TIMES SURABAYA, SURABAYA – Gelombang keluhan konsumen terkait gangguan kendaraan setelah mengisi BBM di sejumlah SPBU di Jawa Timur menciptakan turbulensi kepercayaan publik terhadap tata kelola energi nasional. Respons awal Pertamina berupa pembukaan posko dan pemeriksaan kualitas Bahan Bakar Minyak (BBM) memang menunjukkan langkah administratif. Namun untuk perspektif hukum perlindungan konsumen, pertanyaan mendasarnya lebih kompleks: di mana letak tanggungjawab hukum, bagaimana pembuktian kerugian, serta mekanisme pemulihan hak-hak konsumen?
Perlindungan konsumen bukan semata prosedur layanan, melainkan mandat konstitusional. Pasal 33 UUD 1945 menegaskan cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai negara, bukan hanya untuk kepentingan korporasi, melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Energi, termasuk BBM, berada di jantung mandat itu. Maka, ketika masyarakat mengalami kerugian akibat layanan energi, negara dan BUMN tidak boleh sekadar bersikap responsif administratif; harus hadir secara substantif dalam pemulihan hak.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menempatkan pelaku usaha dalam rezim tanggungjawab yang ketat. Konsep strict liability serta beban pembuktian yang tidak sepenuhnya diletakkan pada konsumen merupakan fondasi perlindungan hukum.
Dalam konteks ini, konsumen tidak perlu membuktikan kesalahan korporasi secara sempurna. Cukup menunjukkan adanya hubungan sebab-akibat yang patut diduga (prima facie) antara penggunaan produk dan kerugian.
Prinsip kehati-hatian (precautionary principle), yang diakui dalam hukum administrasi dan lingkungan, relevan diterapkan. Ketika ada potensi bahaya yang dapat memengaruhi publik luas, produsen wajib memastikan keamanan produk, bahkan sebelum kerugian masif terjadi. Ini yang membedakan tanggung jawab moral korporasi publik dengan entitas bisnis privat.
Penjagaan kualitas BBM merupakan tanggung jawab pelaku usaha, yang mana di sini pertamina, dan juga agen penyalur BBM dalam menjaga mutu. Pada Peraturan ESDM Nomor 13 Tahun 2018 Pasal 16 Ayat 1 Huruf a dan b yakni sebagai berikut:
“(1) Untuk melakukan Kegiatan Penyaluran BBM, BBG dan LPG, BU Niaga Migas dan Penyalur wajib memenuhi hak konsumen dan mutu pelayanan sebagai berikut: a. jaminan kelangsungan penyediaan dan pendistribusian produk, b. standar dan mutu (spesifikasi) BBM, BBG dan LPG sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.”
Dalam kasus BBM ini, pemeriksaan internal saja tidak memadai. Diperlukan pengujian produk secara independen serta pengawasan oleh pihak eksternal agar pemenuhan standar mutu tidak sekadar menjadi klaim sepihak. Di sisi lain, masyarakat juga berhak mengetahui kondisi yang sebenarnya.
Ganti Rugi sebagai Kewajiban Hukum
Pertamina menyiapkan posko layanan untuk menampung pengaduan konsumen terkait keluhan BBM (Pertalite) di Jawa Timur. Namun posko aduan bukan bentuk penyelesaian sengketa, melainkan kanal administratif.
Dalam Pasal 7 huruf d dan huruf f UU Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa pelaku usaha wajib menjamin mutu barang yang diproduksi atau diperdagangkan sesuai standar yang berlaku, serta memberikan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian atas kerugian yang timbul akibat penggunaan, pemakaian, atau pemanfaatan barang tersebut.
Dengan kata lain, posko aduan hanya membuka pintu bagi konsumen untuk melapor, tetapi kewajiban hukum untuk memperbaiki kerugian tetap melekat pada pelaku usaha.
Di sisi lain, Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen mengatur mekanisme penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), litigasi perdata, bahkan class action.
Pertanyaannya: apakah Pertamina akan membuka akses selebar-lebarnya kepada konsumen untuk menggunakan mekanisme hukum tersebut, atau sekadar “meredam kerusakan reputasi” melalui kanal internal?
Dalam perspektif corporate governance of state entities, BUMN tidak boleh hanya berorientasi pada citra korporasi. Sebagai pelaksana fungsi publik, kewajiban pemulihan kerugian konsumen adalah bentuk pemenuhan hak konstitusional warga atas layanan dasar yang aman.
Ganti rugi yang layak tidak hanya penggantian biaya perbaikan mesin, tetapi juga kerugian akibat kehilangan pendapatan, waktu, dan potensi kerusakan lanjutan. Dalam beberapa yurisdiksi, korporasi energi menerapkan no-fault consumer compensation scheme. Indonesia perlu bergerak ke arah skema tersebut.
Energi Sebagai Tanggungjawab Negara
Jika negara mengakui bahwa energi adalah sektor yang vital dan menyangkut hajat hidup orang banyak, maka mekanisme perlindungan konsumen harus berpihak kepada pihak yang paling lemah secara teknis, yaitu masyarakat pengguna.
Konsumen tidak seharusnya dibebani kewajiban untuk membuktikan sendiri komposisi atau kualitas bahan bakar yang mereka gunakan, karena hal itu memerlukan kemampuan dan sarana teknis yang jauh melampaui kapasitas mereka.
Setiap keluhan tentang kerusakan kendaraan atau gangguan mesin setelah mengisi bahan bakar merupakan ujian nyata atas keseriusan negara dalam menegakkan pelindungan terhadap masyarakat.
Dalam konteks ini, terdapat beberapa langkah normatif yang harus ditempuh untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum bagi konsumen.
Pertama, audit dan pemeriksaan mutu bahan bakar harus dilakukan tidak hanya secara internal oleh perusahaan penyedia, tetapi juga oleh lembaga pengawas yang independen, sehingga hasilnya dapat dipercaya dan obyektif.
Kedua, prosedur ganti rugi bagi konsumen yang terbukti dirugikan harus disederhanakan, tanpa membebani masyarakat dengan proses yang panjang, mahal, atau teknis.
Ketiga, regulasi mengenai ganti rugi di sektor energi perlu direformasi agar selaras dengan prinsip pelayanan publik yang menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas utama.
Kalau Pertamina tidak menanggapi keluhan masyarakat dengan jelas dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) hanya menunggu, masalahnya bukan hanya soal layanan yang buruk. Namun hal itu, justru memperkuat perasaan dan dugaan masyarakat bahwa pemerintah kurang serius mengelola energi, dan memperkuat skeptisisme terhadap kepercayaan publik.
***
*) Oleh : Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |