TIMES SURABAYA, BANYUWANGI – INDONESIA merupakan negara yang warganya menganut beragam agama didalamnya. Tercatat sebanyak 6 agama yang diakui serta sah dipeluk secara hukum dan administrasi. Diantaranya adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Menurut Wikipedia Agama adalah sistem yang mengatur kepercayaan serta peribadatan kepada Tuhan serta tata kaidah yang berhubungan dengan adat istiadat, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan. Pelaksanaan agama bisa dipengaruhi oleh adat istiadat daerah setempat.
Agama-agama Samawi, yang juga dikenal sebagai agama monoteistik seperti Kristen, Islam, dan Yahudi menggambarkan agama sebagai pengakuan akan keberadaan Tuhan serta sebagai sarana untuk mengabdikan diri kepada-Nya. Dalam agama Hindu, Buddha, dan Konghucu, agama dijelaskan sebagai pola hidup yang tercermin dan diajarkan melalui kata-kata bijak para guru.
Agama seharusnya menjadi motivasi bagi manusia untuk secara konsisten mempromosikan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di bumi ini. Sayangnya, dalam kehidupan yang sebenarnya, agama justru seringkali menjadi alasan penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran umat manusia.
Kenyataan pahit yang menyangkut kehidupan umat beragama dialami oleh berbagai macam pemeluk agama dan terjadi di seluruh belahan dunia. Misalnya, di Bosnia Herzegovina, umat Islam dan Katolik saling membunuh. Di Afrika, tepatnya di Nigeria, sering terjadi tragedi berdarah antara umat Katolik dan Islam.
Di Indonesia, konflik antar agama sering kali muncul dan menyebabkan ketegangan horizontal antara pemeluk agama. Agama sering menjadi pemicu yang memicu perpecahan dan konflik dalam masyarakat. Konflik agama antara kaum Muslim dan Nasrani misalnya, bukan saja telah merenggut korban jiwa yang sangat besar, akan tetapi juga menghancurkan ratusan tempat ibadah, gereja maupun masjid terbakar dan hancur.
Dalam perkembangannya, terutama dalam era terkini, banyak orang beranggapan bahwa agama adalah sumber ketidakharmonisan antar umat manusia. Agama juga dinilai hanya berhubungan dengan dunia religi yang tidak dapat berbuat banyak saat terjadi kesenjangan sosial dalam kehidupan nyata.
Kesinisan dan anggapan buruk terhadap agama muncul disebabkan oleh telah hilangnya fungsi sosial agama yang semestinya dapat menjadikan sejahtera kehidupan manusia. Hilangnya fungsi sosial agama ini tidak lain disebabkan oleh oknum pemeluk agama itu sendiri. Yang lebih parah, oleh sebagian orang agama digunakan sebagai alat kepentingan individu ataupun kelompok untuk keperluan bisnis, ekonomi, bahkan politik.
Paradigma keberagamaan yang inklusif berarti dapat menerima pendapat dan pemahaman agama lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Artinya seseorang yang beragama harus dapat mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain, peduli terhadap orang lain, dan berusaha membangun perdamaian dan kedamaian bagi seluruh umat manusia.
Membangun paradigma agama yang inklusif bisa dimulai di dalam sekolah. Sekolah sebagai tempat belajar dapat memberikan edukasi penting tentang toleransi dalam beragama. Sekolah mempunyai peran penting dalam membangun lingkungan pendidikan yang pluralis dan toleran terhadap semua pemeluk agama. Untuk membangun paradigma keberagamaan inklusif, sekolah sebaiknya membuat dan menerapkan peraturan lokal yaitu peraturan sekolah yang diterapkan secara khusus di satu sekolah tertentu. Misalnya adanya larangan terhadap segala bentuk dan tindakan diskriminasi agama di sekolah tersebut.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif dan moderat adalah guru. Guru memiliki peran penting dalam pendidikan multikultural karena guru merupakan salah satu target dari strategi pendidikan ini. Apabila seorang guru mempunya paradigma pemahaman keberagamaan yang inklusif dan moderat, maka dia juga akan mampu untuk mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan tersebut terhadap siswa di sekolah.
***
*) Oleh: Izzah Qotrun Nada, Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia Universita KH Mukhtar Syafaat Blokagung, Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
_________
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Membangun Paradigma Keberagamaan Inklusif
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |