TIMES SURABAYA, SURABAYA – Jika minggu yang lalu saya bertemu dengan seorang teman yang baru saja menjabat sebagai seorang kepala daerah, seorang bupati, kemaren, saya bertemu dengan teman yang baru saja melepas jabatan bupatinya. Kesan saya, sahabat yang sedang tidak menjabat, sahabat saya yang kalah dalam kontestasi Pilkada 2024 ini jauh lebih nampak bahagia dibandingkan dengan yang sedang menjabat. Sejak awal hingga akhir pertemuan kami, hanya gelak tawa dan diskusi ringan yang menghiasi pertemuan kami.
Tidak ada keluh kesah, tidak ada beban di raut wajahnya, tidak ada sedih di wajahnya, tidak ada kesan bingung dan khawatir di wajahnya, dia nampak bahagia, dia nampak menikmati status barunya, hidup tanpa ajudan, hidup tanpa protokoler yang ketat, hidup tanpa bayang-bayang pengawasan aparat penegak hukum, intinya, dia sedang menikmati posisi barunya sebagai rakyat biasa. Berbeda dengan sahabat yang sedang menjabat, sahabat yang minggu kemaren bertemu dan mengeluh pada saya, dia nampak ringkih, depresi dan kebingungunan.
Hampir semua kajian dan penelitian yang meneliti Pilkada di Indonesia menyimpulkan bahwa Pilkada di Indonesia sangatlah mahal. Saya sendiri beberapa kali menjadi “konsultan” untuk pemenangan pasangan calon kepala daerah, termasuk beberapa orang teman saya sendiri.
Pengalaman saya pun membenarkan, bahwa sangat sulit menekan angka biaya politik di Pilakada Indonesia selama sistemnya masih sama, pengawasannya masih sama, pola rekrutmen penyelenggaran pemilu masih sama, kesadaran dan budaya politik masyarakat masih sama.
Tidak ada partisipasi, yang ada adalah mobilisasi. Tidak ada kontestasi dan kompetisi yang positif yang ada adalah manipulasi dan intimidasi. Tidak ada adu visi, misi dan program prioritas yang ada hanyalah adu kuasa dan uang modal politik.
Pilkada tidak akan pernah murah jika model kampanye yang dilakukan juga masih konvensional. Alat peraga yang harus dipersipkan masih dalam bentuk manual, banner, stiker dan spanduk yang disebar di seluruh pelosok kabupaten/kota.
Meskipun beberapa calon telah juga memanfaatkan media sosial sebagai ajang kampanye, namun fenomena bertebarannya stiker calon, banner dan spanduk calon tiap Pilkada adalah bukti kongkrit bahwa kampanye konvensional dengan alat peraga banner, stiker dan spanduk masih dilakukan oleh semua pasangan calon kepala daerah. Bisa dipastikan, biaya untuk alat peraga tersebut tidak murah.
Pilkada tidak akan pernah murah jika penyelenggara Pilkada, mulai dari KPU, Bawaslu Kabupaten/Kota sampai kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KKPS) dan Pengawas Kelurahan/Desa (PKD) tidak profesional melaksanakan tugasnya, sehingga semua kontestan, semua calon kepala daerah harus mempersipkan saksi di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Semua calon tidak akan percaya pada netralitias penyelenggara, mereka harus punya tim saksi yang kuat dan solid serta terlatih sebagai langkah antisipatif pada kecurangan yang sangat mungkin terjadi.
Pembentukan tim saksi bukan hal mudah dan murah, semua berkonsekwensi pada biaya yang harus disiapkan. Untuk kabupaten kecil dengan pemilih tidak lebih dari satu juta pemilih TPS yang disiapkan berkisar 1.000 hingga 1.300 TPS, dan untuk kabupaten besar dengan jumlah pemilih di atas satu juta pemilih, jumlah TPS bisa membengkak sampai 2.000 TPS.
Jika di tiap TPS ada satu saksi dengan honor 200.000 tiap saksi, maka paling sedikit ada 400 juta dana yang harus disiapkan, belum lagi dengan proses pelatihan yang harus dilakukan. Pelatihan ini juga tidak gratis, ada dana yang juga harus disiapkan oleh calon kepala daerah.
Angka terbesar yang harus disipkan oleh calon kepala daerah adalah biaya untuk kepentingan vote buying. Dalam beberapa kajian ditemukan kisaran angka yang harus disiapkan saat Pilkada, antara 50.000 hingga 200.000 tiap pemilih.
Bisa dibayangkan dan bisa dengan mudah dihitung, jika ada satu juta pemilih, maka untuk menjadi pemenang dalam Pilkada, paling tidak 30 persen hingga 50 persen pemilih yang harus disiapkan untuk mendapatkan money politics tersebut. Dari praktek kotor vote buying ini saja, sekian miliar dana harus disiapkan oleh masing-masing calon kepala daerah.
Pasca Pilkada, apakah cost politics yang harus dikeluarkan oleh calon juga telah usai? Tidak. Apalagi jika masih harus menempuh jalan hukum, bersengketa di MK. Maka semua calon harus kembali menyiapkan dana yang tak sedikit.
Para calon harus menyiapkan tim hukum, kuasa hukum dan juga harus memobilisasi massa pendukung ke Jakarta di saat proses sidang dilakukan. Massa ini butuh biaya transportasi, akomodasi, butuh hotel untuk bermalam, bukan semalam tapi bermalam-malam. Semua harus dihitung.
Di saat Pilkada mahal tidak dapat dihindari, maka praktik kotor money politics butuh bandar, butuh cukong yang dapat memback up kebutuhan dana politik calon. Tentu semua “bantuan” cukong bukan sesuatu yang gratis. Pada saatnya, uang-uang untuk praktik kotor itu harus dikembalikan, tentu tidak dengan jumlah yang sama, harus membengkak, bertambah dengan hitungan bunga di dalamnya.
Saat jatuh tempo, saat pengembalian uang cukong bersama bunganya harus dikembalikan, maka jalan pintas yang sangat berbahaya yang akan diambil oleh kepala daerah, yaitu korupsi APBD. Uang negara yang disalahgunakan. Tanpa korupsi, mustahil seorang kepala daerah dapat mengembalikan hutang pada para cukong tersebut.
Semua kasus OTT KPK kepada kepala daerah, sebagian besar adalah dalam konteks korupsi dana APBD ini. Berikut juga kasus korupsi yang ditangani oleh kejaksaan, juga berkisar dari korupsi APBD ini.
Pilkada Murah dan Hukum Ditegakkan
Jika menginginkan kualitas demokrasi lokal membaik, jika menginginkan Pilkada yang berintegritas dan jika menginginkan kepala daerah yang berkualitas dan akhirnya tidak melakukan korupsi, maka harus dimulai dari memperbaiki Pillkada.
Bagaimana caranya? Para tokoh, para ketua partai, para guru besar politik bahkan para mahasiswa juga telah banyak bersuara. Kesimpulannya sama, yaitu tentang memperbaiki system dan memperkuat integritas penggerak system.
Pilkada harus berubah. Hal yang terpenting adalah mempersempit peluang money politicts. Sistem harus mengatur dengan ketat. Hukuman bagi pelaku money politics harus tegas dan jelas. Sanksi pidana harus ditegakkan. Undang-Undang No. 7 tahun 2017, terutama pasal 523 ayat (1), (2) dan (3) yang mengatur tentang sanksi pidana dan denda untuk pelaku money politics juga harus ditegakkan.
Sedangkan pasal karet yang menjadi tempat “sembunyi” para pelaku kejahatan money politics, yaitu pasal 286 ayat (1) harus diperjelas. Bahasa pemberian atribut dan transportasi kampanye seringkali menjadi pasal karet yang membebaskan pelaku money politics bebas dari jerat pidana pemilu.
Dengan sanksi yang tegas dan jelas, semua calon dan semua tim sukses serta masyarakat akan berfikir ulang untuk memapraktikkan money politics dalam Pilkada. Harapannya, Pilkada menjadi murah. Pemenang Pilkada tidak selalu saja mereka yang punya modal dan dana besar, tapi siapapun yang punya track record baik dan visi misi serta program terbaik.
Selain sanksi pidana, sanksi social juga harus dilakukan. Hukuman social harus ada. Masyarakat harus membuat dan mendukung sanksi social bagi pelaku kejahatan money politics. Masyarakat harus punya mekanisme menghukum. Masyarakat harus berani bergerak dan memulai menghukum para pelaku money politics.
Harapannya, dengan sanksi social, pelaku akan berpikir seribu kali untuk melakukan money politics. Mungkin saja mereka bisa lari dari sanksi pidana, tapi mereka tak bisa lari dari sanksi social. Dan, dalam beberapa kasus patologi sosial, sanksi social kadang jauh lebih efektif dibandingkan sanksi pidana.
Saya kira, ketika Pilkada murah, korupsi APBD hampir bisa dipastikan tidak akan banyak terjadi, para cukong tak akan leluasa mengatur kepala daerah. Dan tentu saja, cerita saya tentang kepala daerah yang menang Pilkada tapi tak bahagia dan sebaliknya seorang bupati yang kalah dalam Pilkada dan berhenti jadi kepala daerah namun menerima kekalahan dengan perasaan bahagia dan gembira, tak akan terjadi lagi.
***
*) Oleh : Moh. Syaeful Bahar, Ketua LP2M UIN Sunan Ampel dan Dosen FISIP UIN Sunan Ampel.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |