TIMES SURABAYA, SURABAYA – Fenomena Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa Indonesia yang terus merangkak naik kini menjadi sorotan di dunia pendidikan tinggi. Di balik transkrip nilai yang nyaris sempurna, pertanyaan muncul, apakah kenaikan ini benar-benar mencerminkan peningkatan kualitas belajar yang signifikan, atau justru sinyal bahaya akan inflasi IPK yang bisa jadi bumerang bagi masa depan lulusan?
Menurut Prof. Dr. Juliana Anggono, S.T., M.Sc., Wakil Rektor Bidang Akademik Petra Christian University (PCU), tren kenaikan IPK ini mulai terlihat intensif sejak pandemi COVID-19 melanda. Ia memandang fenomena ini layaknya dua sisi mata uang yang kontradiktif.
"Bisa jadi ada peningkatan kapasitas belajar karena digitalisasi pembelajaran. Namun ada kekhawatiran terkait validitas nilai yang diperoleh karena risiko inflasi akademik,” ucap Profesor di Bidang ilmu Teknik Mesin itu.
Prof. Juliana menegaskan bahwa korelasi antara nilai di atas kertas dan kemampuan nyata di lapangan tidak selalu linier. Salah satu pemicunya adalah potensi standar penilaian yang terlalu longgar, serta rubrik asesmen yang belum seragam di berbagai institusi. Lebih lanjut, kompetensi lulusan acapkali diberikan tanpa melalui uji nyata yang ketat di lapangan, padahal tuntutan pasar kerja kian kompleks.
"Dunia nyata yang akan mahasiswa hadapi setelah lulus sangat menghargai kemampuan konkret, seperti problem solving, kolaborasi, dan adaptasi," tutur profesor Juliana.
Untuk menjaga agar IPK tetap relevan sebagai indikator prestasi dan kompetensi, Prof. Juliana menegaskan perlunya evaluasi yang holistik dan komprehensif. Monitoring pembelajaran secara berkala, pelatihan dosen yang berkelanjutan, serta asesmen eksternal dari dunia industri menjadi prasyarat mutlak agar IPK benar-benar mencerminkan kompetensi autentik mahasiswa.
Di PCU sendiri, tren peningkatan IPK tidak terjadi secara merata di semua fakultas. Oleh karena itu, inovasi pembelajaran terus dilakukan melalui kurikulum Whole Person Education. Dalam sistem ini, kelulusan mahasiswa tidak hanya diukur dari aspek akademik dalam bentuk IPK semata.
“Selain hard skills, mahasiswa juga dinilai dari keaktifan mereka dalam mengembangkan aspek spiritual, emosi, sosial, dan mental melalui kegiatan Service Learning (belajar dan melayani masyarakat) serta kegiatan kemahasiswaan yang diperhitungkan sebagai Satuan Kredit Kegiatan Kemahasiswaan (SKKK). Ada syarat minimum SKKK yang perlu dipenuhi untuk syarat wisuda,” urai Prof. Juliana.
Pendekatan ini memastikan pembelajaran mahasiswa mencakup pembentukan karakter, kedewasaan spiritual, dan kemampuan adaptasi menghadapi tantangan, bukan hanya fokus pada kecerdasan kognitif.
Di tengah laju inflasi IPK yang tak terbendung, tantangan terbesar bagi pendidikan tinggi Indonesia bukan sekadar menjaga angka. Lebih dari itu dalam memastikan setiap digit nilai yang tertera pada transkrip benar-benar berdiri di atas fondasi kompetensi yang autentik dan relevan dengan tuntutan dunia nyata. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Di Tengah Inflasi IPK, PCU Tawarkan Model Pendidikan Holistik
Pewarta | : Zisti Shinta Maharrani |
Editor | : Deasy Mayasari |