bahwa ruang-ruang moral dalam keluarga modern semakin tergerus. Orang tua yang bekerja sepanjang hari tidak selalu punya waktu memadai untuk mendampingi perkembangan karakter anak. Sementara masyarakat yang kian pragmatis cenderung menilai keberhasilan sebatas pencapaian akademik.
Celah inilah yang justru meminta guru mengemban tugas moral lebih besar daripada sekadar menyampaikan kurikulum. Guru hari ini bukan hanya penyampai ilmu; mereka adalah representasi nilai, penjaga integritas, sekaligus pengarah kompas etika siswa.
Namun menjadi teladan di tengah dunia yang semakin banal bukan pekerjaan ringan. Guru dipaksa untuk selalu tampil sabar di ruang kelas yang penuh tekanan, tampil tegar meski gempuran kritik tak selalu adil, dan tampil profesional meski beban administratif semakin menumpuk.
Hal-hal ini membentuk paradoks besar: guru dituntut menjadi pelita moral, tetapi sering kali dibiarkan berjalan di lorong yang gelapminim penghargaan, minim perlindungan, dan minim dukungan.
Padahal, sejarah panjang pendidikan Indonesia telah menunjukkan bahwa keteladanan selalu lebih kuat daripada kata-kata. Ki Hadjar Dewantara tidak hanya mengajar melalui tulisan dan sistem pendidikan yang ia bangun; ia mengajar melalui hidupnya.
Kesederhanaan, keberanian, dan pengabdiannya adalah pelajaran yang jauh lebih bernilai bagi murid-muridnya. Dari tokoh itulah kita belajar bahwa guru yang menghadirkan tindakan sebagai pengikat pengetahuan akan memberikan dampak moral yang mengakar pada peserta didik.
Di ruang kelas, anak-anak lebih cepat meniru daripada mendengarkan. Mereka belajar lebih cepat dari gestur guru yang meminta maaf ketika terlambat, dari guru yang mengakui kesalahan ketika lupa materi, dari guru yang tetap adil ketika menghadapi murid dengan latar belakang berbeda.
Keteladanan-keteladanan kecil seperti inilah yang sering kali menjadi fondasi etika yang paling kokoh bagi generasi muda. Sementara ceramah moral tanpa contoh hanya akan menguap sebagai wacana.
Sayangnya, ruang bagi guru untuk menjadi teladan semakin sempit. Pendidikan kini dibanjiri oleh standar, penilaian, dan indikator yang sering kali lebih kaya angka daripada makna. Banyak sekolah lebih sibuk mengejar ranking kompetisi atau akreditasi, alih-alih menanamkan karakter secara konsekuen.
Guru, dalam lanskap seperti ini, cenderung diarahkan menjadi operator administrasi, bukan fasilitator keteladanan. Padahal moralitas tidak tumbuh dalam laporan atau lembar verifikasi; moral tumbuh dalam interaksi manusia.
Melihat situasi tersebut, kita perlu menggeser kembali fokus pendidikan: dari sekadar pengajaran menjadi penanaman nilai. Dan dalam proses ini, guru harus diberi tempat yang bermartabat. Guru yang dihormati akan lebih leluasa menabur keteladanan.
Guru yang dilindungi akan lebih percaya diri menegakkan etika. Guru yang dicukupkan secara layak akan lebih berkonsentrasi menjalankan perannya. Keteladanan hanya bisa tumbuh dalam ruang aman; maka negara, masyarakat, dan lembaga pendidikan perlu menciptakan ruang aman itu.
Selain itu, kurikulum sekolah perlu kembali memulihkan posisi moralitas sebagai inti dari pendidikan. Pelajaran karakter tidak cukup disajikan sebagai mata pelajaran tersendiri; ia harus mengalir di setiap interaksi, di setiap aktivitas pembelajaran, dan di setiap keputusan sekolah. Ketika sekolah menjadi ruang yang penuh integritas, guru akan lebih mudah memancarkan keteladanan tanpa merasa bertarung sendirian.
Namun peran masyarakat juga tidak kalah penting. Kita tidak bisa terus-menerus menuntut guru menjadi teladan moral jika rumah dan lingkungan sosial justru memberikan contoh yang bertolak belakang.
Media harus lebih selektif dalam menyajikan konten yang dapat diakses anak-anak. Orang tua perlu memberi ruang dialog agar anak tidak hanya memahami nilai, tetapi juga merasakannya. Ketika lingkungan bersama-sama mendukung, keteladanan guru akan lebih mudah berakar.
Karena pada akhirnya, pendidikan adalah sinergi antara rumah, sekolah, dan masyarakat. Namun dalam ekosistem yang tidak ideal sekalipun, guru sering kali menjadi satu-satunya pihak yang masih konsisten menjalankan fungsi moral.
Di tengah kondisi keluarga yang retak, di tengah lingkungan sosial yang bising, di tengah nilai-nilai yang bergeser, figur guru hadir sebagai jangkar yang menguatkan anak-anak untuk tetap memegang prinsip.
Begitu besar peran itu, sehingga kita perlu menempatkan guru sebagai figur strategis dalam pembangunan karakter nasional. Jika generasi unggul adalah tujuan bangsa, maka keteladanan guru adalah modal paling penting yang tidak dapat diganti oleh teknologi, kurikulum digital, atau kecerdasan buatan. Sebab karakter tidak lahir dari data; karakter lahir dari hubungan manusia yang autentik.
Pada momentum Hari Guru, kita diingatkan kembali bahwa keteladanan tidak pernah kehilangan relevansinya. Di tengah dunia yang terus berubah, guru tetap menjadi jangkar moral generasi.
Jangkar yang senyap, tetapi bekerja. Jangkar yang sederhana, tetapi menguatkan. Jangkar yang tidak selalu terlihat, tetapi menentukan arah perjalanan bangsa. Selama negeri ini masih memiliki guru-guru yang hidup dalam keteladanan, sesungguhnya kita masih punya harapan. (*)
***
*) Oleh : Angga Saputra, S.Pd., Guru SD Labschool UNESA 1.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |