TIMES SURABAYA, SURABAYA – Apa jadinya jika ruang publik menjadi studio foto terbesar? Di Kota Lama Surabaya hal tersebut bukan sekadar kemungkinan, tetapi sudah menjadi kenyataan. Di sepanjang Jl. Rajawali, gugusan bangunan berarsitektur kolonial megah menarik pengunjung untuk menyelam ke masa lampau. Di tengah hiruk-pikuk kota terbesar kedua di Indonesia ini, melancong ke Kota Lama semacam pelarian kecil untuk melepas penat.
Saat menapakkan kaki di Kota Lama, pengunjung akan disambut bangunan-bangunan ikonik seperti Museum De Javasche Bank, Gedung Internatio, Jembatan Merah, Pabrik Siroepen, Dan Pos Blok Surabaya.
Tempat tersebut sering dijadikan spot foto favorit wisatawan. Namun, mengambil gambar ditengahnya padatnya pengunjung menjadi tantangan untuk mendapat foto yang apik.
Kesempatan inilah yang dimanfaatkan fotografer untuk menjajakan skill mereka. Diantara pengunjung yang lalu lalang, para fotografer akan rajin menawarkan jasanya kepada pengunjung untuk ditukar dengan rupiah.
Cukup mengeluarkan Rp3.000 per foto, pengunjung sudah dapat mengantongi jepretan ciamik dari tangan-tangan terlatih.
Kota Lama dipilih bukan tanpa alasan. Tempat ini dianggap akan selalu hidup. Pengunjungnya stabil, bangunan ikonik, latarnya cocok digunakan untuk segala pemotretan, dari preweed sampai foto keluarga. Faktor tersebut menjadikan Kota Lama tempat yang cocok untuk meraup pundi-pundi uang.
"Saya pernah mencoba peruntungan di Taman Surabaya tetapi pengunjungnya mengalami penurunan, lalu memutuskan untuk menjadi photografer di sini," ungkap Abdul, salah seorang fotografer saat ditemui, Kamis (14/8/2025).
"Di Kota Lama selain lebih ramai, pengunjung kerap memberikan tip tambahan sebagai motivasi untuk memberikan pelayanan terbaik," imbuhnya.
Dalam sehari, rata-rata para fotografer bisa mendapatkan Rp100-150 ribu tergantung dari banyaknya pengunjung.
"Pada akhir pekan, bahkan bisa meraup hingga Rp1 juta dalam sehari, mulai dari pagi hingga malam. Sebuah keuntungan yang cukup besar," kata Abdul.
Namun, bekerja di ruang publik tidak selalu berjalan mulus. Selain persaingan dan jumlah pengunjung yang tak tentu, adakalanya, kejadian tidak mengenakkan terjadi pada para fotografer.
"Pernah nih kejadian, udah muter-muter dari ujung ke ujung, udah diajak ke cafe-cafe, dikasihnya cuma 30 ribu. Alias hanya ambil 10 foto", ujar salah satu fotografer yang namanya tidak mau disebutkan.
Sementara itu, Fajar, fotografer lainnya mengungkapkan, adakalanya pengunjung yang enggan foto menggunakan kamera profesionalnya, melainkan hanya menggunakan kamera smartphone.
"Kalo gitu kan nggak bayar, nitip difotoin," keluhnya.
Menyikapi kondisi serupa terjadi lagi, Fajar mewajibkan para pengunjung yang ingin memakai jasanya, untuk berfoto menggunakan kamera terlebih dulu. "Baru kemudian dilanjut dengan handphone pengunjung," ujarnya dengan santai.
Kendati demikian, adanya para fotografer keliling dirasa sangat memudahkan pengujung untuk mengabadikan moment.
"Aku milih untuk memakai jasa mereka, karena aku kurang bisa untuk foto bagus, kurang bisa gaya juga. Kalo ada mereka kan diarahin gayanya yang bagus gimana, posisinya gimana. Harganya cukup murah si, worth it lah dengan hasilnya. Aku puas banget,” tutur Lilis.
Walau bukan di studio mewah, para fotografer Kota Lama Surabaya tahu persis bagaimana menangkap momen paling hidup dalam satu jepretan. Mengabadikan kunjungan yang bisa dibawa pulang sebagai kenang-kenangan. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kota Lama: Studio Foto Outdoor Terbesar di Surabaya
Pewarta | : Siti Nur Faizah |
Editor | : Deasy Mayasari |