TIMES SURABAYA, SURABAYA – “Sing penting joget” Kalimat itu kini bukan hanya candaan di TikTok, tapi sudah menjadi semacam mantra sakti di banyak hajatan desa. Dari ujung Banyuwangi hingga pelosok Bojonegoro, “sound horeg” hadir sebagai bintang utama yang tak tergantikan. Makin besar speakernya, makin tinggi gengsi si empunya hajat.
Di balik dentuman bass dan kerlap-kerlip lampu strobo, ada realitas sosial yang mulai retak. Suara-suara yang dulunya tawa kini berubah menjadi keluhan. Bukan cuma karena telinga berdenging semalaman, tapi karena makna hiburan mulai bergeser: dari kebersamaan menjadi pamer kekuasaan suara.
Antara Gaya dan Gangguan
Sound horeg merujuk pada sistem pengeras suara (sound system) berukuran besar dan keras, kerap digunakan di hajatan, arisan, atau sunatan di desa-desa. Asalnya sederhana sekadar hiburan. Tapi lama-lama menjadi simbol status sosial. Makin bising, makin keren. Makin gemetar dinding tetangga, makin dianggap berhasil.
Sebagian orang memuja sound horeg sebagai ekspresi budaya desa yang hidup. Ia jadi ruang bagi anak muda ngonten TikTok, tempat emak-emak berjoget, dan hiburan gratis buat masyarakat yang lelah bekerja seharian. Tak jarang, hajatan dengan sound horeg lebih dinanti daripada konser berbayar.
Dalam satu desa, tak semua suka berjoget. Ada lansia yang ingin tidur nyenyak, anak kecil yang takut suara keras, atau warga yang sekadar ingin damai. Dan ketika hiburan mulai mengusik kenyamanan, suara bising bukan lagi milik budaya, tapi milik konflik.
Kebisingan Bersuara Budaya
Pernahkah kita berpikir: kenapa suara keras dianggap sebagai budaya? Apakah semua yang meriah otomatis harus dikeraskan?
Dalam studi sosiologi budaya, budaya tidak hanya bicara tentang ekspresi, tapi juga relasi: apakah ekspresi itu memperkuat hubungan sosial, atau malah meretakkannya?
Sound horeg dalam praktiknya justru menunjukkan bagaimana budaya bisa bergeser menjadi kompetisi. Bukan lagi tentang siapa yang paling menghibur, tapi siapa yang paling nyaring.
Bukan lagi soal menghargai tamu, tapi soal jago-jagoan volume. Ada kebanggaan semu yang lahir dari dentuman keras, meski kadang tak seirama dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya.
Ironisnya, dalam banyak kasus, penyelenggara acara bahkan tidak tahu menahu soal tingkat kebisingan. Yang penting rame, kata mereka. Tapi tak sadar, tetangga sudah dua malam tak bisa tidur.
Ketika Toleransi Sosial Menjadi Korban
Kita sering bicara tentang gotong royong dan toleransi dalam konteks budaya desa. Tapi sound horeg justru jadi titik benturan baru. Ada warga yang harus izin kerja karena tak bisa tidur semalaman.
Ada pelajar yang gagal ujian karena konsentrasinya terganggu. Bahkan, tak jarang konflik fisik pecah karena keluhan suara tak didengar.
Dalam laporan Komnas HAM tentang polusi suara (2022), disebutkan bahwa kebisingan yang berlebihan bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak dasar manusia: hak untuk hidup dalam lingkungan yang nyaman dan sehat.
Maka, kalau sound horeg dibiarkan menjadi tren tanpa regulasi, lama-lama kita sedang merusak jalinan sosial itu sendiriatas nama hiburan.
Pro Kontra yang Terus Bergema
Sebagian pihak melihat ini sebagai dilema klasik antara kebebasan berekspresi dan hak atas ketenangan. Di banyak desa, pemuda karang taruna mendukung sound horeg sebagai warisan gaya kekinian.
Tapi para orang tua, guru, hingga tokoh agama sering kali mengeluhkan dampaknya pada moral dan ketenangan desa. fenomena ini seperti mikrofon tanpa tombol mute. Ia terus berbicara, bahkan ketika tak ada yang ingin mendengar.
Namun, menyalahkan sound horeg saja tidak menyelesaikan masalah. Yang perlu dibenahi adalah kesadaran dan pengaturan bersama: apakah desa punya jam malam suara?
Apakah ada titik kompromi antara ekspresi dan etika sosial? Di sinilah pentingnya regulasi berbasis lokal: bukan larangan mutlak, tapi pengelolaan yang adil.
Belajar dari Desa Lain
Beberapa desa di Yogyakarta dan Banyumas mulai menetapkan jam sehat suara yang mengatur waktu maksimal pemakaian sound system dalam hajatan.
Bahkan ada yang mensyaratkan sound hanya boleh dipakai di bawah pukul 22.00 WIB. Tamu senang, warga pun tenang. Sebuah kebijakan yang lahir bukan dari pemaksaan pemerintah, tapi dari kesepakatan warga.
Apakah ini bisa direplikasi di tempat lain?Sangat bisaasal ada kemauan. Budaya tak harus nyaring untuk dianggap hidup. Ia cukup hadir dalam kebersamaan, tanpa harus memekakkan. Sebab budaya bukan tentang seberapa keras kamu berbicara, tapi seberapa dalam kamu didengar.
Budaya yang Berkualitas, Bukan Sekedar Keras
Sound horeg seharusnya bukan musuh. Ia bisa tetap menjadi bagian dari budaya, asal tahu batas. Sebab sejatinya, budaya adalah cermin peradaban: ia tumbuh, berubah, dan menyesuaikan.
Maka ketika kita berbicara soal budaya hiburan, mari juga bicara soal batasan. Jangan sampai, karena ingin "rame", kita malah kehilangan rasa. “Joget boleh, tapi jangan sampai telinga tetangga ikut berdarah."
***
*) Oleh : Angga Saputra, S.Pd., Guru Pendidikan Agama Islam SD Labschool Unesa 1.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |