TIMES SURABAYA, SURABAYA – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi sejumlah wilayah di Jawa Timur (Jatim) akan dilanda cuaca ekstrem penghujung tahun.
Pemerintah provinsi langsung gerak cepat melakukan Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) mandiri untuk mengantisipasi terjadinya bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan tanah longsor di titik rawan.
OMC sendiri kerap dilakukan saat prediksi cuaca ekstrem diumumkan lembaga otoritas terkait. Modifikasi cuaca adalah upaya rekayasa atmosfer dengan pendekatan ilmiah untuk memengaruhi proses pembentukan awan dan curah hujan.
Misalnya dengan menyemai awan menggunakan bahan tertentu agar hujan dapat dipercepat atau dialihkan ke lokasi yang lebih aman.
"Teknologi ini tidak menciptakan hujan dari langit cerah, tetapi mengoptimalkan awan yang sudah ada," kata Guru Besar Bidang Geodesi Satelit Departemen Teknik Geomatika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Prof. Dr. Eko Yuli Handoko kepada TIMES Indonesia, Senin (8/12/2025).
Dikatakan Prof Eko, OMC termasuk salah satu metode yang paling aman dan terkontrol dibandingkan intervensi lain.
Karena, menggunakan bahan yang relatif ramah lingkungan dan dilakukan berdasarkan analisis meteorologi secara ketat. Namun demikian, lanjut Prof Eko, keberhasilannya tetap sangat bergantung pada kondisi atmosfer.
"OMC bukan solusi tunggal, tetapi bisa menjadi pilihan efektif sebagai bagian dari strategi manajemen risiko hidrometeorologi," ujar pakar geodesi dan geodinamika ini.
Lebih lanjut Prof Eko menjelaskan, OMC bekerja dengan menyemai awan menggunakan bahan seperti NaCl (garam) atau CaCl₂ (kalsium klorida) untuk mempercepat proses kondensasi dan memperbesar butir air di dalam awan hingga jatuh sebagai hujan.
Penyemaian dilakukan menggunakan pesawat pada bagian dasar atau puncak awan yang sedang aktif tumbuh.
"Jumlah bahan yang digunakan tidak sembarangan, tetapi dihitung berdasarkan kondisi atmosfer, ketebalan dan volume awan, kelembapan, serta luas wilayah target," jelasnya.
Ia memberikan contoh. Misalnya, untuk satu operasi di wilayah sekitar 50–100 kilometer persegi, dibutuhkan beberapa ton bahan seeding (penyemaian) yang dibagi dalam beberapa sortie pesawat.
Waktu penyemaian juga ditentukan oleh siklus hidup awan—biasanya dilakukan ketika awan berada pada fase berkembang (growing stage), yaitu sekitar 30–60 menit sebelum puncak pertumbuhan.
"Jadi, keberhasilan OMC sangat bergantung pada ketepatan waktu dan perhitungan meteorologis, bukan hanya jumlah bahan yang ditebar," paparnya.
Lantas, apakah ada dampak yang mengintai jika OMC terus menerus dilakukan sepanjang musim hujan dengan kategori potensi cuaca ekstrem yang bisa datang tiba-tiba?
Prof Eko menjelaskan, bahwa secara umum, OMC dianggap relatif aman karena intervensinya bersifat lokal dan hanya memanfaatkan awan yang sudah ada.
Namun, tegasnya, jika dilakukan terus-menerus tanpa perencanaan dan evaluasi, tetap ada potensi risiko. Seperti perubahan distribusi hujan yang tidak merata atau akumulasi hujan berlebih di wilayah lain yang tidak diperkirakan.
"Cuaca ekstrem yang muncul tiba-tiba juga dapat membuat operasi menjadi kurang efektif atau justru menimbulkan dampak tidak diinginkan, misalnya hujan jatuh di lokasi yang tidak direncanakan," ucapnya.
Karena itu, OMC harus dilakukan secara bijak, berbasis data real-time, dan selalu dievaluasi secara meteorologis dan hidrologis agar tidak menimbulkan konsekuensi yang lebih besar.
Terkait potensi bencana hidrometeorologi di Indonesia seperti di Aceh dan langkah menghadapi ancaman cuaca ekstrem di Jatim, Prof Eko juga menyarankan agar pemerintah perlu memperkuat pendekatan mitigasi yang lebih terintegrasi, bukan hanya respons ketika bencana terjadi.
"Sistem peringatan dini berbasis data real-time, radar cuaca, satelit, dan sensor hidrologi harus diperkuat hingga tingkat daerah, termasuk integrasi informasi dengan pemerintah kabupaten maupun kota," ungkapnya.
Selain itu, lanjutnya, tata ruang dan pengelolaan daerah aliran sungai perlu diperbaiki, misalnya melalui restorasi hutan, penataan bantaran sungai, dan peningkatan kapasitas infrastruktur pengendali banjir.
Di sisi operasional, kolaborasi antara BMKG, BRIN, BPBD, dan akademisi dinilai sangat penting untuk perencanaan berbasis sains, termasuk pemanfaatan teknologi seperti OMC ketika diperlukan.
"Edukasi masyarakat juga harus menjadi prioritas, karena kesadaran publik adalah kunci mengurangi korban jiwa," ucapnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Operasi Modifikasi Cuaca, Pakar ITS Sebut Rekayasan Atmosfer Paling Ramah Lingkungan
| Pewarta | : Lely Yuana |
| Editor | : Deasy Mayasari |