TIMES SURABAYA, PONOROGO – Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli;
Menyesuaikan mengalirnya air, sengaja mengikuti arus tapi jangan terbawa arus
(Serat Lokajaya, Lor 11: 629)
Sosok Kiai Ageng Muhammad Besari dengan Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari yang didirikannya merupakan bagian penting dari spektrum perkembangan gerakan kebangsaan tidak hanya di tanah Jawa, tetapi juga pergerakan nasional.
Ia dikenal mahaguru raja-ulama Jawa abad ke-17 yang ajarannya mengkombinasikan kutub Islam dan Nasionalisme. Jauh sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, Kiai Ageng Muhammad Besari telah mengajarkan pondasi kebangsaan kepada santri-santrinya yang memiliki beragam latar belakang. Di perdikan inilah spirit nasionalisme dan patriotisme disemaikan secara masif melalui berbagai ajaran keislaman, khususnya dalam rangka melawan kolonialisme Belanda.
Tidak ditemukan keterangan pasti kapan Kyai Ageng Mohamad Besari dilahirkan, namun Ia hidup sekitar abad 17, ketika keraton Solo diperintah oleh Pakubuwono II. Pada waktu itu terjadi pemberontakan “geger pecinan” di keraton Solo yang dimotori Raden Mas Garendi yang kemudian menduduki istana. Pakubuwono II digulingkan dari tahta. Sang raja kemudian ‘menyingkir’ ke Ponorogo dan ‘nyantri’ ke Tegalsari. Kyai Ageng Muhammad Besari pun menampung dan melindungi sang raja. Maka sebagai balas budi, desa Tegalsari dijadikan perdikan dan Kiai Muhammad Besari yang saat itu memimpin desa Tegalsari mendapat gelar “Kiai Ageng.”
Peran besar Kiai Ageng Muhammad Besari kemudian semakin menguat sehingga dapat menerapkan hukum adat berlandaskan hukum Islam di wilayah Tegalsari. Kehadiran Kiai Ageng Muhammad Besari dengan penuh kewibawaan menjadikan masyarakat tunduk dan patuh sehingga kebijakan yang bersendikan ajaran Islam dapat dengan mudah diterima dan menyebar di lingkungan masyarakat.
Kiai Ageng Muhammad Besari merupakan pribadi dengan latar belakang yang lengkap. Tumbuh dan dibesarkan dari keluarga perpaduan antara karakter agamawan dan bangsawan. Dari jalur ayah, yakni Kiai Anom Besari Caruban- Madiun, Kiai Ageng Muhammad Besari merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit, yaitu Raja Brawijaya V. Sedangkan dari garis keturunan Ibu, yakni Nyai Anom Besari, nasabnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui garis Sayyidati Fatimah Az-Zahra. Sehingga tidak heran jika ketokohannya disebut oleh Gus Gur sebagai “monumen perpaduan antar Islam dan nasionalisme.”
Relasi Islam dan nasionalisme dalam pergerakan nasional penting untuk diketengahkan dalam konteks ini sebagai benteng menjaga inklusifitas jiwa, semangat, dan komitmen kebangsaan umat Islam Indonesia di tengah kemajemukan di masa kini. Gagasan kebangsaan Kiai Ageng Muhammad Besari tersebut diharapkan mampu menjadi fondasi sikap hidup kebangsaan generasi masa kini yang tidak lagi melihat kesenjangan antara keislaman dan keindonesiaan. Spirit tersebut secara nyata juga telah ditanamkan oleh para pendiri bangsa dalam kerangka filosofis maupun ideologis Pancasila dan UUD 1945.
Pesantren Tegalsari telah menjadi ‘kawah candradimuka’ pembentukan santri-ulama ksatria dan bangsawan religius di masa itu. Sehingga Kiai Ageng Muhammad Besari menjadi tokoh sentral rujukan keilmuan dari berbagai kalangan. Keahliannya dalam berbagai bidang keilmuan seperti tasawuf, ketatanegaraan, strategi perang, juga kesusasteraan, telah banyak dikenal di seantero nusantara. Tak sedikit yang berbondong-bondong menimba ilmu kepadanya. Dari berbagai keilmuan yang di ajarkan dan latar belakang santri yang belajar di pesantren Tegalsari saat itu, tampak sangat inklusif dan kosmopolit. Bukan saja naskah berbahasa Arab yang digunakan, melainkan juga Melayu, Sansekerta, dan juga terjemahan dan saduran dari bahasa lainnya. Sehingga santri Tegalsari telah merepresentasikan Think Globally Act Locally. (Rizal Mumazziq Z, 2021).
Keilmuan Kiai Ageng Muhammad Besari dengan fondasi tasawuf yang kuat, tampaknya meresonansi interpretasi nilai-nilai tasawuf kepada para santrinya dengan makna tasawuf realitas yang lebih luas. Hal ini dapat dicermati dari kiprah Pakubowono sebagai bangsawan keraton Solo yang diintegrasikan dengan laku politik kesultanan secara kolektif. Berbeda dengan Ronggowarsito yang merupakan seorang sastrawan masyhur.
Didikan pesantren Tegalsari ini mampu mengartikulasikan ajaran tasawuf dalam wujud karya santra Serat Kalatida berupa dua belas bait sinom atau biasa dikenal dengan kidung Zaman Edan. Tidak terkecuali dengan HOS Tjokroaminoto, yang juga pernah nyantri di Tegalsari. Didikan tasawuf di perdikan Gebang Tinatar dapat diartikulasikan dalam spirit membangun organisasi kebangsaan Sarekat Islam (SI) dengan jumlah anggota mencapai 2 juta orang, terbanyak di zamannya. SI memiliki visi kebangsaan untuk berhijrah melepaskan umat dari belenggu penjajahan. Demikian juga dengan santri-santri lainnya yang menjadi pionir berdirinya pesantren besar dengan beragam karakter, semisal Ponpes Termas Pacitan, Ponpes Sewulan Madiun, Ponpes Darussalam Gontor, Ponpes Lirboyo, Ponpes Ploso, dll.
Akhirnya, berkaca dari kepemimpinan dan visi kebangsaan Kiai Ageng Muhammad Besari yang inklusif tersebut menjadi sangat ideal. Gagasannya patut untuk terus disemai dan diteladani sekaligus menjadi inspirasi yang menjiwai gerak langkah transformasi dan pengembangan IAIN Ponorogo menjadi UIN Kiai Ageng Muhammad Besari kedepan. Sehingga berkembang hebat menjadi kampus UIN yang Indonesiawi, dan religius. Semoga !
***
*) Oleh: Lukman Santoso Az, Pengajar Hukum Ketatanegaraan Islam, Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |