https://surabaya.times.co.id/
Opini

Ketika Risiko Bisnis Dipidanakan

Sabtu, 22 November 2025 - 17:05
Ketika Risiko Bisnis Dipidanakan Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

TIMES SURABAYA, SURABAYA – Kasus yang menjerat Ira Puspadewi, mantan Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry (Persero), kembali membuka perdebatan klasik yang tak pernah selesai dalam sistem hukum Indonesia: apakah setiap kerugian BUMN harus dibaca sebagai kerugian negara, dan karenanya layak dipidana? 

Tuduhan sejak 2024 terkait akuisisi PT Jembatan Nusantara, disertai narasi kerugian lebih dari satu triliun rupiah, telah menyeret opini publik pada perbenturan abadi antara logika bisnis dan logika pidana. 

Vonis 4,5 tahun penjara terhadap Ira bukan sekadar putusan individual, melainkan alarm bagi tata kelola korporasi negara: apakah direksi BUMN masih mungkin mengambil risiko bisnis tanpa takut diperkarakan?

Patut ditegaskan sejak awal bahwa putusan hakim adalah fakta hukum yang sah dan harus dihormati sesuai asas res judicata pro veritate habetur. Karena itu, tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menyanggah kebenaran putusan, melainkan mengurai kerangka teoritis dan konseptual yang relevan bagi diskursus publik mengenai batas kewajaran pengambilan risiko bisnis oleh direksi BUMN. Kajian ini merupakan kontribusi akademik untuk memperkaya pemahaman bahwa tindakan korporasi tidak selalu identik dengan perbuatan pidana.

Dalam dunia usaha, risiko adalah bagian inheren dari setiap keputusan. Peter Drucker sejak lama menegaskan bahwa inti manajemen adalah membuat keputusan dalam ketidakpastian. Direksi bekerja di tengah fluktuasi pasar, asumsi yang bergerak, dan variabel bisnis yang tak pernah benar-benar pasti. 

Namun hukum pidana bekerja di atas asas kepastian, bukti yang rigid, dan niat jahat yang harus dapat dibuktikan. Ketika dua alam ini dipertemukan secara tergesa-gesa, risiko bisnis dapat dengan mudah disalahartikan sebagai kejahatan. Inilah titik paling problematik dalam perkara Ira. 

Hakim sendiri menegaskan tidak ada keuntungan pribadi, tidak ada aliran dana, dan tidak ada rekayasa untuk merugikan perusahaan. Yang dipersoalkan adalah penilaian aset yang dianggap keliru, padahal penilaian itu dilakukan oleh Kantor Jasa Penilai Publik lembaga profesional yang memiliki otoritas dan metodologi standar.

Persoalan mendasarnya adalah: apakah ketidaktepatan penilaian aset dapat dikualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum yang memperkaya pihak lain sehingga menimbulkan kerugian negara? 

Pola penalaran yang memulai dari dugaan kerugian, kemudian mencari-cari siapa yang diperkaya, menciptakan jebakan epistemik: bahwa setiap perbedaan profesional judgement otomatis dianggap sebagai penyimpangan. Lebih ironis lagi, metode perhitungan kerugian oleh penegak hukum sering kali direduksi pada selisih harga akuisisi dan nilai wajar aset. 

Pendekatan ini menggusur kompleksitas manajemen korporasi dan memampatkannya menjadi tabel angka yang tampak dramatis, padahal nilai aset selalu dipengaruhi waktu penilaian, kondisi pasar, proyeksi arus kas, risiko industri, serta strategi jangka panjang. Penilaian yang berbeda tidak serta merta adalah penyimpangan; ia bagian dari dinamika bisnis yang sah.

Di titik inilah pentingnya meninjau ulang prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan Business Judgment Rule (BJR). Dua kerangka besar dunia korporasi ini sejatinya menjadi pagar yang melindungi direksi selama ia bertindak dengan itikad baik, berhati-hati, independen, dan bebas dari benturan kepentingan. 

Doktrin BJR bahkan menegaskan bahwa direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas keputusan bisnis yang salah selama proses pengambilan keputusannya telah benar. 

Pasal 92 UU Perseroan Terbatas dan ketentuan baru dalam UU BUMN Tahun 2025 memperkuat prinsip tersebut: direksi tidak dapat dituntut pidana apabila ia tidak memiliki konflik kepentingan dan bertindak untuk kepentingan korporasi.

Namun dalam kasus Ira, pagar tersebut tampak ditembus oleh logika pemidanaan. Fakta hukum yang menunjukkan tidak adanya keuntungan pribadi seharusnya menjadi indikator kuat bahwa unsur subjektif delik korupsi tidak terpenuhi. Salah menilai aset bukanlah kejahatan; ia bagian dari risiko dalam setiap aksi korporasi. 

Ketika risiko dipidana, batas antara daden van beheren dan daden van beschikking menjadi kabur. Jika semua keputusan yang berpotensi rugi dikriminalisasi, maka direksi akan memilih tidak bertindak. Dan BUMN mustahil berkembang dengan direksi yang bekerja dalam ketakutan permanen.

Perubahan besar sebenarnya hadir melalui Pasal 4B UU Nomor 16 Tahun 2025 tentang BUMN yang secara eksplisit menyatakan bahwa kerugian BUMN bukan kerugian negara. Rumusan ini adalah koreksi monumental atas paradigma lama yang kerap mempidanakan kesalahan bisnis. 

Meskipun tidak berlaku retroaktif, norma baru ini mencerminkan arah kebijakan hukum yang lebih adil dan selaras dengan prinsip korporasi modern. Doktrin lex favor reo memberi ruang agar semangat perlindungan terhadap pelaku korporasi yang beriktikad baik dapat menjadi pertimbangan dalam proses hukum berikutnya.

Dalam konteks inilah penting untuk mendorong upaya banding dalam perkara Ira agar pengadilan tingkat lebih tinggi dapat menegaskan batas tanggung jawab direksi secara lebih presisi. Pengadilan harus menguji apakah keputusan akuisisi telah mengikuti prinsip GCG dan BJR, tidak memiliki konflik kepentingan, dan didasarkan pada rekomendasi profesional. Jika semua itu terpenuhi, pemidanaan bukan hanya tidak tepat, tetapi berbahaya bagi peta besar tata kelola BUMN.

Selain itu, negara juga memiliki instrumen konstitusional seperti grasi atau rehabilitasi untuk mencegah efek ketakutan sistemik yang dapat melumpuhkan keberanian mengambil keputusan. 

Sejarah pemberian abolisi kepada Tom Lembong adalah preseden bahwa negara dapat menggunakan kewenangannya untuk memastikan kebijakan korporasi tidak dibaca dengan kacamata pidana secara membabi buta.

Kasus Ira akhirnya membawa kita pada satu pertanyaan mendasar dan menentukan masa depan tata kelola BUMN: apakah negara menginginkan direksi yang berani mengambil risiko demi kemajuan korporasi, atau sekadar penjaga administrasi yang takut bertindak? 

Jika setiap potensi rugi berujung penjara, maka keberanian strategis tidak akan pernah tumbuh, dan BUMN akan berjalan di tempat. Pertanyaan ini, menurut saya, harus dijawab dengan jujur oleh negara, penegak hukum, dan publik. (*)

***

*) Oleh : Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Surabaya just now

Welcome to TIMES Surabaya

TIMES Surabaya is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.