TIMES SURABAYA, SURABAYA – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur telah memeriksa mantan Kepala Dinas Perhubungan (Kadishub) Jawa Timur, Wahid Wahyudi, serta Kepala Dinas Perhubungan Jatim saat ini, Nyono, terkait penyidikan dugaan korupsi di PT Delta Artha Bahari Nusantara (DABN).
Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim, Wagiyo, mengatakan pemeriksaan dilakukan untuk mendalami proses pengusulan PT DABN hingga ditetapkan sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP) di Pelabuhan Probolinggo.
“Yang bersangkutan sudah pernah kami lakukan pemeriksaan. Begitu juga Kepala Dinas Perhubungan yang sekarang,” kata Wagiyo, Senin (15/12/2025).
Menurut Wagiyo, Wahid Wahyudi merupakan pihak yang mengusulkan penugasan PT DABN saat masih menjabat sebagai Kadishub Jatim. Penyidik mendalami kronologi pengusulan tersebut, termasuk tahapan administratif hingga keluarnya penetapan penugasan sebagai BUP.
“Kami ingin mengetahui bagaimana proses pengusulan DABN itu hingga menjadi penugasan BUP pada saat proses tersebut berlangsung,” ujarnya.
Dalam penyidikan, terungkap bahwa pengusulan tersebut disebut-sebut merupakan tindak lanjut dari arahan Gubernur Jawa Timur saat itu, Soekarwo. Namun, Wagiyo menegaskan hingga kini penyidik belum memeriksa Soekarwo dalam perkara ini.
“Sampai saat ini belum. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan kepentingan pembuktian. Sejauh ini belum ada keterangan saksi lain yang mengarah ke sana,” tegasnya.
Meski demikian, Kejati Jatim membuka kemungkinan untuk melakukan pemeriksaan tambahan apabila dalam proses penyidikan ditemukan fakta-fakta baru yang mengarah pada pihak lain.
“Jika nanti ada fakta yang mengarah ke pihak tertentu, tentu akan kami lakukan pemeriksaan dalam rangka pengungkapan alat bukti dan peristiwa yang sebenarnya,” kata Wagiyo.
Wagiyo menambahkan, penyidikan kasus ini masih bersifat umum. Penyidik telah mengantongi sejumlah nama, namun belum dapat disampaikan ke publik karena masih dalam tahap pendalaman.
“Penyidik tentu sudah memiliki gambaran, tetapi belum bisa kami ungkapkan karena prosesnya masih berjalan,” ujarnya.
Saat ini, Kejati Jatim juga menunggu hasil perhitungan kerugian keuangan negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Penyidik telah memeriksa sejumlah saksi, menyita dokumen, melakukan penyitaan terhadap beberapa rekening, serta meminta keterangan ahli.
“Alat bukti terkait kerugian keuangan negara sudah ada, namun masih terus kami dalami untuk menentukan siapa yang paling bertanggung jawab,” jelas Wagiyo.
Terkait penetapan tersangka, Wagiyo menegaskan pihaknya masih menunggu seluruh proses pembuktian rampung dan tidak ingin berspekulasi.
“Kami tidak bisa mengira-ngira. Penetapan tersangka harus berdasarkan alat bukti yang cukup. Saat ini kami juga masih menunggu hasil perhitungan dari BPKP,” pungkasnya.
Kasus ini bermula dari rencana Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk mengelola Pelabuhan Probolinggo. Saat itu, Pemprov Jatim belum memiliki badan usaha milik daerah (BUMD) yang bergerak di bidang pengelolaan pelabuhan atau memiliki izin sebagai BUP.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, Dinas Perhubungan Jatim mengusulkan PT DABN, yang awalnya merupakan anak perusahaan PT Jatim Energy Services (JES) sebelum dialihkan menjadi anak perusahaan PT Panca Wira Usaha (PJU).
Pada 10 Agustus 2015, Gubernur Jawa Timur mengirim surat kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut yang menyebut PT DABN seolah-olah sebagai BUMD pemilik izin BUP. Padahal, status perusahaan tersebut belum memenuhi syarat untuk menerima hak konsesi pengelolaan pelabuhan.
Selanjutnya, Pemprov Jatim menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 10 Tahun 2016 tentang penyertaan modal daerah senilai Rp253,6 miliar kepada PT PJU, yang kemudian diteruskan kepada PT DABN. Pola penyertaan modal tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang mengatur bahwa penyertaan modal daerah hanya dapat diberikan kepada BUMD.
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut kemudian menyetujui permohonan pengelolaan Pelabuhan Probolinggo dengan sejumlah catatan, di antaranya lahan dan investasi harus menjadi milik BUP serta tidak menggunakan dana APBD maupun APBN.
Namun dalam praktiknya, PT DABN belum memiliki aset saat perjanjian konsesi ditandatangani pada 21 Desember 2017. Penyerahan aset baru dilakukan pada 9 Agustus 2021, sehingga dinilai tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2015. (*)
| Pewarta | : Mochamad Khaesar |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |