TIMES SURABAYA, SURABAYA – Ketua Komite SMAN 15 Surabaya sekaligus Ketua Penasehat Forum Ketua Komite Sekolah (FKKS) SMAN/SMKN Kota Surabaya, Basa Alim Tualeka, menyikapi kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, menghapus UN atau Ujian Nasional.
Seperti diketahui, mulai 2021 siswa tidak lagi harus berjibaku dengan ujian akhir pendidikan. Menteri Nadiem telah memutuskan UN 2020 menjadi yang terakhir.
Ujian nantinya akan diselenggarakan sekolah masing - masing. Tidak ada lagi soal jangkar dari Mendikbud. Sekolah memiliki kewenangan meluluskan siswanya.
Bisa berbentuk tes tulis atau portfolio seperti penugasan. Kebijakan ini diambil dengan alasan, anggaran Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dapat dialihkan untuk pengembangan kapasitas guru.
Dr Basa Alim Tualeka, Ketua FKKS, mengatakan, jika kebijakan pemerintah tersebut seyogyanya didukung. Namun, ia menyayangkan setiap pergantian menteri membawa kebijakan baru.
"Sehingga sistemnya selalu berubah-ubah," kata Alim, saat ditemui TIMES Indonesia, Jumat (13/12/2019).
Karena secara otomatis perubahan kebijakan bukan hanya dalam proses belajar mengajar, namun juga menyasar pengadaan barang dan biaya sekolah.
"Nah, jadi menyita waktu untuk merubah juga," tandasnya.
Ia menambahkan, kebijakan penghapusan UN selama tidak menimbulkan persoalan baru di daerah adalah hal yang wajar. Namun, jika kebijakan itu dibuat oleh pusat tanpa koordinasi dengan kebijakan pemerintah daerah dikhawatirkan justru akan menimbulkan persoalan baru.
"Harapnya harus disiapkan sejauh mungkin," sambung Alim.
Terlebih, UN 2020 merupakan penyelenggaraan terakhir. Tahun depan, UN bakal dirubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter. Mengacu praktik level internasional PISA dan TIMSS.
Padahal, Alim menegaskan, ujian bagi siswa itu perlu dilakukan, untuk mengukur kualitas dan kuantitas siswa.
Jika tidak ada lagi ujian nasional di tingkat SMA/SMK maka harus ada kebijakan dari pemerintah provinsi setempat. Sedangkan untuk tingkat SD/SMP didukung kebijakan pemerintah kabupaten/kota.
"Perlu didukung kebijakan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota apa yang harus dilakukan untuk menjadi alat menguji siswa," imbuh dosen yang aktif mengajar di Pasca Sarjana Universitas Widya Kusuma (UWK) Surabaya ini.
Sehingga, harapannya kebijakan tersebut tidak menimbulkan efek domino. Sebab selama ini nilai ujian dikaitkan dengan standar penerimaan siswa. Jangan sampai sekolah meloloskan semua karena penilaian kuantitatif.
"Maka harus ada lagi kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat atau perguruan tinggi masing - masing. Bagaimana menerima siswa dari SMA/SMK ke perguruan tinggi," katanya.
Alim kembali menegaskan, kebijakan Menteri Nadiem Makarien seharusnya tidak sekedar menyoroti pendidikan umum saja. "Bagaimana dengan sekolah agama, seperti madrasah, pondok pesantren, kalau sekedar lulus ya silahkan tapi harus ada alat untuk membuat standarisasi kelulusan meski itu dilakukan di sekolah," jelas Ketua Komite SMAN 15 Surabaya sekaligus Ketua Penasehat Forum Ketua Komite Sekolah (FKKS) SMAN/SMKN se-Surabaya Basa Alim Tualeka.(*)
Pewarta | : Lely Yuana |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |