TIMES SURABAYA, SURABAYA – Demikian judul tulisan ini saya pilih. Judul tersebut bukan tanpa alasan, artinya bahwa relevansi dan konteks Kongres Muslimat NU yang ke-18 menjadi peneguhan Ibu Khofifah Indar Parawansa sebagai ketua terlama dalam menjabat sebagai Ketua Umum PP Muslimat NU, andaikan pada Kongres kali ini beliau terpilih lagi.
Sebagaimana diketahui Khofifah terpilih pertama kali sebagai Ketua Umum PP Mulimat pada Kongres Muslimat yang ke-14 tahun 2000 di Jakarta. Ini artinya dengan segala dinamikanya, ia secara konsisten dipercaya untuk mengemban amanah di organisasi ibu-ibu di lingkungan Nahdlatul Ulama ini. Sesuatu yang sangat langka dan luar biasa sekali.
Sebagai warga NU, saya mencoba menggali argumen logis mengapa Ibu Khofifah mampu menjadi simbol yang nyaris tak tergantikan di organisasi Muslimat ini. Pertama, faktor budaya organisasi.
Sebagaimana yang lazim pada tradisi ketimuran kita, bahwa adab unggah-ungguh lebih diutamakan. Ini artinya jika masih ada ketua lama yang masih berkenan untuk maju atau memiliki prestasi yang bagus, maka tidak ada alasan untuk tidak dicalonkan kembali. Dapat saja normativitas AD/ART atau peraturan organisasi disesuaikan berdasarkan aspirasi yang berkembang di anggota organisasi tersebut.
Kedua, faktor Leadership. Sebagai aktivis sejak remaja mengantarkan kematangan kepemimpinan beliau dalam pengambilan keputusan baik secara strategis dan taktis-operasional.
Dalam organisasi underbow NU; PMII, beliau pernah menjadi Ketum PMII Surabaya, serta Ketua PB PMII Putri). Hal ini pulalah yang menghantarkan beliau menjadi anggota DPR RI pada usia muda. Pernah beberapa kali menjadi menteri, serta Gubernur Jawa Timur.
Ketiga, faktor pemimpin di pemerintahan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan adanya akses kekuasaan akan memberi ‘rejeki’ sumberdaya. Oleh sebab itu keberadaan pemimpin atau pejabat di pemerintahan sedikit banyak akan memberi kontribusi, termasuk di organisasi yang dipimpinnya.
Selama menjadi ketua umum PP Muslimat, Bu Khofifah juga menjadi pejabat publik baik di pusat dan di daerah. Hal ini pulalah yang juga menjadi bargaining position oleh beliau baik di basis massa Muslimat maupun di mata episentrum kekuasaan.
Ada satu teori manajemen yaitu resources based-view. Bahwa siapa yang unggul dalam akses sumberdaya, maka dialah yang akan unggul menjadi pemenang.
Dalam kerangka untuk melayani dan mengembangkan ummat khususnya jamaah perempuan NU di tanah air.
Saya melihat ada sejumlah tantangan atau agenda besar Muslimat kedepan, yaitu: penguatan ekonomi, pemberdayaan fungsi perempuan dan ketahanan keluarga, serta peran jamaah Muslimat dalam menyokong demokrasi dan pembangunan.
Anggota Muslimat NU di klaim sedikitnya ada 36 juta orang. Hal ini sangat strategis dalam hal penguatan ekonomi masyarakat. Dari 280an juta masyarakat Indonesia, diperkirakan lebih dari 49 % adalah perempuan.
Itu artinya 27 % dari perempuan Indonesia adalah ibu-ibu Muslimat NU. Andai mereka mampu menjadi pioner dalam penguatan ekonomi masyarakat dan keluarga, maka niscaya problem kesejahteraan bangsa ini akan terbantu teratasi.
Selain penguatan ekonomi, peran multi fungsi perempuan juga tidak bisa terbantahkan. Dalam sejarahnya selama ini, ibu ibu memerankan banyak fungsi. Selain fungsi reproduksi dan seterusnya, sebagai pendidik bagi anak-anaknya, juga dalam hal mendukung income generating keluarga.
Dengan demikian peran kesetaraan gender sebenarnya sudah tidak terbantahkan di tengah warisan budaya patriarkhi yang masih ada. Oleh sebab itu manakala ketahanan keluarga sukses pada keluarga NU, maka boleh dibilang sukses pula program Muslimat NU. Karena pengaruh ibu-ibu dalam memberi warna ideologis keagamaan pada keluarganya cukup signifikan.
Sementara tantangan lain pada jamaah perempuan adalah bagaimana ada kesadaran kritis tentang pilihan dalam berdemokrasi. Artinya bagaimana terbentuk dari insan mobilisir menjadi organisir.
Dalam iven-iven pemilihan umum, tidak jarang ada mobilisasi untuk pemenangan paslon tertentu. Hal ini seyogyanya menjadi kesadaran kritis untuk menjadi indipenden dalam menentukan pilihan politiknya.
Demikian pula pilihan sadar untuk mendukung program-program pembangunan bangsa atau pengembangan masyarakat lainnya. Memang mayoritas usia Ibu Ibu Muslimat adalah di usia sepuh sehingga kebutuhan spiritual, pengajian dan seterusnya menjadi kebutuhan hakiki. Apalagi Muslimat adalah ormas keagamaan.
Namun demikian saya melihat ada sejumlah program yang dicanangkan untuk mengatasi PR besar yang saya sebutkan tadi. Seperti yang telah disampaikan oleh Bu Khofifah di awal forum Kongres ke-18 ini.
Setidaknya ada 3 program besar yang dicanangkan, yaitu; Mustika Mesem (Muslimat Cantik Mengentaskan Kemiskinan Ekstrem), Mustika Darling (Muslimat Cantik Sadar Lingkungan), dan Mustika segar (Muslimat Cantik Sehat dan Bugar). Pemilihan diksi atau istilah yang eye-catching ini yang nampaknya mudah dipahami dan dijalankan oleh Muslimat hingga level ranting atau desa.
Dengan demikian tidak salah jika Presiden Prabowo dalam sambutan Pembukaan Kongres Muslimat ke-18 ini terlihat terpesona terhadap Bu Khofifah dan Muslimat NU.
Jika di sistem pertahanan kita ada TNI, maka di lingkungan emak-emak NU ada ‘TNU’, alias Tentara NU. Bahkan diakhir sambutan, presiden berpesan: Pilihlah Ketua Umum Muslimat yang terbaik.
Saya menangkap, beliau sepertinya masih berharap Bu Khofifah melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan di Muslimat. Kita tunggu saja dalam beberapa jam kedepan, hasil pemilihan ketua umum PP Muslimat untuk meneguhkan supremasi legitimasi Nahkoda Muslimat NU kedepan. Wallahu A’lam Bishowaf.
***
*) Oleh : Dr. Yusuf Amrozi, M.MT., Warga NU dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |