TIMES SURABAYA, SURABAYA – Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim) berkomitmen dalam pemberantasan tindakan antirasuah. Salah satu sistem penganggaran yang kerap menjadi momok adalah penyaluran dana hibah.
Jatim sempat diterpa gurita korupsi pengelolaan dana hibah kelompok masyarakat (pokmas) APBD Pemprov 2021-2022.
Kasus ini menyeret nama-nama anggota legislatif serta pihak swasta. Pada APBD 2026, Pemprov dan DPRD Jatim sepakat memperketat proses verifikasi dan memangkas besaran dana hibah tersebut. Nilainya belum digedok. Yang utama, Jatim terus berbenah mengembalikan citra diri.
"Ini menjadi pekerjaan rumah semenjak kasus (korupsi dana hibah, red) tersebut, kita melakukan perubahan besar-besaran atau reform tentang rancangan anggaran. Kita kembalikan lagi kewenangan dan mekanisme yang sebenarnya," ungkap Sekretaris Daerah Provinsi Jatim Adhy Karyono di Kantor Inspektorat Provinsi Jawa Timur, Jalan Raya Juanda, Kamis (25/9/2025).
Perubahan mekanisme ke depan antara lain mengurangi nilai hibah aspirasi dan mengantisipasi penyaluran dana hibah pokmas secara ketat melalui verifikasi lebih detail hingga ke lapangan.
"Sekarang kita menggunakan aplikasi ABAH, anggaran hibah Jawa Timur akan bisa kelihatan," katanya usai acara seminar "Pencegahan Tindak Pidana Korupsi di Pemerintah Provinsi Jawa Timur” yang diselenggarakan Dinas Komunikasi dan Informatika Jatim di Kantor Inspektorat Provinsi Jatim.
Dalam aplikasi ABAH Jatim, pokmas yang mengajukan sebagai penerima anggaran dana hibah langsung bisa terlihat. Aplikasi ini juga bisa diakses publik.
Ada keterangan meliputi proporsional anggaran, indeks capaian, serta hasil dari pengelolaan dana hibah tersebut. Sebuah terobosan penting yang mempercepat layanan serta menjamin transparansi penggunaan anggaran.
"Semangatnya sama dengan dewan, menyadari bahwa ini adalah sensitif, maka bersama-sama...em.. sebenarnya mekanisme itu (hibah, red) sebenarnya tidak masalah," ucap Adhy.
"Hasil rapat kami dengan seluruh OPD dan Komisi di KPK, (hibah, red) itu adalah mekanisme, kalau diberikan kepada organisasi masyarakat yang membutuhkan, ya memang mata anggaran menggunakan hibah, nggak ada lagi," tandasnya.
Secara mekanisme, dana hibah memang tidak bisa dihilangkan dari daftar alokasi APBD Pemprov. Paling penting adalah bentuk nyata hibah tersebut benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
"Kita sekarang mengarahkan untuk benar-benar program-program pilihan dari anggota dewan, program yang pro rakyat, yang berdampak, seperti beasiswa, bantuan rumah, alsintan dan sebagainya," tuturnya.
"Kita sudah banyak berubah, mudah-mudahan stigma bahwa dana hibah itu tidak memberi manfaat (bisa berubah, red), dan Insyaallah dengan pengawalan dari Inspektorat kemudian dari KPK, kita juga minta membuat surat pendampingan dari KPK, dan yang terlebih sebetulnya kita ingin bilang, anggota dewan sudah banyak yang berubah, dan ingin bersama-sama menunjukkan bahwa program yang dikucurkan akuntabel, transparan, dan dapat dirasakan masyarakat," katanya.
Di sisi lain, Pemprov Jatim juga mengalokasikan anggaran untuk Inspektorat agar perannya semakin maksimal dan super power dalam mengkoordinasikan semua pejabat OPD maupun legislatif.
Terlebih, Adhy Karyono menyebut, birokrasi di Jatim sudah menunjukkan performa yang baik. Hal ini dibuktikan dengan capaian 94 persen pada pendekatan Monitoring, Controlling, Surveillance for Prevention (MCSP). Namun, ia menyoroti perlunya peningkatan pada integritas internal.
”Sistem MCSP kita sudah sangat baik, mencapai 94 persen. Ini artinya birokrasi layanan publik dan digitalisasi kita sudah optimal,” katanya.
Kendati demikian pihaknya, menilai integritas internal masih tertinggal dibandingkan eksternal karena kurangnya edukasi.
Adhy berharap sosialisasi seperti hari ini akan meningkatkan kesadaran ASN dan mendorong mereka untuk berkolaborasi dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi A Dedi Irwansa memastikan, legislatif akan terus menjadi bagian instrumen yang mendorong aksi pemberantasan korupsi. Dana hibah misalnya, ia tak memungkiri masih menjadi topik pembicaraan yang sangat sensitif.
Dedy mengungkapkan, bahwa anggaran hibah tetap dibutuhkan. Ia menganalogikan kasus korupsi dana hibah 2021-2022 kemarin seperti jalan raya yang dilewati oleh banyak orang, dan kemudian ada kecelakaan.
"Apakah jalan ini harus ditutup? Logika saya itu saja," ujarnya.
"Tetapi, bagaimana proses pengawasannya, kita perkuat mulai dari prosesnya sampai kemudian pelaksanaan kita menggunakan pengawasan pentahelix," sambung Dedy.
Pengawasan yang dilakukan melalui aplikasi ABAH dinilai sudah tepat. Jika ada lembaga yang sudah pernah mengajukan dana hibah, tidak bisa masuk untuk mengajukan lagi. Begitu pula bagi lembaga yang mendapat catatan khusus. Aplikasi secara otomatis akan menolak pengajuan.
"Kita minta ini ada supervisi, termasuk tadi ada Komite Aplikasi Daerah. Kita mau kerja sama semua, sehingga image Pemprov Jatim kaitan tiga tahun lalu itu, pelan-pelan kita perbaiki bersama," jelasnya.
"Kami sadar betul bahwa teman-teman (media, red) melihat kami ini pokok e uelek tok (pokoknya jelek semua, red). Tapi kita tidak mau seperti itu, kita akan berupaya semaksimal mungkin," tandasnya.
Kepala Inspektorat Provinsi Jatim Hendro Gunawan di momen itu mengatakan, akan pentingnya pencegahan dini dalam kasus korupsi.
“Pemerintah dan masyarakat harus proaktif dalam mencegah korupsi. Kita diingatkan dan diberi contoh praktik terbaik agar semua pihak bisa berpartisipasi aktif ke depannya,” kata Hendro.
Oleh karena itu, Pemprov Jatim mengambil langkah proaktif dalam memerangi korupsi dengan memperkuat sistem pencegahan melalui sosialisasi nilai-nilai integritas kepada jajaran ASN. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Jatim Perketat Dana Hibah 2026, Nilai Menurun, Verifikasi Lewat Aplikasi ABAH
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Deasy Mayasari |