TIMES SURABAYA, SURABAYA – Reshuffle Kabinet Merah Putih yang diumumkan awal September 2025 menjadi salah satu peristiwa politik paling penting dalam masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Beberapa nama kunci diganti, sementara sejumlah posisi masih dibiarkan kosong.
Hingga artikel ini ditulis, belum ada sosok pengganti untuk Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan maupun Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo. Kondisi serupa memperlihatkan bahwa perombakan kali ini masih menyisakan tanda tanya mengenai arah politik dan strategi konsolidasi kekuasaan.
Salah satu kejutan terbesar adalah digantikannya Sri Mulyani Indrawati oleh Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan. Menurut laporan AP News (8 September 2025), pergantian ini dilakukan setelah gelombang protes besar yang menuntut perubahan struktural dan transparansi anggaran.
Reuters (9 September 2025) mencatat bahwa keputusan tersebut langsung mengguncang pasar, dengan rupiah tertekan dan kepercayaan investor menurun tajam.
Financial Times (9 September 2025) menambahkan bahwa kekhawatiran utama terletak pada potensi pelonggaran disiplin fiskal yang selama ini dijaga ketat oleh Sri Mulyani. Reaksi ini memperlihatkan betapa figur menteri tidak hanya soal personalitas, tetapi juga simbol kredibilitas kebijakan.
Pergantian juga terjadi di Kementerian Perlindungan Pekerja Migran, dari Abdul Kadir Karding ke Mukhtarudin. Keputusan ini penting mengingat persoalan buruh migran kerap menjadi isu sensitif yang menyentuh aspek diplomasi, perlindungan hukum, dan remitansi.
Di saat bersamaan, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi digantikan oleh Fery Juliantono. Pergantian di sektor ini menandakan orientasi baru dalam pemberdayaan ekonomi rakyat, terutama dalam kerangka janji-janji kampanye Presiden Prabowo untuk memperkuat ekonomi domestik berbasis UMKM.
Dari perspektif komunikasi politik, reshuffle ini memiliki dua wajah. Wajah pertama adalah upaya merespons tekanan publik. Tuntutan 17+8 yang digaungkan kelompok masyarakat sipil menuntut perubahan mendasar, mulai dari perampingan tunjangan DPR hingga reformasi sektor hukum dan militer.
Dengan menghadirkan figur baru di kabinet, pemerintah berupaya membangun narasi bahwa suara rakyat telah didengar. Kehadiran Purbaya, misalnya, dikomunikasikan sebagai simbol “semangat baru” dalam mengelola fiskal agar lebih berpihak pada rakyat, meski janji pertumbuhan ekonomi 8 persen tampak ambisius.
Namun wajah kedua justru menunjukkan paradoks. Reshuffle lebih tampak sebagai strategi komunikasi politik ketimbang reformasi substantif. Hingga kini, sejumlah tuntutan 17+8 belum terealisasi sepenuhnya.
Publik tentu mempertanyakan apakah pergantian wajah menteri cukup menjawab persoalan struktural seperti praktik politik, ketidakmerataan distribusi ekonomi, atau lemahnya penegakan hukum.
Dalam teori komunikasi politik, ini bisa disebut sebagai strategi symbolic politics, yakni penggunaan simbol dan gestur politik untuk meredam protes tanpa benar-benar mengubah sistem.
Ketiadaan sosok pengganti di beberapa pos strategis semakin mempertegas paradoks reshuffle kali ini. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan adalah pos vital dalam menjaga stabilitas nasional, terutama di tengah menguatnya polarisasi politik, dinamika keamanan regional, dan ancaman transnasional.
Fakta bahwa kursi ini masih kosong hingga artikel ini ditulis menimbulkan tanda tanya publik. Apakah reshuffle dilakukan secara tergesa sehingga belum ada figur yang siap, atau justru terjadi tarik-ulur politik di belakang layar, di mana berbagai kekuatan berusaha menancapkan pengaruhnya?
Fenomena serupa juga terlihat pada Kementerian Pemuda dan Olahraga yang ditinggalkan Dito Ariotedjo tanpa adanya sosok pengganti hingga saat ini. Kekosongan itu berpotensi memunculkan stagnasi kebijakan, padahal sektor kepemudaan dan olahraga sering digunakan sebagai kanal politik identitas sekaligus sarana membangun citra harmoni nasional.
Publik kemudian bertanya apakah pemerintah sengaja menunda pengisian kursi tersebut demi mencari sosok kompromi yang dapat diterima semua pihak, atau memang sedang berhitung lebih hati-hati agar keputusan yang diambil tidak menimbulkan resistensi politik.
Dalam kajian komunikasi politik, kekosongan jabatan menteri tidak hanya berkaitan dengan aspek teknis birokrasi, tetapi juga membawa makna simbolik yang membentuk persepsi publik. Kekosongan bisa ditafsirkan sebagai tanda reshuffle setengah hati, di mana pemerintah tidak memiliki peta jalan yang jelas.
Namun pada sisi lain, kekosongan juga bisa dibaca sebagai strategi komunikasi yang menahan diri, untuk menunjukkan bahwa keputusan penting membutuhkan pertimbangan ekstra.
Di sinilah paradoks muncul: ketiadaan keputusan segera justru bisa menjadi pesan politik yang ambigu, terbuka untuk ditafsirkan sesuai kepentingan masing-masing aktor. Ambiguitas ini menciptakan ruang interpretasi yang berlapis.
Bagi pendukung pemerintah, kekosongan jabatan bisa dimaknai sebagai strategi menunggu momentum terbaik agar keputusan tidak keliru. Namun bagi kelompok kritis, kondisi ini menjadi bukti lemahnya konsolidasi dan adanya tarik-ulur kepentingan yang tidak terselesaikan.
Situasi ini menggambarkan bagaimana politik tidak hanya soal siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tetapi juga bagaimana kekosongan kursi itu sendiri mampu menciptakan wacana politik yang berpengaruh.
Secara positif, reshuffle memberi peluang memperkuat legitimasi politik Presiden Prabowo. Kehadiran wajah-wajah baru dapat membantu pemerintah memulihkan citra di tengah gelombang protes. Dengan strategi komunikasi yang tepat, pemerintah bisa menjadikan reshuffle sebagai momentum untuk membangun kepercayaan kembali, terutama melalui program-program yang menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Akan tetapi, peluang tersebut hanya bisa diwujudkan bila reshuffle diikuti dengan kebijakan konkret yang terukur.
Sebaliknya, sisi negatifnya tidak bisa diabaikan. Reaksi pasar yang penuh kecemasan menunjukkan bahwa reshuffle juga bisa dibaca sebagai sinyal ketidakpastian. Kehilangan figur sekelas Sri Mulyani membuat publik ragu pada arah kebijakan fiskal ke depan.
Investor asing menuntut jaminan kesinambungan, sementara masyarakat menunggu kepastian mengenai realisasi janji kampanye. Jika reshuffle tidak diikuti dengan komunikasi politik yang konsisten, maka risiko defisit kepercayaan publik akan semakin besar.
Dalam perspektif komunikasi politik, reshuffle kabinet bukan sekadar perubahan personalia, tetapi juga pertarungan narasi. Pemerintah harus mampu membingkai perombakan ini sebagai langkah menuju reformasi, bukan sekadar rotasi jabatan.
Keberhasilan reshuffle ditentukan oleh bagaimana pesan ini diterima publik, bagaimana media mengkonstruksi realitasnya, dan bagaimana masyarakat merasakan dampak nyata di lapangan.
Pada akhirnya, reshuffle Kabinet Merah Putih menghadirkan pertanyaan yang sama pentingnya dengan pergantiannya sendiri: apakah perombakan ini sekadar strategi politik untuk meredam gejolak, atau benar-benar sebuah upaya serius memperkuat fondasi negara.
Jawaban atas pertanyaan itu akan bergantung pada implementasi kebijakan setelah reshuffle, serta sejauh mana pemerintah konsisten menepati tuntutan rakyat. Hingga hari ini, publik masih menunggu bukti nyata. (*)
***
*) Oleh : Arif Budi Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya dan Mahasiswa Doktoral Universitas Airlangga.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |